[caption caption="copyright by bowo bagus"][/caption]
Judul: Siapa jodohku bu?
“Siapa jodohku bu?”
“Eh?”
“Siapa jodohku bu?”
“Hush! Siapa yang mengajarimu bertanya seperti itu?”
“Suara dalam mimpiku bu...”
Hemmh..
Saat itu ibu hanya menghela nafas dalam-dalam lalu diam, melengos sebentar, kemudian menggamit lenganku dan membawaku ke pancuran yang terletak di belakang rumah. Halus perintahnya suruh aku 'tuk membasuh muka, kedua telinga, dan juga kaki.
“Sudah nak?”
Aku hanya mengangguk perlahan seperti halnya anak-anak lain yang masih lugu. Selembar handuk besar pemberian om Pater jadi bulan-bulanan wajah dan tanganku sebelum kuserahkan kembali kepada ibu dengan sedikit tatapan bertanya, apakah maksud dari membasuh muka, kedua telinga, dan juga kaki.
“Tidak apa-apa nak, ayuk ikut ibu?”
Aku sedikit tersenyum ketika tahu tujuan ibu mengajakku adalah kapel kecil di ujung jalan. Bangunan yang reot tanpa kejelasan kapan akan diperbaiki, sebab sebentar lagi musim hujan akan segera tiba.
“Mengapa bu?”
“Tidak apa-apa nak, ayuk pejamkan matamu dan berbicaralah kepada Ia yang memberimu tanya dalam mimpimu”
“Maksud ibu, aku disuruh berdoa?”
Ia hanya menggangguk kecil sambil mengambil posisi disampingku, berlutut, memejamkan mata dan mulai asyik dengan ritual doanya. Dan aku pun mengikutinya melakukan prosesi yang sama, lalu terhanyut dalam bincang-bincang dalam diam, seriuh dengung lebah yang sedang terbang menuju sarangnya sambil berdengung.
***
“Siapa jodohku bu?”
Di hari yang lain, bulan yang lain, tahun yang lain aku semakin sering bertanya kepada ibu sebab semakin dekat saja aku dengan suara-suara dalam mimpi dan semakin riuh saja perintah-perintah untuk bertanya kepada ibu, tentang...
“Siapa jodohku bu?”
Namun jawaban dan kesabaran yang sama ia tunukkan padaku lewat ajakannya untuk melakukkan hal yang sama dari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun, hingga akhirnya...
“Apa akhirnya mo?” tanya Ikal tak sabar
“Iya, akhirnya aku sadar bahwa, suara-suara dalam mimpiku adalah Ia yang maha kasih, yang memintaku untuk menjadi gembalanya...”
“Jadi...,” aku melanjutkan kisahku,
“Ibu tidak pernah marah, namun rupanya sejak semula ia tahu yang Ia inginkan untuk anaknya, yaitu aku ini, maka ia selalu mengajakku untuk selalu berbicara padaNya, semakin dekat padanya, hingga akhirnya aku sadar, kepada siapa dan apa yang selalu berbiara dalam mimpiku Kal..”
“Wah gitu ya mo?” Ikal mengambil nafas dalam-dalam
“Jadi jodoh romo... adalah...”
“Iya, aku menjadi gembala,” jawabku tenang sambil mengusap rambut Ikal.
merindui rintik hujan,di malam yang beranjak larut..
seperti menangguk mimpi…
indah dan buruk dijalani tanpa penyesalan..
menanti pagi yang urung datang jua,
bagai menulis syair di kitab kehidupan..
nasib (fate) bukan jadi alur jalan,
namun rasa percaya (faith) yang jadi pegangan..
+
[ RIP bapa Uskup Mgr. Yohanes Pujasumarta, Pr,
secarik tulisan ini kupersembahkan untuk mengiringi kepulanganmu ke rumah bapa,
RIP, berkah dalem]
Kentungan, Jogja 13 Nopember 2015
Djeng Sri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H