Mohon tunggu...
Diva Salsabilla Dayanti
Diva Salsabilla Dayanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial UNJ

Saya? oh sesederhana remaja yang belajar untuk suka menulis dan membaca.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Belajar dari Masyarakat Adat: Pemberdayaan Masyarakat Urban dalam Menjaga Ketahanan Pangan di Masa Pandemi

14 Maret 2022   20:22 Diperbarui: 15 Maret 2022   01:44 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terasa maupun tidak, terhitung dari 2 Maret 2020, pandemi Covid-19 telah genap dua tahun menghantui Indonesia. Dua tahun pandemi tentunya tidak berjalan sesederhana angka yang genap itu.

Semua  dilalui dan disusul dengan  krisis multidimensi yang menimpa sebagian besar masyarakat Indonesia terutama mereka yang sudah sedari awal termarjinalkan. 

Krisis multidimensi ini meliputi kesehatan publik yang terancam dengan kolapsnya rumah sakit, merebaknya pengangguran akibat bangkrutnya berbagai usaha di sektor terdampak, kemiskinan, krisis pangan, demokrasi yang turut sakit, sistem pembelajaran daring yang menghadapi kesemrawutan,  juga masalah-masalah sosial lainnya.

"Kesehatan atau ekonomi?", dua dimensi yang dinarasikan oleh pemerintah seolah-olah merupakan sebuah dikotomi yang harus dipilih secara tunggal. Kecendrungan pemerintah untuk memprioritaskan pertumbuhan ekonomi semata tercermin dengan bagaimana bobroknya berbagai kebijakan selama dua tahun pandemi. 

Dari mulai pembukaan pariwisata di kala dunia justru sedang gencar mencanangkan karantina wilayah, pernyataan pejabat publik yang terkesan menyepelekan pandemi, korupsi bantuan sosial, transparansi dan komunikasi data pandemi yang buruk, hingga pelaksanaan karantina wilayah yang tidak tegas dalam menjamin hak-hak warga.

Dari mulai PSBB, PPKM Makro, hingga PPKM Mikro, pergantian istilah karantina wilayah yang diusulkan oleh pemerintah Indonesia hanya berusaha mengaburkan kewajiban negara dalam memenuhi hak-hak warga selama Pandemi. Hal ini bisa kita sebut sebagai manipulasi diksi. 

Masyarakat dibuat semakin pusing dengan segala ketidakpastian dan lepasnya tanggung jawab pemerintah yang bersembunyi di balik topeng karantina wilayah. Seluruh warga di daerah dengan  tingkat kasus Covid-19 yang tinggi diminta untuk berdiam diri di rumah. 

Sementara itu, pembagian bantuan sosial berupa kebutuhan pokok yang merata tidak benar-benar dipenuhi oleh pemerintah. Masyarakat dihadapkan pada ketidakpastian, mereka yang rentan semakin rentan. Semua itu semakin memperjelas ironi besar, bagaimana bisa hak-hak warga  dipenuhi kalau dananya saja sudah disunat oleh  Menteri Sosial sendiri, si Tikus Berdasi, Juliari.

Di Negeri yang amat terlalu nyaman meninabobokan para penguasa dan kapitalis, ketimpangan sosial sudah menjadi konsekuensi mutlak yang menimpa masyarakat urban. 

Selama dua tahun pandemi, dari delta hingga omicron, karantina wilayah menjadi neraka tersendiri bagi kaum urban yang rentan secara sosial dan ekonomi. Ketika mereka yang kaya dan berkuasa masih nyaman bersenang-senang selama pandemi. Kisah berlawanan dihadirkan oleh para pekerja dan pelaku usaha di beberapa sektor terdampak, terutama pariwisata. 

Kelompok dalam masyarakat urban ini harus menelan pil pait karantina wilayah. Dengan pemasukan yang menurun drastis akibat mobilisasi yang dibatasi, masyarakat juga harus menghadapi kondisi tidak pasti atas kebutuhan pokok yang seharusnya menjadi hak mereka untuk dijamin dan dipenuhi oleh pemerintah.

Kita tak mungkin tutup mata bahwa Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 mengenai kekarantinaan kesehatan itu masih eksis. Pada Pasal 52 angka (1) dinyatakan, "Selama Penyelenggaraan Karantina Rumah, kebutuhan hidup dasar bagi orang dan makanan hewan ternak yang berada dalam Karantina Rumah menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat".  

Dari sini kita paham, pemerintah lah yang seharusnya tidak mempertanyakan dikotomi semu antara ekonomi dan kesehatan, keduanya harus dipenuhi dengan karantina wilayah yang menjamin pemenuhan kebutuhan pokok semua warganya. Akan tetapi, tentu saja ini berbanding terbalik dengan realita, aturan yang tertulis hanyalah omong kosong belaka. 

