Tinggal di negara orang tanpa saudara, orangtua, dan hanya ditemani sang suami, membuat Hanum dilanda rasa sedih mendalam karena kegagalan tersebut. Apalagi ketika itu tak banyak yang bisa dilakukan Hanum.
"Saya udah nggak mungkin lagi jadi reporter karena nggak bisa bahasa Jerman waktu itu," Kata Hanum
Keinginannya untuk memperdalam ilmu jurnalistik pun harus kandas lantaran basic pendidikan S1-nya sebagai Sarjana Kedokteran. Hal tersebut semakin membulatkan keinginannya untuk menjadi seorang ibu. Namun saat itu pula Hanum harus menemui kegagalan.
Tak mau melihat sang istri larut dalam kesedihan, Rangga membawa Hanum ke sebuah perpustakaan dan memintanya untuk menulis. Dari situlah Hanum mulai menemukan formula untuk mengatasi rasa sedih atas kegagalannya menjalankan program hamil dengan cara menulis.
Hanum mengisi kekosongannya dengan menulis, bahkan Hanum menyisihkan royalti dari hasil buku yang di tulis untuk biaya program bayi tabung. Sekali program bayi tabung Hanum harus mengeluarkan biaya Rp 40-50 Juta.
Tuhan memang Maha Besar, di usia pernikahannya yang ke-9. Hanum dinyatakan hamil. Akan tetapi, takdir baik belum berpihak kepadanya, karena dokter menyatakan bahwa janin yang di kandungnya berada di luar rahim dan harus di angkat pada usia kandungan tujuh minggu, dan tuba Hanum harus di potong.
Kegagalan yang di alami hanum dari program bayi tabung, inseminasi, dan pengobatan hermal, mengakibatkan Hanum merasa depresi dan kehilangan arah. Bahkan Hanum harus menutup diri dari dunia luar dan akses terhadap media sosial selama tiga bulan.
Selama tiga bulan tersebut, Hanum hanya melakukan salat, dzikir, mengaji dan menonton ceramah untuk menenangkan diri. Kemudian Hanum bertekat untuk pergi ek psikiater untuk bangkit.
Hingga pada akhirnya, ia bangkit dengan semangat baru dan memiliki keinginan untuk mengadopso anak dari pasti asuhan. Hanum juga lebih ikhlas dan pasrah menjalankan takdir yang ada.
Kisah Inspiratif Denada Menguatkan Shakira Putrinya (Berjuang Melawan Leukimia)