Bab 1 Menunggu
"Hyra, kamu ngapain di sini?" tanya Mahesa pada gadis berambut panjang sepinggang yang duduk di anak tangga teras rumahnya. Bola matanya yang masih menatap ke satu titik di depannya, mencoba bergeser untuk menatap ke arah lain, meski sang pemilik tidak tahu pastinya.
"Kak Esa? Udah datang, ya."
Mahesa yang tadi berdiri langsung duduk di samping Mahyra. Melepas jaket hitamnya, memakaikan di punggung gadis tersebut agar tidak kedinginan. Sadar apa yang dilakukan Mahesa, Mahyra tersenyum dan mengucap, "Makasih."
Mahesa mengangguk, meski Mahyra tak dapat melihatnya. Ia menatap lekat gadis di sampingnya. Gadis manis bermata cokelat ini seperti tidak akan beranjak dari posisinya. Ia terus duduk di atas anak tangga.
"Hyra, lagi nunggu siapa?" tanya Mahesa lagi, ketika mengamati Mahyra seperti menunggu seseorang.
"Hyra lagi nunggu Dafa, Kak," sahutnya. Lalu ia mengambil smartphone yang ada di samping. Â "Udah jam empat, kok Dafa belum pulang, ya?" tanyanya heran.
Mahesa mengembuskan napas pelan. Masih saja Mahyra menunggu Dafa yang tidak peduli dengannya.
"Mungkin, Dafa ada tugas di sekolahnya, jadi pulangnya agak lama." Mahesa mencoba menebak dengan tetap berpikir positif agar gadis tersebut tidak kecewa.
Mahyra menoleh ke arahnya, meski bola matanya tak menatap dirinya. "Kak Esa bener. Hyra suka lupa kalau Dafa banyak tugas di sekolah. Apalagi sekarang Dafa udah SMA, tugasnya makin banyak," ucap Mahyra penuh pengertian.
"Jadi, mau sampai kapan Hyra nunggu Dafa?" Mahyra terdiam tak menjawab. "Hyra mau belajar juga kayak Dafa, kan? Tugas Hyra kemarin udah dikerjakan belum?" goda Mahesa pada gadis berkulit putih tersebut.
"Udah dong, Hyra gitu loh," ucapnya bangga membuat Mahesa tersenyum. Ia senang melihat gadis ini ceria dan percaya diri di tengah kekurangannya. "Ayo, Kak. Kita belajar," ajaknya semangat.
"Yuk," sahutnya. Lalu membantu Mahyra berdiri dari duduknya.
***
"Daf, beliin ini, ya?" rengek Sandrina pada Dafa sembari menunjuk tas bewarna merah.
Â
Dafa hanya mengangguk pasrah ketika kekasihnya ini merengek. Bukan takut, Dafa malas meladeninya.
Mendapat anggukan dari Dafa, Sandrina segera menyambar tas yang menarik perhatiannya. Tanpa basa-basi, ia langsung menarik lengan Dafa ke kasir bersama tas tersebut. Seperti biasa, Dafa yang akan membayar tas bernilai jutaan itu.
"Makasih, baby," ucap Sandrina manja. Tak ada respon dari Dafa, ia segera menyerahkan kartu kreditnya ketika kasir toko menyebut nominal dari harga tas.
Setelah membeli tas, keduanya keluar dari toko di mal. Sandrina masih memeluk lengan Dafa manja, sementara yang dipeluk sudah bermuka masam sembari menenteng paper bag. Sesampainya di depan eskalator, Dafa menghentikan langkahnya, diikuti Sandrina.
"Kenapa, beb?" tanya Sadrina bingung.
Dafa mengulurkan paper bag pada Sandrina. Sandrina menaikkan alis tidak mengerti. Biasanya Dafa akan membawa paper bag belanjaannya selama berjalan di mal.
"Kenapa sih? Oh, kamu mau ke toilet?" Sandrina menerima paper bagnya.
"Kita putus."
"Apa?!" Sandrina berteriak tidak percaya.
"Dan anggap aja, tas itu hadiah dari hubungan terakhir kita."
Setelah mengucap kalimat putus pada Sandrina, Dafa berlalu dari hadapan gadis berambut panjang sebahu itu. Turun ke lantai bawah dengan eskalator. Sandrina yang tak percaya, diputuskan begitu saja, berteriak memanggil nama Dafa. Membuatnya menjadi pusat perhatian.
"Dafa! Aku nggak terima!"
***
Mahyra menunggu Mahesa menyeleksi jawabannya di kertas. Ia sudah bersungguh-sungguh belajar sore ini, jadi sudah pasti akan mendapatkan hasil maksimal dari gurunya. Mahesa melirik sekilas Mahyra. Wajahnya yang serius membuatnya terlihat lucu. Gadis itu benar-benar menunggu hasilnya, seperti sedang ujian sekolah.
"Gimana, Kak?"
"Sabar, aku masih ngoreksi." Mahesa melanjutkan koreksinya. Setelah lima menit, ia selesai mengoreksi jawaban Mahyra.
"Gimana, Kak?" tanya Mahyra agak lesu karena menunggu lama. Tetiba ia merasa tidak yakin dengan hasilnya. Ia tahu, jika hasilnya jelek Mahesa akan mengulur waktu untuk mencari kata-lata yang tepat.
Mahesa tersenyum dan mengelus pucak kepala Mahyra.
"Selamat, ya. Dari dua puluh soal, salah satu," jelasnya.
Mahyra yang tadinya lesu, langsung sumringah, tak luput dari senyum manisnya.
"Beneran?" tanyanya tak percaya. Mahesa mengangguk, padahal sudah jelas Mahyra tidak akan melihatnya. "Alhamdulillah. Kemajuan," ucap Mahyra nyengir.
Mahesa terkekeh mendengarnya. Jika dibilang kemajuan, Mahesa meyakini itu bukan kemajuan, murid lesnya ini memang cerdas. Meski memiliki kekurangan, tak mengurangi semangatnya untuk belajar.
"Udah setengah enam, mau magrib, lesnya kita akhiri, ya." Mahyra mengangguk. Lalu dengan telaten ia merapikan buku-buku di meja. Bangkit dari posisi duduknya. Menunggu Mahesa merapikan tasnya.
"Aku pulang, ya," ucap Mahesa.
"Aku antar, Kak," sahut Mahyra meraih lengan Mahesa.
Mahesa yang sudah biasa kebiasaan Mahyra hanya pasrah. Keduanya berjalan dari ruang tamu ke halaman rumah.
Mahyra menghentikan langkahnya ketika sampai di anak tangga teras paling bawah. Tangannya melepas lengan Mahesa dan menghadap laki-laki berambut klimis rapi di depannya.
"Makasih, Kak, udah ngajarin aku," ucapnya tulus. Mahesa tersenyum. Gadis yang memiliki hidung mancung ini memang luar biasa baginya. Tidak pernah lupa mengucapkan terima kasih.
"Sama-sama." Mahesa mengusap rambut Mahyra. "Besok kita belajar lagi, ya," ajaknya yang dijawab anggukan Mahyra.
"Dafa?" Mahesa mengerutkan kening begitu mendengar nama Dafa disebut Mahyra. Tidak ada Dafa, mengapa nama laki-laki itu disebut?
-Bersambung-
Terima kasih sudah membaca cerita ini. Kritik dan saran diperlukan, guna membangun tulisan saya lebih baik.
Kisah selanjutnya, silakan baca di aplikasi Rakata. Berikut linknya :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H