Hal inilah yang menjadi akar kepercayaan publik akan upaya pemerintah dalam pemulihan pandemi semakin menurun. Dapat kita katakan bahwa masyarakat yang lalai menerapkan 3M bukan sebatas kesalahan individu saja tetapi merupakan permasalahan struktural yang berakar dari komunikasi dan kebijakan publik yang bobrok oleh mereka yang di atas.

Bersamaan dengan pemerintah dan kebobrokannya dalam penanganan pandemi. Kita juga dapat menyingkap fakta masyarakat adat yang menggunakan pengetahuan lokalnya untuk bertahan selama Pandemi Covid-19. Mereka lebih berkehendak pada tradisi dan adat untuk menangani pandemi dibandingkan bergantung dengan tangan pemerintah yang memaksakan paradigma "orang kota". 

Masyarakat adat yang seringkali distigmatisasi sebagai mereka yang primitif dan tidak modern nyatanya lebih berhasil bertahan selama pandemi dibandingkan masyarakat urban. Mengutip dari Project Multatuli, hingga kini Suku Baduy di Desa Kanekes, Banten, nyaris bersih dari kasus Covid-19. Disamping kesigapan masyarakat Baduy dalam mengisolasi desa, ketahanan pangan juga menjadi kunci bagi keberhasilan mereka untuk bertahan selama pandemi.

 Dalam menjaga ketahanan pangan selama pandemi Covid-19, masyarakat Baduy berpegang teguh pada pedoman kepercayaan turun-menurun yang dikenal dengan istilah pikukuh (kepatuhan). Isi terpenting dari pikukuh adalah konsep "tanpa perubahan apapun", atau perubahan sesedikit mungkin: Lojor heunteu meunang dipotong, pndk heunteu beunang disambung (Garna, 1993). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mirajiani dan Widayati (2022), dalam menunjang ketahanan pangan masyarakat Baduy menyimpan padi gabah kering hasil berladang di lumbung padi yang disebut sebagai leuit. 

Padi yang telah disimpan tidak diperjual belikan melainkan untuk cadangan sekaligus pemenuhan kebutuhan pakan masyarakatnya. Leuit sendiri  ditempatkan di sekeliling pemukiman di kawasan hutan dan tidak berada di sekitar pemukiman warga. Padi yang disimpan di sana dapat bertahan hingga mencapai 5 tahun minimal dengan kondisi baik dan layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat Baduy.

Lebih lanjut, Mirajiani dan Widayati (2022) menyatakan bahwa Ketahanan pangan masyarakat Baduy juga didukung oleh berbagai jenis tanaman buah yang di budidayakan masyarakat Baduy sendiri yaitu rambutan, durian, duku, pisang dan koskosan. Selain itu masyaraat adat baduy memanfaatkan sumber daya alam yang berasal dari perkebunan dan kehutanan dengan tetap mempertimbangkan aturan adat yang berlaku, seperti pemanfaatan bambu, madu, kayu. Ketahanan pangan masyarakat Baduy juga bersumber dari peternakan yang meliputi ayam, bebek, dan kambing.

Dengan pengetahuan lokal yang diterapkan oleh masyarakat Baduy untuk menjaga ketahanan pangan dan kestabilan kondisi ekonomi, pandemi Covid-19 tidak menjadi ancaman yang berarti. Strategi yang mereka terapkan adalah dengan pengelolaan kebutuhan pokok berupa beras yang berasal dari ladang yang tidak diperjualbelikan melainkan digunakan sebagai lumbung pangan. Ada atau tidaknya pandemi Covid-19 tidak berpengaruh dalam mekanisme pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat Baduy. Pada kenyataannya mereka sudah lama terisolasi dengan pengetahuan lokal yang dimiliki, dan mereka juga yang bertahan dengan benteng ketahanan pangan yang amat kuat.

Pemerintah maupun kita dapat belajar dari masyarakat adat seperti Suku Baduy. Mereka telah membuktikan bagaimana ketahanan pangan merupakan salah satu kunci untuk bertahan selama pandemi. Pemberdayaan penjagaan ketahanan pangan merupakan  sesuatu yang dapat diupayakan untuk masyarakat urban nantinya bertahan selama pandemi. Hal ini selaras dengan gagasan Lestari Farm  yang dikembangkan oleh Sagita, dkk (2021), program pemberdayaan komunitas tersebut mendorong masyarakat untuk mewujudkan kemandirian pangan keluarga dan kesejahteraan anggotanya  selama pandemic dengan melakukan budidaya perikanan tawar (ikan lele, ikan nila, dan ikan emas) dan pertanian (sayuran dan hidroponik).  

Program pemberdayaan ketahanan pangan bagi masyarakat urban dapat diimplementasikan dengan  strategi kesejahteraan (the welfare strategy), yaitu strategi yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan potensi  kultural, sosial, dan ekonominya agar tidak bergantung dengan pemerintah. Aktor dalam pemberdayaan di sini berperan sebagai fasilitator yang menginisiasi  dan merorganisir program. Dalam program ini perlu adanya integrasi atau kerja sama antar berbagai pihak, mulai dari aktor fasilitator, stakeholder atau masyarakat setempat, NGO yang bergerak dalam pertanian, dan pemerintah itu sendiri.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Adi (2002), dalam pemberdayaan masyarakat diperlukan beberapa tahap di antaranya:

  • Tahap engagement, yaitu tahapan di mana masyarakat akan terikat karena adanya kesamaan kepentingan dan tujuan. Dalam hal ini, tujuan yang ingin dicapai ialah penjagaan ketahanan pangan yang baik selama pandemi. Sehingga, ketika masyarakat urban dihadapkan oleh situasi isolasi (karantina wilayah), mereka tidak hanya bergantung dengan bantuan sosial pemerintah yang masih tidak pasti, tetapi dapat berdaya dengan ketahanan pangan yang diolah secara mandiri oleh masyarakat.
  • Tahap assesment, yakni tahapan dimana anggota kelompok menilai dan menyepakati berdirinya suatu komunitas. Ketika kesamaan kebutuhan dan kepentingan sudah tercapai, maka anggota Kelompok dalam masyarakat akan sepakat untuk terbentuknya suatu komunitas yang bergerak untuk menjaga dan mengelola ketahanan pangan di tempat di mana komunitas itu tinggal.
  • Tahap planning, yakni tahapan dimana anggota kelompok merencanakan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan dalam rangka mencapai tujuan komunitas. Dalam konteks pemberdayaan ketahanan pangan, anggota Kelompok akan merencanakan kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan  pertanian dan peternakan serta distribusi dan penyimpanan hasilnya dengan penyesuaian kondisi pandemi.
  • Tahap formulation action plan, yakni tahapan rumusan rencana aksi yang akan dilakukan, pada tahapan ini pemimpin kelompok, dibantu tenaga pendamping/fasilitator dan kader lokal bersama anggota kelompok lainnya, berbagi tugas dan kewajiban masing-masing anggota, merumuskan tugas masing-masing anggota (job description).
  • Tahap implementation, yakni tahapan pelaksanaan kegiatan yang mana masing-masing anggota bertanggung jawab dalam pelaksanaan tugas dan kewajibannya dengan sukarela dan sungguh-sungguh.
  •  Tahap evaluation, yakni tahap evaluasi pelaksanaan kegiatan sesuai tugas dan kewajibannya.

Dengan program pemberdayaan ketahanan pangan, masyarakat urban akan lebih mandiri atas kebutuhan pokok untuk bertahan selama pandemi. Hal ini serupa sebagaimana masyarakat adat Baduy yang tidak terpengaruh atas kondisi pandemi karena sedari awal sudah memiliki benteng ketahanan pangan yang kokoh. Tentu saja, selain modal material seperti lahan dan fasilitas lainnya yang dibutuhkan untuk mengelola pertanian dan perternakan, modal immaterial seperti kesamaan nilai dan gotong royong sosial juga sangat diperlukan. Modol immaterial ini dapat eksis dengan penyesuaian latar sosial budaya masyarakat urban itu berada.

Dari masyarakat adat, pemerintah sudah seharusnya belajar bahwa ketahanan pangan nasional  yang dikelola dan dijaga dengan baik merupakan salah satu kunci dalam penanganan pandemi. Reforma agraria dan jaminan akan kesejahteraan para petani lokal perlu diperhatikan dan direalisasikan. Semua ini dapat diwujudkan salah satunya dengan pemerintah mengatur regulasi yang tegas dan adil terhadap pengontrolan impor bahan pangan. Ketika petani lokal telah terjamin sejahtera maka ketahanan pangan nasional pun juga akan terjaga. Lebih lanjutnya, kelalaian tanggung jawab pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan pokok warga selama karantina wilayah pun menjadi kemustahilan belaka.

Daftar Pustaka

Kresna, Mawa. (2021). Hikayat Manusia Modern dan Masyarakat Adat Bertahan Menghadapi Wabah Covid-19: Sebuah Kontras. Artikel Project Multatuli. Diakses melalui https://projectmultatuli.org/kontras-hikayat-manusia-modern-masyarakat-adat-bertahan-menghadapi-wabah-covid-19/

Sagita, dkk. (2021). Penguatan Pemberdayaan Masyarakat Komunitas Lestari Farm Dalam Menjaga Ketahanan Pangan Masa Pandemi Covid-19. Kumawala: Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat. Vo 4 No. 1 Hal 157-164

Widiati & Mirajiani. (2022). Pengetahuan Lokal Masyarakat Adat Baduy Dalam Pranata Sosial Untuk Menunjang Ketahanan Pangan. Jurnal Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat (JPPM) Vol 1 No 1 Januari 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun