[caption caption="copyright by bowo bagus'p"][/caption]
Judul: [KC] Aku nafsu, Sri, maaf
Djeng Sri, no: 39
Benteng Vedreburg malam Sabtu, sebait puisi gilanya mememelukku erat bagai lintingan ganja yang memabukkan. Kulihat awan-awan bergelantungan pada bulan, saling berpegangan erat untuk lihat kami yang sedang meregangkan kalimat-kalimat manja, cinta, cinta, cinta....
“Ah...”
Hanya itu saja yang mampu keluar dari mulut kecilku. Entah harus bagaimana lagi kumengeja kata, kalimat, frasa, atau lema. Yang ada di kepala hanya ingatan akan legenda-legenda penyair romantis ala Orde Lama atau sebelumnya.
“Cinta,”
“Kanda...”
“Aku..”
Bait kedua puisi gilanya menelentangkan tubuhku bagai langgam nina bobok yang sangat kurindukan. Bukankah ini tidak boleh? Gumamku cemas. Tapi ini sangat menyejukkan, sungguh melenakan...
“Ah...”
“Cinta,”
“Dinda...”
“Bolehkah aku...”
Dan rentetan bait ketiganya pun tak mampu kuhindari, memberondong tanpa mampu dibendung, menelikung bagai ingin jadikanku patung, nafsu...
“Ah...”
.
.
Dimana mereka menaruh sang bulan, duhai cinta?
Apakah ini adalah skenario bagi kita 'tuk bercinta?
Sungguh aku tak ingin percaya
Dimana mereka menaruh sang awan, duhai pujaan?
Seakan-akan malam panjang yang remang di sepanjang perjalanan,
saat kau dan aku hanya mampu terjaga di ranah kata dan balasan
Dimana mereka menaruh jubah sang malam, duhai biduan?
Tak kuijinkan tubuh kita terlihat walau hanya sebagian
s'bab bibir kita hanya sejauh pagutan
.
.
“Ah...”
“Cinta,”
“Kanda...”
“Bolehkah aku...”
Dan kutikam erat jantungnya yang manis saat rembulan sembunyi di peraduan, lalu kurenggut jantungku 'tuk hentikan jam. Selamat tinggal dunia, gumamku pelan, sehalus desau angin yang berhembus kala itu, tiupan manisnya pada kuduk dan telingaku. Aku tersenyum bahagia.
Inilah kami, sejoli yang mencintai sampai mati. Bila sembilan bait surat ini kau temui pun kau baca-i, jadilah penuh semua yang telah tersurat dan tersirat, sebab dunia tak ijinkan kami untuk saling memiliki.
Srekk...
“Ohh...,” Ita melipat kembali secarik surat yang ia baca. Butir-butir air matanya jatuh bagai darah-darah yang tercipta dalam sirat yang tersurat. Bibirnya membeku, tangannya kaku, namun tak urung sebait doa dilantunkannya...
“Requem in pace my sister, i love you”
+
Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community
.
.
.
Jogja, Oktober 2015
Djeng Sri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H