Mohon tunggu...
Diyan Ahmad
Diyan Ahmad Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

yakusa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dilema Pandangan Aposentrisme dalam Sengketa Putusan Pencemaran Lingkungan

18 Maret 2017   08:38 Diperbarui: 18 Maret 2017   18:00 1372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pencemaran lingkungan yang terjadi pada PT Albasi Permai Lestari yang dihadapkan pada meja persiidangan, mengalami dinamika sengketa yang menarik. Pasalnya setelah diputuskan pada tanggal 13 oktober 2013 di pengadilan negeri Bandung. Naik ke banding pada tanggal 18 Nopember 2013 di pengadilan Tinggi Bandung. Dengan amar putusan Nomor 344/Pid/2013/PT.Bdg sebagai berikut, singkatnya:

  • Menyatakan terdakwa I dan II secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pelanggaran Baku Mutu Air Limbah”;
  • Menjatuhkan pidana kepada terdakwa I dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan pidana denda sebanyak Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 4 (empat) bulan;
  • Menjatuhkan pidana denda kepada terdakwa II sebanyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka sebagian asset/harta PT.PT. Albasi Priangan Lestari, disita dan dijual lelang untuk sekedar cukup untuk membayar jumlah denda dimaksud;
  • Menjatuhkan pidana tambahan kepada terdakwa II, untuk melakukan tindakan sebagai berikut

(1). Memperbaiki kinerja Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) sehingga air limbah yang dibuang ke media lingkungan sudah memenuhi ketentuan aku mutu;

(2). Memeriksa kadar parameter baku mutu alir limbah cair secara periodik, sekurangnya sekali dalam sebulan atas biaya perusahaan pada laboratorium rujukan;

(3). Menyampaikan laporan tentang debit harian kadar parameter baku mutu limbah cair, produksi dan atau bahan baku bulanan senyatanya, sekurangkurangnya tiga bulan sekali kepada Walikota Banjar dengan tembusan kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup;

Dalam memberi putusan tersebut, terjadi perbedaan pandangan antar kedua pihak Hakim sidang. Hemat penulis, Hakim sidang pertama cenderung dalam mengadili perkara kasus lingkungan menggunakan pendekatan aponsentrime. Dan sebaliknya Hakim banding cenderung mempertimbangkan aspek lingkungan yang berkelanjutan, ekosentrisme.

Pada putusan pertama dengan nomor 155/PID.SUS/2013/PN.CMSterlihat dalam memutuskan mempertimbangkan beberapa aspek yuridis, sosiologis, psikologis, filosofis. (Moeljatno, 2002) Berdasarkan aspek aspek yang meringkan dan peran perusahan terhadap masyarakat yang daingga memebrikan kontribusi yang sangat besar bagi negara dengan devisa yang dihasilkannya serta bagi warga masyarakat sekitar perusahaan; Operasional PT Albasi Priangan Lestari tidak menimbulkan keresahan bagi masyarakat; Para terdakwa telah memperbaiki Intalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)-nya. (lihat putusan nomor 155/PID.SUS/2013/PN.CMS, hal 65-66)

Aspek Yuridis

Landasan aspek yuridis tersebut  berdasarkan  “Berdasarkan aspek yuridis, pasal 14a ayat (1) KUHP membolehkan bagi terdakwa untuk dalam waktu yang ditentukan tidak menjalankan pidana penjara yang akan dijatuhkan”

Aspek Sosiologis:

Aspek sosiologis yang menjadi pertimbangan dalam kasus ini menitik beratkan bahwa korban dapat menjadi dehumanisasi, dan tidak bermanfaat dimana pemidanaan dengan waktu yang singkat sehingga tidak berdampak pada perbaikan perilaku terdakwa.

Pidana perampasan kemerdekaan (penjara) seringkali mengakibatkan dehumanisasi pelaku tindak pidana yang pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi pelaku tindak pidana berupa ketidakmampuan untuk melanjutkan kehidupannya secara produktif di dalam masyarakat. …cenderung untuk membuat seorang narapidana menjadi residivis. Begitu pula penjatuhan pidana penjara sangat pendek dapat tidak bermanfaat, sebab tidak dapat menunjang secara efektif kedudukan pidana pencabutan kemerdekaan, baik sebagai sarana menjadikan terpidana tidak mampu maupun sebagai sarana pencegahan. Dengan penjatuhan pidana bersyarat akan diberikan kesempatan kepada terpidana untuk memperbaiki dirinya dalam masyarakat dan memungkinkan baginya untuk melanjutkan kebiasaan sehari-hari sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat. (Prof. Dr. Muladi, SH, Lembaga Pidana Bersyarat, hal. 235-236);

Selain itu, pertimbangan dampak ekonomi yang di layangkan pula berdasarkan jumlah pegawai sekitar 2500 orang, yang akan kehilangan pekerjaannya. Sebagaimana pertimbangan tersebut di lisankan dalam tulisan putusan:

Tidak akan membawa manfaat yang lebih baik, tetapi justru akan menimbulkan dampak negatif, oleh karenanya menurut pendapat Majelis terdakwa yang adalah pemimpin dan pengendali perusahaan dengan jumlah karyawan yang sangat banyak + 2500 orang, tentunya akan lebih berguna apabila ia tetap dapat bekerja dan berada di tengah-tengah karyawannya dalam mengelola PT Albasi Priangan Lestari daripada apabila terdakwa I berada dalam tahanan, terdakwa tidak dapat lagi memberikan kontribusi kepada masyarakat

Aspek Psikologis

Bahwa secara psikologis, dengan dicap sebagai seorang terpidana telah cukup memberi tekanan (pressure) bagi terdakwa, karena itu akan lebih adil apabila dalam menjalankan hukumannya tersebut terdakwa tidak pula dirampas kemerdekaannya;

Aspek Filosofis

Bahwa berdasarkan aspek filosofis, walaupun secara fisik terdakwa tidak menjalani penahanan, tetapi secara filosofis terdakwa sesungguhnya dalam masa waktu yang disyaratkan terikat dengan ketentuan harus bertingkah laku yang baik dengan tidak melakukan tindak pidana lain. Secara kejiwaan, hal ini berarti kebebasan terdakwa berada dalam suatu pembatasan. Mudah-mudahan hal ini akan memberikan schok terapi agar terdakwa lebih berhati-hati di kemudian hari;

Dalam putusan Hakim Banding, tidak sependapat dengan memberikan pertimbangan-pertimbang ekologis dalam putusan Nomor 344/Pid/2013/PT.Bdg. Dan katakanya pula bahwa pertimbangan tersebut tidak populis, justru membawa kepentingan pemodal.

“…Pemidanaan yang ringan kepada pelaku industri yang berpotensi mencemari lingkungan sangat tidak tepat sebab cenderung memposisikan kepentingan penegakan hukum lingkungan berada di belakang kepentingan ekonomi/bisnis, padahal semestinya kedua aspek kepentingan itu berjalan paralel, seimbang dan berkelanjutan.”(Putusan Nomor 344/Pid/2013/PT.Bdg, hal. 14)

Selain itu, Hakim banding pun menyesali pertimbangan hakim sidang awal yang tidak memikirkan adanya efek jera jika tidak dilaksanaakan pemidanaa, dan bukan pidana bebas. Oleh karna itu, Hakim banding menyampaikan keberatan atas pertimbangan hakim sidang pertama.

“Pelanggaran atas tindak pidana ini dapat dipandang sebagai hal lumrah dan memungkinkan pelaku usaha/industri lain melakukan hal yang sama. Disisi lain, pidana yang ringan dipandang tidak akan memberi efek edukasi dan penyadaran bahwa pelanggaran yang sama tidak akan terulang lagi”(Putusan Nomor 344/Pid/2013/PT.Bdg, hal. 14)

Kemudian memberikan pertimbangan sebagaimana Pasal 67 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyebutkan, setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Dan Pasal 2 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Diantaranya adalah asas kelestarian dan keberlanjutan serta asas keserasian dan keseimbangan, setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan tanggung jawab terhadap sesamanya dalam satu generasi dengan melakukan upaya melestarikan daya dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup. Demikian pula pemanfaatan lingkungan hidup harus memperhatikan berbagai aspek seperti kepentingan ekonomi, sosial, budaya dan perlindungan serta pelestarian ekosistem.

Perbedaan sudut pandang dalam memberi pertimbangan tersebut, dalam pandangan Arne Naess (Sonny Keraf, 2010) merupakan akibatpola prilaku manusia, yang memandang alam hanya sebatas pelengkap atau pendukung kehidupan manusia. Sehingga hal ini menyebabkan ketidak seimbangan atau check and balance Istilah yang sering digunakan cendekiawan Indonesia, Nucholis Madjid, (2010) yang akhirnya menimbulkan ketidak seimbangan, konflik.

Soony Keraf (2010) menjelaskan bahwa cara pandang manusia yang mengangap seluruh kehidupan yang hadir di alam, tidak lebih untuk sebagai pemuas hasrat kebutuhan manusia, merupakan pandangan antroposentrisme. Yang selanjutnya manusia dianggap berada diluar dan terpisah dari alam. Bahkan, manusia dipahami sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan apa saja terhadap alam. Pandangan inilah yang melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif tanpa kepedulian sama sekali terhadap alam, dan segala isinya dianggap tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Sehingga tak heran pertimbangan yang pro terhadap modal (perusahaan) yang bersifat eksploitatif tanpa adanya tanggung jawab.

Jika ditelisik lebih jauh, dialektika ekosenstrime yang melawan pandangan antroposentrisme hakim tersebut berawal dari filsuf terdahulu, yaitu Aristoteles. Dimana manusia merupakan makhluk sosial (social animal) yang eksistensi dan indentitas dirinya ditentukan oleh komunitas sosialnya. Dalam pemahaman ini, manusia berkembang menjadi dirinya berdasarkan interaksi yang terjadi didalam komunitasnya. Identitas dirinya pun lahir dari komunitas sosial, sebagaimana pula manusia terlibat lingkaran dalam membentuk komunitas sosialnya. Manusia tidak melihat bahwa lingkungan sekitar dalam komunitasnya terlibat dalam pembentukan identitas dirinya. Dengan kata lain, faktor intelektualitas (sumber bacaan para hakim) yang cenderung asing terhadap hukum lingkungan membentuk jati diri non empati terhadap alam.

Selain itu pula, etika yang berlaku dan terbentuk didalam komunitas, dianggap hanya sebatas pengaplikasian terhadap sesama manusia. Norma dan nilai moral hanya dibatasi keberlakuanya pada manusia, dan berlaku sebaliknya, yaitu tidak memilki implikasi (etika) yang sama terhadap makhluk lain diluar manusia. Terlihat dengan melihat jikalau dipidanakan akan membuat lebih sengsra perekonomian masyarakat, akibat tidak beroperasinya perusahaan. Selain itu dikarenakan telah berjasa pada negara (lihat poin aspek sosiologis).

Oleh karena itu kemunculan paham antroposentrisme yang dianggap tidak menyeimbangkan antara kebutuhan manusia dan alam dikritik keras dan dikoreksi oleh para ahli, yang kemudian muncul cara pandang baru yang mengetengahkan kebutuhan dan keberlanjutan antara manusia dan alam, biosentrisme dan ekosentrisme.

Biosentrisme dan ekosentrisme menganggap kehadiran manusia di alam tidak lah akan terjadi perkembangan dan pertumbuhan tanpa adanya interfensi saling mengada di alam. Artinya, kehadiran makhluk hidup lainya turut memebrikan interfensi bagaimana manusia dapat hidup dan berkembang— tanpa adanya aktifitas makan, minum, bernafas dan sebagainya, manusia tidak mungkin dapat hidup dan beregenarai hingga saat ini.

Dengan posisi tersebut, alam pula mendudukan dirinya sejajar dengan manusia dalam rantai kehidupan, saling mengisi dan mengikat satu sama lain. (John Casey, 1992)  Sehingga berdasarkan pemahaman tersebutlah biosentrisme dan ekosentrisme muncul untuk merevitalisasi cara pandang dan perilaku manusia seperti masyarakat adat dalam berinteraksi dengan alam. Selanjutnya dijawab oleh pertimbangan hakim agar mengambil kebijakan haruslah seimbang dengan memeprtimbangkan banyak aspek, terutama keberlangsungak pelestarian ekosistem.

“Diantaranya adalah asas kelestarian dan keberlanjutan serta asas keserasian dan keseimbangan, setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan tanggung jawab terhadap sesamanya dalam satu generasi dengan melakukan upaya melestarikan daya  dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup. Demikian pula pemanfaatan lingkungan hidup harus memperhatikan berbagai aspek seperti kepentingan ekonomi, sosial, budaya dan perlindungan serta pelestarian ekosistem”(Putusan Nomor 344/Pid/2013/PT.Bdg, hal. 14-15)

Sehingga pada kesimpulan banding yang diajukan oleh Terdakwa I dan II di tolak, dan menjatuhkan pidana yang sesuai, berikut pula memberikan denda yang tinggi kepada kedua terdakwa.

Berdasarkan pembahasan diatas, maka penulis menyimpulkan bahwa putusan pengadilan nomor 155/PID.SUS/2013/PN.CMS mengadili terdakwa dengan penjara bebas besyarat dan denda yang relatif kecil. Sedangakan pada putusan banding Nomor 344/Pid/2013/PT.Bdg, mengadili terdakwa untuk menjatuhkan denda yang tinggi berikut kurungan penjara selama setahun.

Kemudian dalam memutuskan sengekta yang terjadi, terdapat pandangan yang berbeda masing masing hakim dalam memberikan pertimbangan-pertimbangan. Dalam hal ini, majelis hakim sidang pertama, penulis menyimpulkan lebih cenderung menggunakan pendekatan antroposentrisme dalam memberikan putusan pencemaran lingkungan.

Padahal, kasus lingkungan sebagaimana sifat dari lingkungan itu sendiri yang menolak adanya paham antroposentrisme, dan cenderung untuk memihak kepada keselerasian alam, ekosentrime dan biosentrime. Dengan memperlihatkan Majelis Hakim banding membantah pertimbangan sidang hakim pertama dengan pandangan tersebut. Sebagaimana pula pandangan ekosentrisme dan biosentrisme bersinergi dengan pembangunan berkelanjutan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun