Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sepenggal Sejarah Transportasi Jakarta dalam Karcis

21 Agustus 2016   14:20 Diperbarui: 21 Agustus 2016   16:30 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karcis Transjakarta Rp2.000 berlaku pukul 05.00-07.00 (Foto: Djulianto Susantio)

Saya yakin banyak orang abai terhadap struk atau karcis yang mereka dapatkan setelah bertransaksi. Setelah terima dari kasir toko swalayan atau tempat-tempat lain, biasanya mereka langsung membuang kertas-kertas itu karena dipandang tidak berguna lagi. Begitu pula ketika menerima karcis Transjakarta. Bertahun-tahun saya lihat di setiap halte, sebaran karcis banyak menumpuk di keranjang sampah. Padahal sesungguhnya, secarik kertas kecil itu bisa bercerita banyak tentang sejarah transportasi di kemudian hari.

Sedikit demi sedikit mulai 22 Januari 2013 diluncurkan karcis elektronik (e-ticketing) bis Transjakarta. Untuk penerapan sistem ini, pemprov DKI Jakarta menggandeng lima bank swasta. Sistem e-ticketing menggunakan kartu seukuran KTP yang ditempelkan di setiap pintu masuk halte. Setiap kartu berisi sejumlah nilai rupiah. Begitu kartu ditempelkan, maka pintu secara otomatis akan terbuka dan nilai yang ada di dalam kartu langsung terpotong. Besarannya Rp2.000 atau Rp3.500.  

Karena menggunakan e-ticketing, praktis karcis manual berupa secarik kertas lama-kelamaan menghilang.  Perlu diketahui, operator bis Transjakarta terdiri atas berbagai perusahaan. Mereka melayani 12 koridor. Nah, karena perusahaan operator berbeda, maka warna karcis pun berbeda-beda.

Layanan e-ticketing pertama kali dilakukan pada koridor 1 Blok M – Kota. Secara bertahap layanan ini diberlakukan pada koridor-koridor lain. Kini semua koridor sudah menerapkan e-ticketing. Tempat pengisian ‘pulsa’ e-ticketing tersedia pada semua halte. Kita bisa mengisinya Rp20.000, bisa pula Rp50.000 hingga Rp100.000.

Menurut pemprov DKI Jakarta, tujuan penerapan sistem e-ticketing ini agar lebih cepat dan praktis dalam bertransaksi. Selain itu, bagi manajemen Transjakarta lebih aman, transparan, dan akuntabel.

Karcis Transjakarta Rp3.500 berlaku di luar pukul 05.00-07.00 (Foto: Djulianto Susantio)
Karcis Transjakarta Rp3.500 berlaku di luar pukul 05.00-07.00 (Foto: Djulianto Susantio)
Mungkin teman-teman di luar Jakarta masih awam dengan istilah Transjakarta. Masyarakat di sini sering menyebut Busway, yaitu sebuah sistem transportasi Bus Rapid Transit (BRT). Dikabarkan, sistem ini merupakan yang pertama di Asia Tenggara dan Selatan.

Transjakarta beroperasi sejak 2004 melalui jalur khusus di tengah-tengah pembatas jalan. Transjakarta dirancang sebagai moda transportasi massal pendukung aktivitas ibu kota yang sangat padat. Gagasan pembangunan proyek BRT muncul sekitar 2001 pada masa Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso.

Transjakarta mulai beroperasi pada 15 Januari 2004, ditandai dengan peresmian Koridor 1  Blok M – Kota.  Pada pengoperasian dua minggu pertama, pengguna Transjakarta tidak dikenakan tarif. Mulai 1 Februari 2004, tarif Transjakarta diberlakukan Rp2000. Pada 2012, Dinas Perhubungan DKI Jakarta menaikkan tarif Transjakarta menjadi Rp3500. Namun tarif khusus Rp2.000 tetap berlaku pada pukul 05.00-07.00, yang umumnya dimanfaatkan para pelajar/mahasiswa.

Entah mengapa, mungkin karena kebiasaan, saya banyak menyimpan karcis Transjakarta yang sekarang sudah tidak ada lagi. Bisa saja kertas kecil ini merupakan benda investasi yang amat berharga di kemudian hari. Paling tidak ada nilai komersial yang terkandung di dalamnya. Namun yang paling penting, sepenggal kisah tentang transportasi Jakarta ada di dalam karcis manual ini.

Memang bukan karcis saja yang saya kumpulkan. Berbagai pernak-pernik kecil juga saya simpan baik-baik, seperti bukti pembayaran pajak radio, pajak televisi, dan pajak anjing. Ada lagi karcis tol, karcis masuk museum, karcis kereta api, dan lain-lain. Tidak heran banyak teman menjuluki saya “pemulung intelektual”, hehehe...”Nanti kalau sudah banyak bikin museum,” kata mereka.

Karena hal-hal sederhana ini saya iseng-iseng ikut lomba menulis kearsipan yang diselenggarakan oleh ANRI. Ternyata memperoleh juara pertama untuk kategori Umum. Judul yang saya buat, “Jangan abaikan arsip pribadi”.

Karcis bis DAMRI dari bandara Soekarno-Hatta (Foto: Djulianto Susantio)
Karcis bis DAMRI dari bandara Soekarno-Hatta (Foto: Djulianto Susantio)
Pak Nunus Supardi, tokoh budaya yang pernah menjadi Direktur Purbakala dan Wakil Kepala Lembaga Sensor Film pernah memberikan semangat dan dorongan kepada saya. “Pak Djulianto selamat ya. Ketekunan Anda mengumpulkan pernik-pernik karya manusia sebagai wujud kemampuan manusia menyesuaikan diri dengan kondisi dan perkembangan lingkungannya, meski kelihatan sederhana (Jawa: ora mbejaji), tapi sebenarnya bernilai. Bapak patut jadi teladan. Jiwa dan semangat seperti itu seharusnya dimiliki oleh para pengelola museum.

Mereka kalau bicara koleksi hanya mengarah pada benda-benda masa lalu, berabad-abad atau puluhan tahun yang lalu. Benda-benda yang lahir sekarang harusnya mulai dihimpun sekarang juga. Karena kelak, sepuluh, dua puluh, lima puluh tahun kemudian akan menjadi koleksi yang unik. Itu yang Pak Djulianto telah lakukan. Semoga langkah Pak Djulianto diteladani oleh generasi penerus di museum-museum. Sekali lagi, selamat,” begitu kata Pak Nunus.

Saya berharap koleksi sederhana ini menjadi perhatian Museum Transportasi. Koleksi Museum Transportasi—dan juga museum-museum lain—jangan  hanya berhenti pada koleksi-koleksi yang tidak dimanfaatkan lagi atau kekunoan, tetapi harus menyambung pada koleksi kekinian. Koleksi museum harus berkesinambungan karena bercerita tentang perjalanan sejarah.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun