Mohon tunggu...
djeng sri
djeng sri Mohon Tunggu... Foto/Videografer - penuliscerita dan freelancer menulis

suka fotografi dan fiksi ;)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen| H.Kartini: Ketika Ibu Marah

21 April 2016   11:40 Diperbarui: 21 April 2016   12:05 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="copyright by bowobagusphotography.blogspot.com"][/caption]Ketika ibu marah

.

.

.

“Nana! Jangan buang pola-pola itu!”

“Tapi bu, bukankah baju-baju itu sudah jadi? Buat apa lagi pola-pola ini?”

Ibu hanya diam, lalu seperti biasanya bergegas mengambil pola-pola baju yang hampir saja masuk keranjang sampah. Matanya agak merah, mungkin menahan marah yang tak mungkin ia lampiaskan pada Nana. Ia adalah seorang yang hampir tak pernah marah, selalu sabar, kecuali pada kondisi khusus yang sulit orang lain mengerti.

Nana menghembuskan nafas kesal. Beberapa hari ini ia merasa aneh dengan perilaku sang ibu. Selalu saja ada hal yang buatnya harus dibentak, dimarahi, atau sekedar dicuekin sang ibu. Dalam hati ia berprasangka buruk, bahwa sesuatu sedang terjadi dengan hubungan ayah dan ibu, sehingga ia jadi pelampiasan rasa kesal ibu. Namun hati kecilnya sering menolak praduga itu, sebab si ayah tak pernah memarahinya.

“.... Atau apa ya?” ia bergumam tak tentu sambil melihat tetes air hujan dari balik jendela kamarnya.

.

***

.

Siang yang mendung, dedaunan yang berada di halaman depan rumah nampak kehitaman diterpa angin dingin beraroma air. Jam dinding menunjukkan pukul duabelas lebih delapan menit, ibu nampak asyik menjahit baju-baju pesanan dari pelanggan setianya. Udara dingin yang bertiup tak menciutkan semangatnya untuk menyelesaikan pesanan yang mulai menumpuk.

“Drdrdrdrdrrr...” bunyi mesin jahit

Wajah ibu nampak bersemu merah menahan dingin yang menyambar-nyambar dari balik jendela ruang kerjanya. Diambilnya sebatang jarum jahit untuk menggantikan yang telah usang pagi tadi.

“Diam... diamlah jiwaku...” sambil memasang jarum jahit ia bersenandung kecil

“….

Biaskan bayangmu padaku lampu-lampu minyak

sebab tak ada lagi rasa yang ia punyai

seperti kerdil pohon kelapa di halaman rumah kakak

tak hendak belajar namun selalu saja berbangga hati...”

.

tuliskan pola-pola itu untuknya

sudi-kah kau wahai lampu minyak kelapa?

Sebab aku telah tak punya daya

walau aku adalah bundanya

.

Sesaat setelah selesai dendang lirihnya, hujan pun mulai turun. Rintik-rintik yang kecil perlahan digantikan oleh tetes-tetes besar, hujan deras tiba. Ibu beranjak menutup jendela dan pintu lalu mengistirahatkan raganya di sofa.

“Oahmm...,” rasa kantuk menerpa ibu, ia pun tertidur

“....”

“Ibu kenapa terus menerus marah padaku bu?”

“Ah kau ini wanita nak, bukan pria...”

“Maksud ibu?”

“Seorang wanita seharusnya peka, seperti nyala lampu minyak saat gelap tiba”

“Aku tak paham bu...”

“Ya, kau tak akan pernah bisa memahaminya, sebab engkau telah mempunyai segalanya. Kendaraan, penghasilan, kemandirian... engkau telah sangat berubah nak...”

“Aku tak paham bu...”

“Engkau tak membutuhkan pria. Bagimu pria hanyalah sebuah “gengsi” agar terlihat sempurnalah kau di hadapan teman-temanmu? Betul kan?”

“Eh...”

“Bagaimana ibu bisa tahu apa yang ada di diriku bu?”

“Semua hal yang kau lakukan akan membentuk sebuah pola. Dan pola-pola itu akan dengan mudah terbaca oleh mereka yang menyayangimu. Bukan hanya ibu dan ayah, termasuk ia yang sedang dekat denganmu...”

“Aku....”

“Berhati-hatilah dengan hatimu, kelakuanmu! Sebab engkau telah berubah”

“Bu....”

“Ia mungkin memaafkan, namun lambat laun ia akan mengerti, bahwa pola-pola itu telah hadir dalam perasaannya, dan kau tahu apa yang sedang kau rencanakan bukan?”

“Ia sudah tahu, ia sudah membaca, ibu sudah tahu, ayah sudah membaca”

“Semua itu hakmu, hidupmu, jal...”

“Kringgg....” sebuah panggilan di telepon rumah membangunkan ibu dari tidurnya

“Halo? Nana? Kenapa nak?”

“Ibu masih marah padaku bu?”

.

.

Melihat siluet bayangan dari sebuah lampu minyak, ia terhenyak. Begitu banyak tanda-tanda dan kode yang tersirat di tembok. Setengah mendengus ia bertanya pada diri sendiri, apakah selama ini aku mengerti tentang tanda-tanda dan kode itu? Apakah aku telah berubah begitu banyak, sehingga perubahan itu menciptakan sebuah deret kode yang sangat jelas dan tertata rapi?

Nyala api lampu minyak tiba-tiba mengecil, rupanya ia terlalu lama tenggelam dalam keasyikan diri, sehingga ia lupa, bahwa ia telah berbeda, ia telah membuat sebuah noktah yang tertata rapi, menyerupai sebuah arti dari sebuah kata "fade out"

 

.

#Hari_Kartini , 21 April 2016

#djengsri @kompasiana , #bowo bagus @kompasiana , #sede @kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun