Mohon tunggu...
Hamid Patilima
Hamid Patilima Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis, pembicara, dan fasilitator

Merdeka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hak Anak atas Privasi

10 Mei 2020   14:28 Diperbarui: 10 Mei 2020   14:43 2113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Privasi. Ini merupakan hak anak yang pernah ditolak oleh Indonesia pada saat ratifikasi Konvensi Hak Anak pada tahun 1990, tetapi dihidupkan kembali pada tanggal 11 Januari 2005.

Mengapa pasal tentang hak anak atas privasi tidak diterima pada waktu itu, yang mengetahui jawabannya hanya pemerintahan pada masa itu.

Lalu apa dampaknya, faktanya generasi yang lahir sebelum pasal ini diterima, dapat kita saksikan ada  saja orang yang "Suka" mengumbar aib orang atau privasi orang lain. Sampai-sampai pada saat ini, masih kita mendengar, membaca, dan menyaksikan ada saja orang yang masih eksis, suka membuka kesalahan orang di muka publik melalui media utama maupun media sosial. Meskipun sebagian dari yang ada menjadi tersangka dan terpidana yang diproses atas pelanggaran privasi seseorang, masih ada saja yang nekat. Palingan meminta maaf.

Mumpung masih banyak waktu bersama anak dalam suasana pandemik Covid19. Manfaatkan kebersamaan bersama anak, ayahanda dan bunda membahas topik tentang hak anak atas privasi.

Pasal 16 Konvensi Hak Anak menekankan bahwa "Setiap anak berhak atas privasi." Juga Undang-Undang Negara melindungi privasi anak-anak, keluarga, rumah, komunikasi, dan reputasi (atau nama baik) dari serangan apa pun."

Ayahanda dan bunda, hak anak atas privasi, merupakan tema diskusi yang sensitif, butuh kesungguhan, butuh kejujuran, dan butuh ketegasan. Ajak anak untuk berbicara, dengan difasilitasi oleh Ayahanda, berikan kesempatan bagi mereka untuk mengidentifikasi hal-hal yang terkait dengan privasi. Akhiran dari diskusi akan menyepakati beberapa ketentuan yang terkait dengan privasi berikut dengan peringatan.

Bunda atau ayahanda, pasti membelikan atau memberikan anak-anak antara lain, dompet, tas sekolah, handphone (kalau berlebih), memberikan kamar tidur, lemari, dan lain-lain. Semua barang ini terkait dengan hal-hal pribadi. Sudah dapat dipastikan, anak akan memanfaatkan dengan penuh tanggung jawab, termasuk menyimpan informasi yang sangat pribadi di barang-barang tersebut.

Tidak ada satu pihak manapun yang dapat membuka, termasuk ayahanda dan bunda. Walaupun demikian, ayahanda dan bunda ingin mengetahui apa saja isi yang ada dan disembunyikan dari kita di tempat penyimpanan tersebut. Karena ada kekhawatiran terhadap sesuatu "?". Untuk menghindarkan kekhawatiran tersebut. Jalan utamanya adalah membuat aturan yang disepakati bersama melalui proses diskusi.

Yang membeli dan yang memberikan, bukankah ayahanda dan bunda. Pasti sebelum membeli sesuatu ada baiknya buat dan ikat dengan kesepakatan. Dek, Mas, Mba' - setiap minggu, bunda dan ayah akan mengecek, dompet, tas sekolah, handphone, kamar, lemari. Karena anak diberi kepercayaan 100%, dan mereka sangat menghormati ayahanda dan bunda.

Sudah dapat dipastikan anak-anak dengan penuh lapang dada untuk menyepakati dan memberikan akses kepada ayahanda dan bunda untuk memeriksanya.

Yang tidak dibenarkan, adalah tanpa kesepakatan, main periksa, paksa, sambil ngedumel, marah-marah, dan ngegas. Sambil dibumbui dengan kata-kata yang tidak enak didengar. Kalau tau begini, papa, mama tidak berikan, tidak beli buat adek atau kakak.

Anak memiliki harga diri, dan dia manusia yang memiliki harkat dan martabat yang harus dihormati, termasuk hak atas privasi. Ayahanda dan bunda diberi kewenangan untuk mengatur dan mengawasinya, tetapi penuh penghargaan dan menjadi model bagi mereka.

Salah satu yang dapat dicontohkan kepada anak, karena ayahanda dan bunda sudah memiliki kamar sendiri, begitu juga dengan anak (maaf yang kamarnya belum terpisah). Ayahanda dan bunda menyampaikan kepada anak, kalau mau masuk kamar, perlu mengetuk pintu, minta izin, dan ucap salam. Itu berarti pada saat ayahanda dan bunda, jika ingin mengecek atau masuk ke kamar anak, maka berlaku juga hal yang sama. Begitu juga dengan mengecek dompet, tas, lemari anak.

Itu semua harus diawali dengan kesepakatan. Upaya bunda dan ayahanda tidak secara langsung sedang membimbing sekaligus mengajarkan "begini" nak untuk menghargai privasi orang lain.

Aturan Yang Maha Pengatur melalui Rasul-Nya, termuat dalam Q.24:58 menyatakan, bahwa "Wahai orang-orang yang beriman! Hendaklah ... orang-orang yang belum balig (dewasa) di antara kamu, meminta izin kepada kamu pada tiga kali (kesempatan) yaitu, sebelum shalat Subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari, dan setelah shalat Isya. (Itulah) tiga aurat (waktu) bagi kamu. Tidak ada dosa bagimu dan tidak (pula) bagi mereka selain dari (tiga waktu) itu..."

Jelas bukan, memasuki kamar saja ada aturan yang perlu dilaksanakan dan ditaati.

Bagaimana dengan menjaga identitas diri, agar marwah keluarga tetap terjaga. Mintakan kepada anak-anak untuk menyimpan secara rapi, tidak diumbar ke publik. Nama, alamat, status, dan lain sebagainya, diproteksi. Sehingga tidak mudah disalahgunakan oleh para pihak.

Hindarkan menceritakan secara gamblang tentang anak kita kepada orang lain, termasuk kepada siapapun, terutama oleh bunda. Kalau tidak jelas tujuannya. Bila sudah terlanjur, maka jadikan sebagai pembelajaran sekaligus peringatan. Siapa lagi yang menjaga privasi anak kita, kalau bukan kita sendiri.

Negara ini saja untuk menjaga privasi anak yang diduga berhadapan dengan hukum, privasi, berikut identitasnya harus diproteksi. Hal sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Setiap Anak dalam proses peradilan pidana berhak: ... i. tidak dipublikasikan identitasnya (Pasal 3). Identitas Anak (Pelaku), Anak Korban, dan/atau Anak Saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik. Identitas yang dimaksud meliputi nama Anak, nama Anak Korban, nama Anak Saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi (Pasal 19).

Bagi media cetak dan elektronik yang melanggar dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 97). Sampai saat pembacaan Putusan Hakim ditekankan untuk menjaga privasi anak, Identitas Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi tetap harus dirahasiakan oleh media massa dengan hanya menggunakan inisial tanpa gambar (Pasal 61).

Komite Hak Anak PBB dalam Komentar Umum Nomor 24 Tahun 2019 juga mendorong setiap Negara untuk memperkenalkan peraturan untuk mengizinkan penghapusan catatan kriminal anak, ketika mereka mencapi usia 18 tahun, secara otomatis atau dalam kasus luar biasa, mengikuti peninjauan oleh tim independen.

Anak-anak semakin mengetahui, dan barang tentu ayahanda dan bunda semakin melek hukum tentang perlindungan privasi anak.

Pertanyaannya, mengapa penting menjaga privasi anak.

Mereka adalah individu yang sedang tumbuh dan berkembang. Sejak dari awal hak-hak atas privasi mereka harus dilindungi, tidak mengalami diskriminasi, selalu privasi mereka menjadi pertimbangan utama, dan pandangan mereka tentang menjaga privasi selalu ditanyakan dan didengar, serta diberi bobot dalam pengambilan keputusan. Ini artinya anak-anak semakin menyadari bahwa mereka memiliki hak atas privasi untuk dilindungi. Sekaligus mengajarkan untuk mengingatkan mereka, bahwa teman-teman sebayanya dan orang dewasa lain memiliki privasi yang serupa untuk dihormati.

Bagaimana kalau ada anak yang bertanya? Bund... Kok masih ada saja orang tidak menghargai privasi orang lain. Sampaikan kepada anak-anak kita, maafkan mereka. Mereka seperti itu karena mereka tidak menyadarinya. Atau mungkin mereka lahir sebelum tanggal 11 Januari 2005. Dimana Pasal 16 Konvensi Hak Anak tentang Hak Anak atas Privasi, belum diterima.

Ada saja media yang masih membuka privasi anak baik sebagai pelaku maupun saksi atau korban. Sampaikan juga, mungkin wartawan atau medianya masih mau menyiarkan, karena ada aparat hukum suka konferensi pers. Mungkin hanya dengan begitu, pejabat tersebut dikenal dan terkenal, sekaligus viral. Jaksa belum ada yang berani menuntut medianya ke pengadilan. Yakinkan anak untuk mahfum dan menerimanya.

Dengan kita menjawab fakta di lapangan yang ditanyakan oleh anak dalam diskusi, dengan jawaban yang meyakinkan dan penuh penekanan. Biarkanlah itu sudah menjadi urusan dan tanggung jawab mereka sendiri, mungkin belum hari ini mereka dituntut, namun waktu di Pengadilan Akhirat.

Pendek kata, ayahanda dan bunda tetap menyampaikan kabar gembira, bagi mereka yang menjaga privasi orang lain, maka privasi kita akan terjaga. Begitu sebaliknya ingatkan anak-anak kita, kalau kita membuka aib orang, maka aib kita akan terbuka dengan sendirinya.

Diskusi menyangkut hak anak atas privasi tidak ada habis-habisnya. Begitu juga dengan anak, terus akan mengungkap dan mengidentifikasi apa saja yang mereka rasakan atau mereka saksikan atas pelanggaran hak privasi, baik itu di tempat tinggal, lingkungan, tempat bermain, dan tempat belajar.

Ada-ada saja, orang yang ingin tahu, mau cari tahu, dan lain-lain. Kalau bunda dan ayahanda telah berbuat baik sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan, maka itulah tugas yang sesungguhnya. Anak kita berubah atau tidak untuk menghargai hak privasi dirinya dan orang lain, itu adalah menjadi kewenangan Yang Maha Pengatur melalui cahaya dan hidayah-Nya.

Salam,  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun