Sri sewot, antara bingung, kaget, sebel, dan beragam perasaan lainnya yang carut marut, yang terpancar dari mimik mukanya yang terus menerus berubah. Langkah kakinya menjauh, namun sesekali wajahnya menengok ke belakang melihatku yang duduk memunggunginya. Aku bisa tau! Tau kalo Sri berkali-kali mencuri pandang ke padaku sambil memonyongkan mulutnya, sebab ponselku memantulkan bayangannya.
Kuk ku kuk Kuk ku kuk
Jam dinding di depan Sri berbunyi pertanda pukul duabelas siang sedang menyambangi ruangan kami. Suara televisi liputan khusus terdengar lantang menyarukan lantunan doa-doa dari penjual tuhan di gedung sebelah, aku meludah,
“Cuh!”
“Ih om jorok!”
“Ah kau Sri!”
“Jangan gitu dong om, jijik aku melihatnya!”
“Hemm”
“Sri, kadang-kadang yang kau lihat menjijikkan adalah gambaran yang lebih pantas daripada banyak hal yang kau lihat baik”
“Ha?”
“Pasti nyindir aku lagi om?”