Mohon tunggu...
djeng sri
djeng sri Mohon Tunggu... Foto/Videografer - penuliscerita dan freelancer menulis

suka fotografi dan fiksi ;)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Salam Wahai Burung-burung Hitam

12 April 2016   12:43 Diperbarui: 12 April 2016   12:52 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="copyright by bowobagus'p"][/caption]Judul: Cerpen | Salam wahai burung burung-burung hitam

Kolaborasi prosa dan puisi: Djeng sri & Anita Albie.

.

"Kamu! Kamu! Kamu! Dasar!" Tunjuknya pada keningku dengan sangat keras. Rasa sakit di keningnya tak terlalu terasa, namun jauh beda dengan yang di dalam hati, sungguh sangat mendera. Tak ada bandingnya bila hanya dengan sayatan sebuah pisau, apalagi bila mengingat siapakah diri ini.

Waktu itu pukul sebelas lebih sembilan belas menit, makian dan kata-kata buruknya masih saja meraja, bak tumpahan ember besar berisi air penuh hingga ke bibirnya. Jemari kakiku tertekuk, lengan mengapit buku lusuh, dan mata tak kuasa menahan pedih dari lubuk hati, hingga tumpahlah butir-butir air mata yang langsung bersambut dengan...

"Nah, kalo sudah gitu pasti nangis, nangis, nangis! Huh! Kamu memang tak bisa apa-apa, beda sama kakakmu yang sudah pinter nyari duit! Bisanya cuma nulis, nulis, gak mutu! Gak jadi duit! Dasar bocah edan!"

"Bu.."

"Diam!"

Oh tidak, tidak, dia beranjak kemari, jangan, jangan, Tuhan tolong... teriakku dalam hati. Rasanya makin kecut saja lihat langkah-langkah kaki tuanya yang diseret-seret. Suara "srek-srek" nya bagaikan ayunan pisau beradu dengan pengasah, semakin lama makin buat gelisah.

"Sini bukumu itu! Kemari kan!"

"Jangan bu, jangan.. tolong, ini hanya coretan saja!"

"Kemari kan!"

"Jangannnn"

Namun sia-sia saja aku bertahan, tak urung buku catatanku pun sobek ditariknya, dikoyak-koyak, lalu dibakar dihadapanku... jresss.. blupp..

Oh, tuhan, oh tuhan, dua tanganku mendadak kaku, begitu pun kaki dan kepala, tiba-tiba saja mereka berontak daripadaku. Sekejab gelap gulita, kemudian sakan sebuah sinar terang membangunkanku dengan bilah-bilah kata yang tak kuinginkan sama sekali...

"Ha ha ha ha ha..."

"Ssstt.."

"Ha ha ha ha ha..."

"Ssstt.. cup cup diam ya dek.."

"Ha ha ha ha ha..."

"Ha ha ha ha ha..."

"Ha ha ha ha ha..."

"..."

Kring-kring...

Kring.......

"Hah? Siapa, siapa kamu?"

"Ssstt.. tenanglah, ini aku pak dokter, minum dulu yah sayang?"

Slurppp..

"Tak seharusnya, kau paksakan dirimu menceritakan semua kisahmu secara panjang lebar, kamu belum siap nak"

"Apa yang terjadi padaku pak dokter?"

Ia hanya tersenyum lembut, membelai rambutku sambil berkata lirih bahwa sebulan yang lalu ia menemukanku sedang berlari-lari sambil berteriak-teriak di sepanjang jalan Pemuda. Lalu ia berinisiatif untuk membawaku ke Rumah Sakit Jiwa ini. Dan entah mengapa, katanya aku menurut saja. Dan ketika tadi pagi ia mencoba menanyaiku tentang asal muasal mengapa aku berteriak-teriak di jalan....

"Sudahlah Sri, kamu disini saja. Disini kamu bisa menulis dengan tenang, tanpa diganggu atau dilarang, setuju Sri?"

"Hah?"

"Sssttt.."

.

***

.

Dan kutuliskan segera tentang dia, seorang tua yang seperti bapak, yang membebaskanku dari ibu, yang menyadarkanku dari kegilaan selama berbulan-bulan, dari pemberontakan kaki, tangan kepala, mulut terhadap jiwaku, hingga saat ini, aku disini, sebuah kamar di Rumah Sakit Jiwa.

.

.

Mestinya aku tak pernah ada,

tak usah saja dilahirkan dari rahim kesucianmu

Jika hitam kau pilihkan jadi warnaku

 

Ibu, engkau laksana cahaya surga,

bau mu mewangi kasturi, pun hangat kasihmu tak selimuti jiwaku yang dingin membeku

Ibu, aku hanya ingin menulis saja,

menulis tentang sungai sungai yang mengalirkan cinta seorang bidadari semesta

Tapi, mengapa kau hempaskan aku bak seonggok bangkai yang menjijikkan

Ada detik dalam waktu yang sulit ku pahami

Mengapa aku selalu mencium aroma kebencianmu

 

Hahaha hahaha hahaha Hahaha hahaha hahaha

Lihat Ibu,

dengarlah Ibu

Aku menangis

Ibu Aku merindu kasih sayangmu

Peluk aku untuk sekali ini saja...

 

Akulah si burung hitammu,

Si gila yang mendiami istana kegelapan

Namun, aku tak kan pernah melupakanmu,

Ibu Tlah ku siapkan singgasana emas untukmu

lewat gemulai pena yang bertutur

 

[Atas nama cinta, Ibu, Oleh: Anita Albie 11042016]

.

.

.

Jogja, 12 April 2016

Kolaborasi prosa dan puisi: Djeng sri & Anita Albie

Event Kolaborasi prosa dan puisi bulan April 2016 oleh Rumpies the Club

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun