Konon lubang tambangnya sendiri panjangnya puluhan kilometer, mirip seperti lubang Cu Chi yang dipakai tentara Viet Cong saat melawan tentara Amerika pada perang Vietnam dulu. Namun hanya dibuka sekitar 123 meter saja untuk kepentingan wisata, karena tanahnya labil dan dikhawatirkan ambruk sewaktu-waktu.
Di sebelah lubang tambang terdapat gedung galeri yang berisi barang-barang yang digunakan mbah Soero dulu untuk menambang batubara, seperti linggis, martil, dan tak lupa rantai tangan dan kaki yang membelenggunya. Cerita menyedihkan para penambang tersaji lengkap di galeri berlantai dua tersebut, diiringi pemandu yang bercerita panjang lebar di setiap momen foto yang terpajang pada diorama yang menempel di dinding gedung.
Terakhir, saya mengunjungi Goedang Ransoem atau dapur umum yang menyediakan makanan bagi para pekerja tambang. Di dalamnya terdapat tungku besar untuk menanak nasi sekitar 4 ton beras setiap harinya.Â
Gudang ini menyiapkan makan siang dan makan malam bagi para pekerja tambang, para pengawas dan pegawai serta keluarganya. Menu makanannya terpampang dalam diorama yang dipajang dalam lemari di dalam gedung besar tersebut.
Selain bangunan utama yang berisi tungku besar, terdapat bangunan lain seperti rumah potong hewan, gudang persediaan, dan pabrik es. Di dalam museum juga disimpan peralatan dapur serta tumbukan padi dan kuali besar, serta berbagai foto-foto kegiatan para petambang hingga makamnya yang tak bernama, hanya diberi nomor saja. Suasananya cukup angker apalagi saat sepi pengunjung walau mentari masih terang benderang.
* * * *
Sebenarnya masih ada beberapa museum lagi yang bisa dikunjungi, tetapi karena hari itu pas hari Senin sebagian besar tutup termasuk museum tambang batubara yang terletak di depan kantor PT Bukit Asam. Namun tidak semua museum terkait dengan sejarah pertambangan, seperti museum musik, museum tari, dan museum etnografi kayu yang memanjang benda-benda seni dan budaya milik para kolektor di Sumbar.Â
Museum-museum tersebut menggunakan rumah bekas mes para pegawai Belanda yang tidak lagi digunakan setelah era penambangan usai. Keberadaan museum ini sebenarnya untuk melengkapi persyaratan menjadi Situs Warisan Budaya UNESCO yang akhirnya berhasil diraih tahun ini.
Kota Sawahlunto sendiri menjadi Situs Warisan Budaya yang kesembilan di Indonesia serta kelima di bidang budaya, setelah Candi Borobudur dan Candi Prambanan tahun 1991, Situs Manusia Purba Sangiran di Sragen tahun 1999, dan Sistem Pertanian Subak di Bali tahun 2012 (3).
Situs ini juga menjadi yang kedua di Sumatera setelah Hutan Hujan Tropis Sumatera yang ditetapkan tahun 2004. Sayangnya hutan hujan tropis ini kurang dikelola dengan baik sehingga diberi catatan khusus oleh UNESCO untuk diperhatikan lebih lanjut oleh pemerintah.
* * * *