Mahyra yang tadinya lesu, langsung sumringah, tak luput dari senyum manisnya.
"Beneran?" tanyanya tak percaya. Mahesa mengangguk, padahal sudah jelas Mahyra tidak akan melihatnya. "Alhamdulillah. Kemajuan," ucap Mahyra nyengir.
Mahesa terkekeh mendengarnya. Jika dibilang kemajuan, Mahesa meyakini itu bukan kemajuan, murid lesnya ini memang cerdas. Meski memiliki kekurangan, tak mengurangi semangatnya untuk belajar.
"Udah setengah enam, mau magrib, lesnya kita akhiri, ya." Mahyra mengangguk. Lalu dengan telaten ia merapikan buku-buku di meja. Bangkit dari posisi duduknya. Menunggu Mahesa merapikan tasnya.
"Aku pulang, ya," ucap Mahesa.
"Aku antar, Kak," sahut Mahyra meraih lengan Mahesa.
Mahesa yang sudah biasa kebiasaan Mahyra hanya pasrah. Keduanya berjalan dari ruang tamu ke halaman rumah.
Mahyra menghentikan langkahnya ketika sampai di anak tangga teras paling bawah. Tangannya melepas lengan Mahesa dan menghadap laki-laki berambut klimis rapi di depannya.
"Makasih, Kak, udah ngajarin aku," ucapnya tulus. Mahesa tersenyum. Gadis yang memiliki hidung mancung ini memang luar biasa baginya. Tidak pernah lupa mengucapkan terima kasih.
"Sama-sama." Mahesa mengusap rambut Mahyra. "Besok kita belajar lagi, ya," ajaknya yang dijawab anggukan Mahyra.
"Dafa?" Mahesa mengerutkan kening begitu mendengar nama Dafa disebut Mahyra. Tidak ada Dafa, mengapa nama laki-laki itu disebut?