Mohon tunggu...
Ucu Nur Arief Jauhar
Ucu Nur Arief Jauhar Mohon Tunggu... Aktor - Pengangguran Profesional

Tak seorang pun tahu kegelisahanku, kerna tak seorang pun dapat melihat apa yang aku lihat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lelang di Banten untuk Siapa?

23 Juli 2015   20:54 Diperbarui: 23 Juli 2015   21:02 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Struktur Anggaran dan Rencana Pengadaan"][/caption]Dari web Monev LKPP, didapat struktur APBD dan Rencana Paket pengadaan di Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten, seperti tertera dalam gambar. Dalam Struktur Anggaran:

  1. Paket Barang/Jasa sebanyak 7.156 buah dengan nilai Rp1,991 Triliun
  2. Paket Modal sebanyak 932 buah dengan nilai Rp1,855 Triliun 
  3. maka Total paket sebanyak 8.088 buah dg nilai Rp3,846 Triliun. 

 

Sementara dalam Rencana Pengadaan:

  1. Lelang Umum sebanyak 139 paket senilai Rp543,96 Miliar
  2. Lelang Sederhana sebanyak 555 paket senilai Rp448,45 Miliar
  3. Penunjukan (PL) sebanyak 408 paket senilai Rp69,93 Miliar
  4. Sayembara/Kontes sebanyak 1 paket senilai Rp0,04 Miliar
  5. e-Purchasing sebanyak 3.454 paket senilai Rp1,426 Triliun
  6. Swakelola sebanyak 1.036 paket senilai Rp0,-
  7. Maka total Paket sebanyak 5.593 buah dengan nilai Rp1,944 Triliun 

 

Pertama

Jumlah paket Swakelola mencapai 1.036 buah, namun tidak ada nilai rupiahnya. Apakah memang proyek ini tidak didanai oleh Pemprov Banten? Tentu hal ini tidak mungkin. Apalagi dengan jumlah yang demikian banyaknya. Jelas nilai total paket tersebut, entah sengaja atau tidak, tidak dimasukan ke dalam laporan Monev LKPP. Ini membuktikan tidak ada hubungan antara input Monev LKPP di bagian Struktur Anggaran dan Rencana Pengadaan. Pertanyaannya: Kenapa nilai paket Swakelola tidak ditampilkan atau di input? Apakah takut nilainya ketahuan masyarakat umum?

Kedua 

Berdasarkan data Rencana Pengadaan, maka paket yang dilelangkan di lpse.bantenprov.go.id hanya sebanyak 694 buah. Jika ULP Banten hanya bekerja 10 bulan (asumsi Januari belum aktif dan Desember sudah tidak ada lelang), maka ULP Banten harus menyelesaikan pelelangan sebanyak 70 paket setiap bulannya. 

Sehubungan Pergub yang berkenaan dengan ULP tidak bisa di download dari web JDIH Banten, maka diasumsikan di dalam ULP Banten ada 10 Pokja. Maka setiap Pokja rata-rata hanya menangani 7 paket lelang selama tahun 2015. Atau satu Pokja hanya menangani 2-3 paket lelang setiap bulannya. 

Dalam satu Pokja, minimal terdiri dari 3 anggota. Sehingga setiap anggota ULP (Pokja) Banten hanya menangani 1 paket lelang setiap bulannya. Uniknya, pasca dominasi Atut Chosiyah, yaitu tahun 2014, ULP Banten selalu mengeluh atas beban kerja yang banyak. Dengan dalih harus melelangkan ratusan paket pekerjaan. ULP hanya bicara total paket yang dilelang. Tidak bicara beban setiap anggota Pokjanya. 

 Ketiga

Hingga tahun 2015, tampaknya belum ada satu perusahaan pun di Banten yang sudah masuk e-Purchasing. Ada sebanyak 3.454 buah paket e-purchasing di Pengadaan Barang dan Jasa Pemprov Banten. Nilainya pun cukup fantastis bagi ukuran Banten, Rp1,42 Triliun atau lebih dari 50% dari nilai Rencana Pengadaan.  Akibatnya, sebanyak Rp1,42 Triliun atau sekitar 15,83% APBD Banten dibelanjakan keluar daerah Provinsi Banten. Dampak APBD dapat menstimulus perekonomian di Provinsi Banten menjadi meragukan. 

Keempat 

Jayabaya, Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Banten mengklaim mempunyai anggota 6.000 pengusaha lokal. Sedangkan berdasarkan data Rencana Pengadaan, di Pemprov Banten hanya ada 694 pekat lelang. Maka, 1 paket lelang diperebutkan oleh 10 pengusaha lokal. Belum pengusaha lokal yang tidak tergabung dalam KADIN. Belum lagi pengusaha-pengusaha di luar Provinsi Banten yang mengikuti lelang. Ini tidak termasuk pengusaha kelas nasional yang seringkali mampir atas undangan penguasa-penguasa lokal. 

Dapat dibayangkan persaingannya begitu luar bisa... gaduhnya. Karena sudah menjadi rahasia umum, lelang proyek pemerintah, baik pusat mau pun daerah bukan soal kompetisi, tapi soal koneksisiti. 

Pasca dominasi Atut Chosiyah, tak satu pun kelompok pun dapat menguasai keadaan. Birokrasi terpecah-pecah sesuai dengan kelompok kekuasaan yang ada. Maka tak aneh, di Pemprov Banten, lelang dapat diulang berkali-kali. 

Kelima 

Sementara untuk Penunjukan Langsung (PL), Pemprov Banten hanya menyediakan 408 paket dengan nilai total Rp69,93 miliar. Atau rata-rata 1 paket PL bernilai Rp171 juta-an. Biasanya paket PL ini disediakan untuk pengusaha-pengusaha lokal kelas kecil. Indikasinya, tidak punya pegawai, apalagi kantor. Pengusahanya juga umumnya merangkap jabatan. Selain pengusaha, diduga sehari-harinya merangkap sebagai wartawan, aktivis LSM, aktivis Mahasiswa hingga anggota DPRD. Diduga tak ketinggalan juga para Tenaga Kerja Sukarela (TKS/honorer) dinas terkait. Ini belum menghitung keluarga pejabat kelas kakap.

Sehubungan ketatnya persaingan di paket Lelang, maka hampir semua anggota KADIN Banten juga ikut turun berebut paket PL. Maka dapat dibayangkan persaingannya.

  1. 6.000 anggota KADIN
  2. Sekitar 180 LSM dari 1.300 diduga LSM yang terdaftar di Kesbangpol Banten.
  3. Sekitar 50-100 diduga wartawan
  4. Sekitar 2 x 85 diduga kroni anggota DPRD Banten
  5. Sekitar 500 diduga TKS dinas terkait
  6. Sekitar 50-100 diduga berlindung dibalik nama besar Tokoh Masyarakat.

Jadi lebih dari 7.000 pengusaha berebut 408 paket PL. Ini belum berhitung dugaan keluarga pejabat, dugaan kroni kejaksaan dan kepolisian. Tak jarang juga ditemui yang berlindung di balik seragam loreng-loreng. 

Akibatnya jalan tengah berbagi keuntungan adalah yang terbaik. Harga satuan di paket PL memang luar biasa. Dari tangan pertama saja bisa diperjual-belikan 10-25%. Bagaimana dengan tangan kedua dan ketiga? Lalu bagaimana mereka masih bisa untung? 

  1. Harga Paket: 100% dipotong
  2. Harga Jual: 25% 
  3. PPN & PPh: 12%
  4. Keuntungan wajar: 15%
  5. Sisa yang digunakan untuk pekerjaan hanya 48%. Ini harga sebenarnya.

Uniknya, pasca dominasi Atut Chosiyah, isu ada jabatan koordinator PL setiap dinas masih ada. Bahkan dari tahun 2014 hingga sekarang sedang terjadi perebutan jabatan itu. Perbedaannya, zaman dominasi Atut Chosiyah diisukan terjadi sentralisasi PL dari semua dinas. Baru kemudian di sub koordinasikan berdasarkan SKPD terkait dan elemen masyarakat, seperti jawara, wartawan, LSM, anggota DPRD, aparat hukum dan tokoh masyarakat. 

Pasca dominasi Atut Chosiyah, tidak ada sentralisasi. Masing-masing SKPD diisukan mempunyai koordinator PL sendiri-sendiri. Sayangnya, sang Koordinator itu tidak mempunyai kekuatan yang cukup. Sehingga diisukan sering terjadi pergantian koordinator PL. Tentu berakibat berubahnya daftar bakal penerima paket PL. Ributlah kemudian.

Kelima

Jika kita lihat di Struktur Anggaran, maka ada total 8.088 paket kegiatan (proyek). Namun jika kita lihat di Rencana Pengadan, maka hanya ada 5.684 paket kegiatan (proyek). Ada selisih 2.404 paket kegiatan. Kenapa dalam satu page Monev terdapat perbedaan? Kesalahan sistem ataukah memang disembunyikan untuk kepentingan tertentu? 

# Koalisi Banten Berantakan......... mana para pahlawan itu? pade bae ih! malah lebih puaaaraaah...... masih enak zaman aku toh (ceuk ibu geh). kwkwkwkwk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun