Perkenalkan nama saya, Diva Fisya Anafri, Mahasiswa S1 Akuntansi dengan NIM, 43222010010, saat ini saya adalah mahasiwa semester 3 di Univeristas Mercu Buana. Pada kesempatan kali ini saya akan menulis artikel tentang "Diskursus Jeremy Bentham's Hedonistic Calculus dan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia". Sebagai tugas mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi & Etik UMB, dengan dosen pengampu Prof. Dr. Apollo Daito, M.Si.Ak.
Negara Indonesia adalah negara hukum, sudah sepatutnya sebagai negara hukum, negara ini melindungi seluruh rakyatnya. Sebagaimana terdapat pada Undang Undang Dasar tahun 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia pada aline ke IV yang berbunyi ".
Untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia......". Artinya seluruh rakyat Indonesia berhak untuk mendapatkan Kedamaian, Kententraman, Keamanan dan terhindar dari macam tindak kriminalitas. Semua hal itu berhak didapatkan tanpa membeda bedakan Ras, Suku, maupun Budaya, sesuai yang ada pada sila kelima Negara Kesatuan Repunlik Indonesia, yang berbunyi "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia". Namun apakah pengimplementasiannya sudah diterapkan dengan baik dinegara ini?, Penulis rasa pengimplementasiannya belum diterapkan secara baik, karena pada kenyataannya. Masih banyak rakyat kecil di Indonesia yang masih sengsara.
Dengan aparat hukum yang ada, diharapkan penegakan hukum dapat ditangani, akan tetapi jika penegakan hukum tidak ditangani dengan baik maka tidak menutup kemungkinan bahwa tindak kejahatan akan semakin merajalela, salah satunya tindak kejahatan kasus korupsi. Kasus korupsi di negara ini seolah olah sudah menjadi "Budaya" bagi para pemimpin di negeri ini. Tidak semua pemimpin banyak juga pemimpin yang masih bersikap jujur, namun mayoritasnya jika seseorang sudah memimpin sesuatu, tak lama lagi ia pasti akan melakukan tindakan korupsi.
Korupsi dapat diartikan sebagai perbuatan melenceng dari tugas dan penyelewengan uang negara atau perusahaan demi keuntungan pribadi atau pihak lain. Konsekuensi dari tindakan korupsi dapat merugikan ekonomi negara, mengancam demokrasi, dan menghambat kesejahteraan umum. Pemerintah telah berusaha keras untuk menyelesaikan kasus korupsi melalui berbagai kebijakan yang bertujuan memberantas korupsi. Meskipun demikian, masih terdapat banyak kasus korupsi yang tidak mendapatkan penanganan serius dan kompleks.
Korupsi merupakan tantangan serius yang perlu diatasi guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang sehat. Berbagai laporan mengenai korupsi yang terus muncul setiap hari melalui media massa, baik cetak maupun elektronik, menunjukkan adanya peningkatan dan evolusi dalam model-model korupsi. Meskipun lembaga-lembaga anti-korupsi telah didirikan, namun tampaknya mereka belum cukup efektif untuk menghentikan praktek-praktek yang merugikan ini.
Peraturan perundang-undangan, sebagai bagian integral dari politik hukum yang dibuat oleh pemerintah, terkadang diabaikan dan kehilangan maknanya jika tidak disertai dengan komitmen serius untuk mengimplementasikan aturan hukum yang ada. Politik hukum hanya memiliki dampak yang terbatas tanpa adanya upaya pemulihan terhadap pelaku tindakan korupsi atau pelanggar hukum. Kejadian semacam ini menegaskan bahwa politik hukum yang dirancang oleh pemerintah tidak lebih dari sekadar pencapaian tren umum yang tengah berlangsung, tanpa adanya tekad nyata untuk menegakkan aturan yang telah ditetapkan.
Dari uraian materi diatas, mari kita kaitkan dengan pemikiran teori seorang filsuf bernama Jeremy Bentham
Jeremy Bentham, seorang filsuf, pengacara, dan ekonom asal Inggris, tetap terkenal dengan teori utilitarianismenya yang modern hingga saat ini. Lahir di London, Bentham menempuh pendidikan di Oxford, dan kemudian memenuhi syarat sebagai seorang pengacara di kota tersebut. Filsuf empiris di bidang moralitas dan politik, pengaruh Bentham semakin diakui dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Aksioma mendasar filosofinya, "The Greatest Happiness of the Greatest Number" (kebahagiaan terbesar dari jumlah terbesar), menjadi ukuran kebaikan dan kejahatan.
Jeremy Bentham, yang juga dikenal sebagai ahli teori filsafat hukum Anglo-Amerika dan seorang radikal politik, mewakili gagasan-gagasan yang mempengaruhi perkembangan negara kesejahteraan. Pandangannya mendukung kebebasan pribadi dan ekonomi, pemisahan gereja dan negara, kebebasan berekspresi, kesetaraan bagi perempuan, dan hak untuk bercerai. Dalam esai yang tidak diterbitkan, dia bahkan mengemukakan pandangannya terkait dekriminalisasi tindakan homoseksual.
Jeremy Bentham lahir pada tahun 1748 di London, hidup pada periode perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang signifikan, serta mengalami dampak dari revolusi Perancis dan Amerika yang memperkenalkannya pada ide-ide filosofisnya. Terpengaruh oleh ajaran David Hume, Bentham meyakini bahwa segala sesuatu yang berguna akan membawa kebahagiaan. Bagi Bentham, hakikat kebahagiaan adalah hidup tanpa suka dan duka.
Sejak masa kecilnya, Bentham telah menunjukkan minat pada studi dan bahasa Latin sebelum mencapai usia tiga tahun. Pendidikannya berlanjut di Westminster School dan Queen's College, Oxford, dengan fokus pada studi hukum. Jeremy Bentham, seorang filsuf dan reformator sosial pada abad ke-18, dikenal karena memperkenalkan konsep utilitarianisme yang bertujuan untuk mencapai kebahagiaan sebesar mungkin bagi sebanyak mungkin orang. "Hedonistic Calculus" adalah salah satu elemen utama dalam pemikiran Bentham, suatu metode untuk mengukur tingkat kebahagiaan dan penderitaan yang diakibatkan oleh tindakan tertentu. Dalam konteks fenomena kejahatan korupsi di Indonesia, pemikiran Bentham memberikan wawasan yang berharga tentang cara memahami, menganalisis, dan potensial mengatasi permasalahan tersebut.
Setelah mengenal biografi seorang filsuf bernama Jeremy Bentham. Selanjutnya mari kita kaitkan fenomena korupsi di Indonesia dengan teori yang ia kemukakan, yaitu teori Hedonistic Calculus.
Apa itu (What?) dari teori Hedonistic Calculus akan kita bahas terlebih dahulu.
Hedonistic Calculus, sebuah konsep yang diperkenalkan oleh filsuf Utilitarianisme, Jeremy Bentham, memberikan dasar bagi pengambilan keputusan moral dengan mengukur dan menilai kebahagiaan atau kesenangan. Beberapa faktor yang dipertimbangkan dalam konsep ini mencakup intensitas kesenangan atau penderitaan, durasi pengalaman, kepastian kebahagiaan atau penderitaan, kemungkinan pengalaman serupa di masa depan, kesesuaian dengan nilai-nilai sosial, dan kemampuan untuk mengontrol pengalaman tersebut.
Ketika diterapkan dalam konteks fenomena kejahatan korupsi di Indonesia, Hedonistic Calculus dapat memberikan wawasan yang menarik. Para pelaku korupsi mungkin melibatkan perhitungan kebahagiaan dalam tindakan mereka, di mana keuntungan diukur terhadap risiko atau penderitaan yang mungkin terjadi jika tertangkap.
Dalam Hedonistic Calculus, intensitas kesenangan atau penderitaan menjadi faktor utama. Pelaku korupsi dapat mengukur kebahagiaan dengan seberapa besar keuntungan yang diperoleh dari tindakan korupsi. Jika pelaku yakin bahwa keuntungan jauh lebih besar daripada risiko atau sanksi potensial, kemungkinan besar mereka akan melakukan korupsi.
Durasi pengalaman juga menjadi pertimbangan penting dalam perhitungan ini. Para pelaku korupsi mungkin berharap bahwa keuntungan dari tindakan korupsi akan berlangsung lama, menciptakan persepsi kebahagiaan berkelanjutan meskipun risiko negatif mungkin terjadi.
Hedonistic Calculus juga menyoroti kepastian bahwa kesenangan atau penderitaan akan terjadi. Dalam konteks korupsi, para pelaku mungkin berusaha untuk meminimalkan risiko atau meningkatkan kepastian bahwa mereka tidak akan ditangkap atau dihukum.
Faktor kesesuaian dengan nilai-nilai sosial turut memainkan peran. Jika masyarakat cenderung menerima korupsi, pelaku mungkin merasa bahwa tindakan mereka sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku. Sebaliknya, jika masyarakat mengecam korupsi, pelaku harus mempertimbangkan stigma sosial.
Terakhir, kemampuan untuk mengontrol pengalaman menjadi pertimbangan penting. Pelaku korupsi mungkin merencanakan tindakan mereka dengan memastikan bahwa mereka memiliki kendali atas situasi, baik melalui jaringan politik, pengaruh, atau kontrol terhadap lembaga penegak hukum. Kemampuan untuk mengendalikan hasil tindakan korupsi dapat memengaruhi perhitungan kebahagiaan atau keuntungan yang diinginkan.
Secara substansial, Hedonistic Calculus merupakan suatu konsep yang diperkenalkan oleh filsuf Jeremy Bentham sebagai metode untuk mengukur tingkat kesenangan dan penderitaan dalam proses pengambilan keputusan etis. Ide utamanya adalah untuk menilai totalitas kebahagiaan atau kebermanfaatan suatu tindakan dengan memperhitungkan faktor-faktor seperti intensitas, durasi, kepastian, kedekatan, kesuburan, kemurnian, serta tingkat kesenangan atau rasa sakit yang dihasilkan oleh tindakan tersebut.
Setelah kita mengetahui unsur What? Dari teori Hedonistic Calculus yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham, selanjutnya ialah Unsur Mengapa? (Why?) dari teori Untilitarisme yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham
Menurut Jeremy Bentham, manusia diarahkan oleh dua motivasi utama, yaitu rasa sakit dan kesenangan, yang menjadi dasar prinsip utilitarianisme. Prinsip ini menyatakan bahwa undang-undang harus bertujuan untuk menciptakan 'kebahagiaan terbesar untuk masyarakat luas'.
Utilitarianisme, yang dikembangkan oleh Bentham, adalah teori etika konsekuensialis yang menilai moralitas suatu tindakan berdasarkan kegunaan atau kebahagiannya secara keseluruhan. Utilitarianisme Bentham dikaitkan dengan konsep "kalkulus hedonistik," sebuah metode untuk mengukur kesenangan dan penderitaan guna menentukan nilai etis suatu tindakan.
Teori utilitarianisme yang diusung oleh Jeremy Bentham bersama John Stuart Mill dan Rudolf von Jering adalah tanggapan terhadap konsep hukum alam pada abad ke-18 dan ke-19. Utilitarianisme, dirumuskan oleh Bentham dan diperluas oleh James Mill serta John Stuart Mill, kadang-kadang disebut sebagai teori kebahagiaan maksimum. Teori ini mendorong setiap individu mencapai kebahagiaan sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya, dengan mengedepankan pandangan bahwa kenikmatan adalah satu-satunya kebaikan yang berharga, dan penderitaan adalah satu-satunya kejahatan yang patut dihindari.
Bagi Bentham, moralitas bukanlah tentang memenuhi kehendak Tuhan atau mengikuti aturan abstrak, melainkan tentang upaya membawa sebanyak mungkin kebahagiaan ke dunia. Prinsip moral tertingginya, yang disebut "prinsip utilitas," mengajarkan bahwa tindakan tersebut seharusnya memberikan "kebahagiaan terbesar bagi jumlah terbesar."
Hedonisme, berasal dari Bahasa Yunani "Hedon" (kesenangan) dan "isme," menempatkan kesenangan sebagai fokus utama tindakan. Dalam konteks filsafat hedonistik, kesenangan dianggap sebagai satu-satunya manfaat atau kebaikan. Teori ini mencakup beberapa gagasan, seperti hedonisme kuantitatif, summun bonum, dan kalkulus hedonistik, yang mengukur kesenangan dan penderitaan untuk mendukung pengambilan keputusan etis.
Meskipun teori Bentham memiliki kelemahan, terutama dalam kecenderungan rasionalitas abstrak dan kegagalan dalam mengembangkan konsep keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat, namun implikasinya dalam sejarah filsafat hukum sangat signifikan. Bentham berhasil menggabungkan dasar filsafat dengan dalil-dalil hukum praktis, menempatkan individualisme sebagai landasan materialis baru, dan memadukan hak individu dengan kebutuhan masyarakat.
Kesimpulan unsur Why? Dari pemikiran Jeremy Bentham, dapat pula kita artikan berperilaku hedon dapat membuat penekanan bahwa tujuan utama setiap individu adalah mencapai kebahagiaan sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya.
Kesimpulan unsur Why? Dari pemikiran Jeremy Bentham, dapat pula kita artikan berperilaku hedon dapat membuat penekanan bahwa tujuan utama setiap individu adalah mencapai kebahagiaan sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya.
Setelah mempelajari teori yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham, melalui teori What & Why. Selanjutnya ialah Bagaimana? (How?) keterkaitan dua teori tersebut dengan Fenoma Korupsi Di Indonesia.
Sebenarnya bukan hanya gagasan tentang Hedonistic Calculus saja yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham. Terdapat dua gagasan lainnya yang dikemukakan oleh Bentham, yaitu: Hedonisme Kuantitatif dan Summun Bonum, berikut penjelasan lebih lanjutnya.Hedonisme kuantitatif adalah suatu pandangan yang mengedepankan pencarian kesenangan secara eksklusif dari sudut pandang kuantitatif. Dalam perspektif ini, kenikmatan dianggap bersifat fisik dan berasal dari pengalaman sensorik. Konsep ini menekankan pada aspek kuantitas dalam pengukuran kebahagiaan, di mana intensitas dan jumlah kesenangan dianggap sebagai faktor utama.
Summun Bonum atau Kepentingan materialistis merujuk pada pandangan bahwa kesenangan bersifat material dan tidak mengakui keberadaan kesenangan rohani, menganggapnya sebagai bentuk kesenangan palsu. Dalam kerangka ini, nilai kesenangan diukur berdasarkan unsur-unsur materi atau fisik yang dapat diidentifikasi dan diukur secara nyata.
Namun pada artikel kali ini penulis hanya lebih mengendepankan gagasan Hedonistic Calculus yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham. Setidaknya terdapat empat unsur dari gagasan Hedonistic yang berkaitan dengan Fenomena Korupsi Di Indinesia. keempat unsur tersebit ialah: Intencity, Duration, Certainty, dan Extent. Berikut penjelasan lebiih detailnya dari keempat unsur tersebut
Pertama Intencity atau Intensitas, Intensitas dalam fenomena tindak korupsi merujuk pada tingkat dampak, keuntungan, atau kerugian yang dihasilkan oleh tindakan korupsi. Pemahaman tentang intensitas ini menjadi krusial dalam mengidentifikasi serta menangani tindak korupsi dengan efektif. Dalam konteks ini, intensitas dapat dieksplorasi dari berbagai perspektif:
1. Keuntungan Materi:
Intensitas tindak korupsi dapat dianalisis melalui sejauh mana pelaku korupsi memperoleh keuntungan materi. Hal ini mencakup penilaian terhadap besarnya nilai materi yang diperoleh oleh pelaku, seperti uang, properti, atau fasilitas lainnya. Tingkat intensitas dapat bervariasi tergantung pada jumlah dan nilai keuntungan yang berhasil diperoleh.
2. Kerugian untuk Masyarakat:
Intensitas juga dapat dilihat dari dampak negatif yang dihasilkan oleh tindakan korupsi pada masyarakat atau negara secara keseluruhan. Penilaian intensitas mencakup sejauh mana tindakan korupsi merugikan pembangunan, distribusi keadilan, dan kesejahteraan masyarakat secara umum.
3. Pengaruh Terhadap Institusi dan Sistem:
Dalam menganalisis intensitas, perhatian diberikan pada sejauh mana tindakan korupsi merusak integritas institusi atau sistem pemerintahan. Jika korupsi merajalela dan mengancam struktur inti pemerintahan, intensitasnya diukur dari dampaknya terhadap ketidakstabilan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga tersebut.
4. Dampak pada Etika dan Moralitas:
Intensitas tindak korupsi juga dapat dinilai melalui sejauh mana tindakan tersebut merusak norma-norma etika dan moral dalam masyarakat. Jika tindakan korupsi secara signifikan melanggar nilai-nilai moral yang dianut oleh masyarakat, intensitasnya akan semakin tinggi.
5. Pengaruh pada Pelayanan Publik:
Pemahaman intensitas juga mencakup sejauh mana pelayanan publik terganggu atau dikorupsi oleh tindakan korupsi. Jika tindakan korupsi menghambat akses masyarakat terhadap layanan dasar atau merugikan sektor publik, intensitasnya diukur dari dampak negatif pada pelayanan yang seharusnya diberikan.
Dengan memahami intensitas dalam tindak korupsi dari berbagai dimensi ini, dapat dirancang strategi penanggulangan yang lebih efektif untuk mengurangi dampak negatifnya pada masyarakat dan sistem secara menyeluruh.
Kedua Duration atau Durasi, Unsur durasi dalam fenomena tindak kejahatan korupsi merujuk pada lamanya waktu atau periode di mana tindakan korupsi terjadi, berlanjut, atau berulang. Pemahaman terhadap unsur durasi menjadi krusial dalam menganalisis serta mengatasi tindak kejahatan korupsi. Beberapa aspek yang dapat dieksplorasi terkait unsur durasi dalam konteks kejahatan korupsi melibatkan:
1.Keterulangan Tindakan:
Durasi dapat mencakup sejauh mana tindakan korupsi terulang selama periode tertentu. Jika kejahatan korupsi tersebut berlangsung secara berulang, dapat menunjukkan adanya pola atau praktik yang perlu ditangani.
2.Waktu Pelaksanaan:
Unsur durasi juga melibatkan waktu spesifik kapan tindakan korupsi terjadi. Analisis terhadap waktu pelaksanaan dapat memberikan wawasan mengenai apakah ada periode tertentu yang rentan terhadap tindakan korupsi.
3.Lama Pemaksaan atau Pengaruh:
Durasi juga mencakup sejauh mana pelaku korupsi mempertahankan atau memperpanjang pengaruh atau pemaksaan terhadap pihak-pihak terkait. Lama waktu pengaruh atau pemaksaan dapat menentukan seberapa kuat jaringan korupsi tersebut berkembang.
4.Siklus Kehidupan Korupsi:
Korupsi dalam beberapa kasus dapat memiliki siklus kehidupan tertentu, dan pemahaman mengenai durasi bisa membantu mengidentifikasi tahap-tahap tersebut. Misalnya, fase awal perekrutan, fase pelaksanaan, dan fase penutupan atau pelarian.
5.Waktu Tanggap Pemerintah:
Durasi juga dapat merujuk pada waktu yang dibutuhkan oleh pemerintah atau lembaga penegak hukum untuk merespons dan menangani tindak kejahatan korupsi. Lama waktu ini dapat mempengaruhi efektivitas penindakan.
Melalui pemahaman intensif tentang unsur durasi dalam tindak kejahatan korupsi, penegak hukum dan pihak berwenang dapat mengembangkan strategi pencegahan dan penanganan yang lebih efektif. Pencegahan korupsi dapat difokuskan pada mengurangi peluang kejahatan dalam jangka waktu tertentu, sementara penanganan kasus dapat ditingkatkan dengan memahami dinamika waktu yang terlibat dalam setiap kasus korupsi
Ketiga Certainty atau Kepastian/Ketidakpastian,
Unsur certainty dalam konteks fenomena tindak korupsi merujuk pada tingkat kepastian atau keyakinan mengenai terjadinya tindakan korupsi dan konsekuensinya. Pemahaman tentang unsur certainty menjadi penting dalam mengidentifikasi, mencegah, dan menangani tindak korupsi secara efektif. Beberapa aspek yang dapat dieksplorasi terkait unsur certainty dalam tindak korupsi melibatkan:
1. Kepastian Terjadinya Tindakan Korupsi:
Tingkat kepastian atau keyakinan mengenai terjadinya tindakan korupsi menjadi fokus utama. Hal ini mencakup seberapa jelas dan teruji informasi yang menunjukkan adanya praktik korupsi.
2. Kepastian Hukuman atau Sanksi:
Unsur certainty juga melibatkan keyakinan terhadap penerapan hukuman atau sanksi terhadap pelaku korupsi. Jika sanksi yang tegas dan pasti diidentifikasi, hal ini dapat memberikan kepastian bahwa pelaku korupsi akan bertanggung jawab atas perbuatannya.
3. Keterbukaan Informasi:
Tingkat keterbukaan informasi mengenai tindakan korupsi dapat mempengaruhi kepastian. Semakin terbuka informasi, semakin tinggi kepastian yang dapat dihasilkan dalam mendeteksi dan mengungkap kasus korupsi.
4. Dukungan Publik dan Kesadaran:
Kepastian dapat diperkuat oleh dukungan publik dan tingkat kesadaran masyarakat terhadap tindak korupsi. Jika masyarakat yakin bahwa tindakan korupsi akan ditindaklanjuti, hal ini dapat menciptakan kepastian dalam pencegahan dan penindakan.
5. Ketepatan Metode Investigasi:
Keberhasilan metode investigasi dan penegakan hukum dapat memberikan kepastian dalam mengungkap dan menindak tindakan korupsi. Metode yang akurat dan efisien dapat meningkatkan tingkat kepastian.
6. Kepastian Terhadap Perlindungan Pelapor (Whistleblower):
Keberlanjutan dan efektivitas perlindungan terhadap pelapor tindak korupsi juga berkontribusi pada kepastian. Jika pelapor merasa aman dan dilindungi, mereka lebih mungkin untuk memberikan informasi yang dapat meningkatkan tingkat kepastian.
Pemahaman yang mendalam terhadap unsur certainty dalam tindak korupsi dapat membantu merancang kebijakan pencegahan yang lebih efektif, meningkatkan kepercayaan masyarakat dalam penegakan hukum, dan memastikan adanya hukuman yang tegas terhadap pelaku korupsi.
Keempat Extent atau Kedekatan, Unsur kedekatan dalam konteks fenomena tindak korupsi merujuk pada sejauh mana hubungan atau jarak antara pelaku korupsi dengan pihak yang terlibat dalam tindakan tersebut. Pemahaman tentang unsur kedekatan ini menjadi krusial dalam menganalisis dan mengatasi tindak korupsi secara efektif. Beberapa aspek yang dapat dieksplorasi terkait unsur kedekatan dalam tindak korupsi melibatkan:
1.Kedekatan Personal:
Unsur ini mencakup seberapa dekat hubungan personal antara pelaku korupsi dengan pihak yang terlibat. Kedekatan personal dapat memengaruhi tingkat kepercayaan dan kemudahan pelaksanaan tindakan korupsi.
2.Kedekatan Institusional:
Melibatkan seberapa dekatnya pelaku korupsi dengan institusi atau organisasi yang terlibat. Kedekatan ini dapat menciptakan peluang untuk memanipulasi kebijakan atau prosedur demi keuntungan pribadi.
3.Jarak Fungsional:
Mengukur seberapa dekat fungsi atau tanggung jawab pelaku korupsi dengan pihak yang terpengaruh oleh tindakan tersebut. Semakin dekat secara fungsional, semakin besar potensi dampak korupsi.
4.Asosiasi Bisnis atau Politik:
Mengidentifikasi apakah pelaku korupsi memiliki kedekatan atau asosiasi khusus dalam dunia bisnis atau politik. Kedekatan semacam itu dapat mempermudah praktik korupsi dan melibatkan kolusi yang merugikan.
5.Kedekatan Geografis atau Lokalitas:
Mempertimbangkan sejauh mana pelaku korupsi memiliki kedekatan geografis atau lokalitas dengan lokasi tindakan korupsi. Kedekatan ini dapat memengaruhi tingkat keberhasilan dalam melaksanakan tindakan korupsi.
6.Pengaruh dalam Jaringan Korupsi:
Menyelidiki apakah pelaku korupsi memiliki kedekatan dalam jaringan korupsi yang lebih besar. Kedekatan dalam jaringan tersebut dapat meningkatkan peluang untuk melibatkan lebih banyak pihak dalam praktik korupsi.
Pemahaman mendalam terhadap unsur kedekatan dalam tindak korupsi dapat membantu penyelidikan, pencegahan, dan penindakan yang lebih efektif. Analisis ini dapat membantu pihak berwenang mengidentifikasi pola kedekatan yang berpotensi merugikan dan merancang strategi untuk mengurangi peluang terjadinya tindakan korupsi.
Dengan demikian, kesimpulan materi “Diskursus Jeremy Bentham’s Hedonistic Calculus dan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia” merangkum kompleksitas fenomena korupsi di Indonesia, memberikan pandangan kritis terhadap implementasi prinsip negara hukum, dan mengaitkannya dengan konsep utilitarianisme Jeremy Bentham untuk memberikan perspektif yang mendalam dalam menganalisis dan mengatasi tindak korupsi.
Demikian Diskursus Jeremy Bentham’s Hedonistic Calculus dan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia yang dapat saya jabarkan. Saya menyadari masih banyak kekurangan pengetahun dalam menulias artikel ini. Maka dari itu mohon maaaf yang sebesar besarnya jika terdapat kesalahan penyampaian materi yang saya sampaikan, Terima Kasih.
Daftar Pustaka
*FENOMENA KORUPSI SEBAGAI PATOLOGI SOSIAL DI INDONESIA. (n.d.). Neliti. https://media.neliti.com/media/publications/170649-ID-fenomena-korupsi-sebagai-patologi-sosial.pdf
*Bentham, J. (1968). 374 Samuel Bentham to Jeremy Bentham 15(?) September 1780. The Collected Works of Jeremy Bentham: The Correspondence of Jeremy Bentham, Vol. 2: 1777--801777--80, 492-494. https://doi.org/10.1093/oseo/instance.00085912
*Bentham, J. (1968). 353 Samuel Bentham to Jeremy Bentham 24 March 1780. The Collected Works of Jeremy Bentham: The Correspondence of Jeremy Bentham, Vol. 2: 1777--801777--80, 422-423. https://doi.org/10.1093/oseo/instance.00085890
*Agung, & Sisma, A. F. (2023, January 2). Mengenal Jeremy Bentham, Ahli Hukum Dan Ekonom Asal Inggris. Berita Terkini Ekonomi dan Bisnis Indonesia - Katadata.co.id. https://katadata.co.id/agung/berita/63b2ba8679a1d/mengenal-jeremy-bentham-ahli-hukum-dan-ekonom-asal-inggris
*Korupsi SEBAGAI extra ordinary crimes | Binaji | Jurnal Kajian Hukum. (n.d.). E-Journal Universitas Janabadra. https://mail.e-journal.janabadra.ac.id/index.php/KH/article/view/SHH
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H