Sejak pagelaran Pemilu serentak, baik Pileg maupun Pilpres, tahun 2019 dimulai, bahkan jauh sebelum Pemilu itu sendiri berlangsung, masyarakat lebih fokus pada capres bahkan sampai terjadi polarisasi hingga di tingkat akar rumput.Â
Pertarungan seru para capres tampak lebih menarik perhatian publik ketimbang pemilihan anggota DPR, DPRD, dan DPD. Pemilihan caleg nyaris luput dari perhatian masyarakat mulai dari awal kampanye hingga penetapan para anggota legislatif terpilih karena terlalu sibuk mengamati proses pilpres daripada pileg.
Masyarakat lebih fokus pada kecurangan yang terjadi pada Pilpres daripada mengurusi perolehan suara para caleg. Sepertinya para caleg tersebut kurang menarik minat masyarakat sehingga terkesan asal-asalan dalam memilih, yang penting partainya lolos electoral threshold sehingga dapat mencalonkan presiden untuk lima tahun berikutnya.Â
Media juga turut menyumbang keriuhan Pilpres dan mati surinya pileg karena minimnya pemberitaan mengenai kecurangan dalam pileg.
Padahal pertarungan sebenarnya justru terjadi di antara caleg baik antarpartai maupun di dalam partai itu sendiri. Para caleg bertarung mati-matian karena sudah tidak ada lagi istilah "nomor sepatu" sehingga mereka berani menghalalkan segala cara demi menduduki kursi legislatif yang diidam-idamkan selama ini.Â
Saat kampanye banyak caleg yang berani bertaruh menggadaikan harta bendanya untuk meraih posisi legislatif walau dengan risiko tidak kembali modal bila gagal. Setelah penghitungan selesai, mereka yang nyaris lolos kembali bertarung untuk memperebutkan suara dari caleg yang gagal untuk menambah perolehan suara agar memenuhi kuota minimal kelolosan untuk menjadi anggota legislatif.
Ruang gelap inilah yang ternyata dimanfaatkan oleh penyelenggara Pemilu dari berbagai tingkatan untuk "bermain" dengan partai dan para caleg yang ingin duduk di kursi legislatif.Â
Lemahnya pengawasan terhadap perolehan suara caleg membuat mereka leluasa untuk memainkan wewenangnya menetapkan para caleg terpilih.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa suara para caleg yang gagal dialihkan pada caleg yang nyaris terpilih namun kurang beberapa ratus atau ribu suara lagi. Biasanya pengalihan suara berlangsung damai karena sudah ada deal-deal tertentu di antara mereka sendiri.
Namun ternyata ada juga pihak yang kurang puas sehingga menggugat ke pengadilan. Kasus yang pertama kali mencuat adalah suara Mulan Jameela yang mengkudeta suara caleg sesama partainya sendiri.Â
Pertarungan seru tersebut dimenangkan oleh Mulan sehingga beliau dengan mulus duduk di kursi empuk Senayan. Walau sempat terjadi kegaduhan, tetapi akhirnya bisa diselesaikan secara adat dan kasus tersebut tenggelam dengan sendirinya.
Pasca tertangkap tangannya Komisioner KPU oleh KPK seminggu lalu, mulailah ruang gelap yang selama ini menyelimuti KPU mulai terkuak. Jual beli suara caleg yang tersembunyi di balik gunung es mulai terungkap.Â
Kebetulan saja melibatkan partai yang sedang berkuasa sehingga sedikit banyak bakal menyinggung mereka yang sedang menikmati indahnya kursi kekuasaan. Namun jangan lupa bahwa masih banyak kasus serupa yang belum atau bahkan sulit untuk diungkap mengingat sepinya pemberitaan mengenai jual beli suara dalam pemilihan calon anggota legislatif.
Banyaknya jumlah caleg memang merepotkan masyarakat untuk mengecek suara para caleg pilihannya mulai dari PPK tingkat kecamatan, kabupaten, hingga provinsi dan nasional.
Masyarakat sendiri bisa jadi sudah lupa memilih siapa dalam pileg sehingga agak malas untuk mengawal suara caleg pilihannya hingga ke tingkat yang lebih tinggi.
Mungkin hanya para simpatisan caleg saja yang masih rajin mengawal suara, itupun jumlahnya sedikit dan tidak signifikan untuk memantau hingga ke tingkat pusat.
Permainan suara di berbagai tingkatan relatif mulus karena sedikitnya saksi yang terlibat di dalamnya. Minimnya keterlibatan masyarakat membuat para oknum saksi bisa dengan mudah dimainkan oleh oknum baik pengurus partai maupun penyelenggara pemilu di tingkat lokal.Â
Permainan suara inilah yang sulit terendus oleh masyarakat awam walau perhitungan dilangsungkan secara terbuka namun tidak banyak dihadiri oleh para pemilih yang menjagokan calegnya.
OTT KPK terhadap salah seorang Komisioner KPU seolah membuka mata publik bahwa permainan suara para caleg jauh lebih mengerikan dibandingkan suara pilpres. Kalau di pilpres hanya dua pasang calon yang bertarung sehingga dapat dengan mudah ditelusuri jejak digital kecurangan yang terjadi.Â
Namun tidak demikian dengan pileg yang jumlahnya ribuan calon sehingga sulit untuk mendeteksi raibnya suara caleg dan pindah ke caleg yang mana.Â
Permainan ini tentu melibatkan jumlah uang yang luar biasa besarnya, jauh lebih besar dari penyelenggaraan Pemilu itu sendiri saking banyaknya jumlah caleg yang bertarung.
Publik tentu berharap bahwa pengusutan permainan suara oleh caleg tidak hanya berhenti pada Komisioner KPK dan caleg yang menjadi sasaran, tetapi juga mampu menyingkap ruang gelap yang selama ini tersimpan rapat-rapat di balik gemerlapnya Pilpres.Â
Penyelidikan harus bersifat menyeluruh termasuk sistem pengalihan suara yang memungkinkan terjadinya jual beli suara, tidak hanya sekedar menangkap satu dua oknum saja.Â
Kalau oknumnya saja sudah berani berbuat seperti itu, niscaya kredibilitas penyelenggara Pemilu akan turun dan masyarakat takkan percaya lagi pada proses pemilihan umum yang hanya membuang uang dan waktu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H