PRINSIP-PRINSIP PERKAWINAN DALAM UU NO. 1 TAHUN 1974
Oleh : Nisrina Husniyah R, Divina Aghni Lareza
Perkawinan dalaam UU No. 1 Tahun 1974 (pasal 1) adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Adapun prinsip-prinsip perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut.
1. Asas Sukarela
Prinsip pertama adalah asas sukarela, karena tujuan perkawinan adalah agar seorang laki-laki dan seorang perempuan dapat melangsungkan perkawinan yang langgeng dan bahagia sesuai dengan hak asasi manusia, maka persetujuan antara kedua calon mempelai adalah hal yang penting untuk didapatkan tanpa ada pihak lain yang memaksa. Hal ini dimuat dalam Pasal 6 (1) UU No.1 tahun 1974) tentang perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
KHI menjelaskan, persetujuan calon pengantin perempuan bisa berupa pertanyaan yang pasti dan nyata secara tertulis, lisan, atau berupa isyarat, dengan kata lain diam, selama tidak ada penolakan yang pasti (Pasal 16 ayat 2).
2. Asas Partisipasi KeluargaÂ
Prinsip yang kedua adalah asas partisipasi keluarga, pada prinsipnya anak yang telah mencapai usia perkawianan telah dipandang dewasa (Pasal 7 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 dan pasal 15 ayat 1 KHI). Ia mampu mengambil tindakan hukum dan dapat menentukan pilihannya sendiri. Namun, pernikahan merupakan suatu peristiwa sakral dalam hidup, dan dari sudut pandang agama, untuk membangun kehidupan dan rumah tangga yang baru, pemberkatan pernikahan memerlukan keterlibatan keluarga. Oleh karena itu, baik laki-laki maupun perempuan yang berusia 21 tahun memerlukan izin orang tuanya (pasal 6 UU Nomor 1 Tahun 1974 dan pasal 15 ayat 2 KHI).
3. Perceraian Dipersulit
Prinsip yang ketiga adalah perceraian dipersulit, Perceraian merupakan suatu hal yang dibenci Allah, walaupun diperbolehkan, sebab perceraian suami-istri membawa dampak buruk bagi tumbuh kembang anak, termasuk ayah atau ibu yang diidamkan tidak sesempurna sebelum perceraian. Hal tersebut menimbulkan trauma pada anak-anaknya sehingga berujung pada kenakalan remaja akibat keluarga yang berantakan. Oleh karena itu, undang-undang mengatur harus ada alasan tertentu untuk mengabulkan perceraian dan harus dilakukan sidang di pengadilan (Pasal 39.40 UU No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 115, 116 KUH Perdata).
4. Poligami Dibatasi Secara Ketat