Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sepenggal Sejarah Transportasi Jakarta dalam Karcis

21 Agustus 2016   14:20 Diperbarui: 21 Agustus 2016   16:30 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karcis bis DAMRI dari bandara Soekarno-Hatta (Foto: Djulianto Susantio)
Karcis bis DAMRI dari bandara Soekarno-Hatta (Foto: Djulianto Susantio)
Pak Nunus Supardi, tokoh budaya yang pernah menjadi Direktur Purbakala dan Wakil Kepala Lembaga Sensor Film pernah memberikan semangat dan dorongan kepada saya. “Pak Djulianto selamat ya. Ketekunan Anda mengumpulkan pernik-pernik karya manusia sebagai wujud kemampuan manusia menyesuaikan diri dengan kondisi dan perkembangan lingkungannya, meski kelihatan sederhana (Jawa: ora mbejaji), tapi sebenarnya bernilai. Bapak patut jadi teladan. Jiwa dan semangat seperti itu seharusnya dimiliki oleh para pengelola museum.

Mereka kalau bicara koleksi hanya mengarah pada benda-benda masa lalu, berabad-abad atau puluhan tahun yang lalu. Benda-benda yang lahir sekarang harusnya mulai dihimpun sekarang juga. Karena kelak, sepuluh, dua puluh, lima puluh tahun kemudian akan menjadi koleksi yang unik. Itu yang Pak Djulianto telah lakukan. Semoga langkah Pak Djulianto diteladani oleh generasi penerus di museum-museum. Sekali lagi, selamat,” begitu kata Pak Nunus.

Saya berharap koleksi sederhana ini menjadi perhatian Museum Transportasi. Koleksi Museum Transportasi—dan juga museum-museum lain—jangan  hanya berhenti pada koleksi-koleksi yang tidak dimanfaatkan lagi atau kekunoan, tetapi harus menyambung pada koleksi kekinian. Koleksi museum harus berkesinambungan karena bercerita tentang perjalanan sejarah.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun