IDENTITAS BUKU
Judul Buku : Hukum Perdata Islam Di Indonesia (Aspek Hukum Keluarga dan Bisnis)
Penulis: Dr.H.A. Khumedi Ja'far, S.Ag., M.H.
Penerbit: Gemilang Publiser
Kota Terbit: Surabaya
Tahun Terbit: 2019
ABSTRAK
Dalam pengertian umum, hukum perdata Islam diartikan sebagai norma hukum yang berhubungan dengan hukum keluarga Islam, seperti hukum perkawinan, perceraian, kewarisan, wasiat dan perwakafan. Sedangkan dalam pengertian khusus, hukum perdata Islam diartikan sebagai norma hukum yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan hukum bisnis Islam, seperti hukum jual beli, utang piutang, sewa menyewa, upah mengupah, syirkah/serikat, mudharabah, muzara'ah, mukhabarah, dan lain sebagainya. Makna nikah dalam prespektif sosiologis, dalam teori pertukaran melihat perkawinan sebagai suatu proses pertukaran antara hak dan kewajiban serta "Penghargaan dan Kehilangan" yang terjadi di antara sepasang suami istri. Dalam pernikahan tidak semua berjalan dengan lurus dan bahagia, akan tetapi banyak sekali rintangan yang di hadapi, seperti halnya masalah ekonomi yang sering sekali dapat mengakibatkan timbulnya perceraian antara kedua individu. Perceraian kemudian melahirkan babak baru bagi kehidupan seperti terjadinya peran baru yang di sebut single parent.
Kata Kunci : Hukum Perdata Islam, Hukum Perkawinan, Perceraian, Kewarisan, Wasiat dan Wakaf
BAB 1 TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA
Hukum perdata islam dalam fiqih islam dikenal dengan istilah fiqih muamalah merupakan ketentuan hukum islam yang mengatur hubungan antar orang dan perorangan. Hukum perdata islam dalam pengertian umum diartikan sebagai norma hukum yang berhubungan dengan hukum keluarga islam yang meliputi hukum perkawinan, perceraian, kewarisan, wasiat, dan perwakafan. Dalam pengertian khusus hukum perdata islam diartikan sebagai norma hukum yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan hukum bisnis islam, meliputi hukum jual beli, utang piutang, sewa-menyewa, upah mengupah, syirkah atau serikat, mudharabah, muzara'ah, mukhabarah, dan lain sebagainya.
Hukum perdata menurut ilmu hukum dibagi menjadi 4 bagian yaitu:Â
1. Hukum tentang diri seseorang
2. Hukum kekeluargaan
3. Hukum kekayaan
4. Hukum warisan.Â
Lahirnya hukum perdata tidak terlepas dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial yang selalu mengadakan hubungan antara satu dan lainnya. Hubungan antar manusia sudah terjadi sejak manusia dilahirkan hingga meninggal dunia. Proses interaksi terjadi semenjak manusia hidup, yaitu antara kaum laki-laki dengan sesama jenis gendernya, perempuan dengan sesamanya, atau laki-laki dengan perempuan. Hukum perdata adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam memenuhi kepentingan dan kebutuhannya, terutama berkaitan dengan kepentingan-kepentingan perseorangan. Dalam kenyataannya, hukum perdata di Indonesia terdiri atas sebagai berikut:
1. Hukum perdata adat, yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hubungan antarindividu dalam masyarakat adat yang berlainan dengan kepentingan-kepentingan perseorangan. Masyarakat adat yang dimaksudkan ialah kelompok sosial bangsa Indonesia yang oleh penjajah Belanda dinamakan "Golongan Indonesia".
2. Hukum perdata Eropa, yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hubungan hukum mengenai kepentingan orang-orang Eropa dan orang-orang yang pada dirinya secara sukarela berlaku ketentuan itu. Ketentuan-ketentuan hukum perdata Eropa itu mempunyai Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.
3. Hukum perdata bersifat nasional, yaitu bidang-bidang hukum perdata sebagai produksi nasional, artinya ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur kepentingan perseorangan yang dibuat berlaku untuk seluruh penghuni Indonesia.
4. Hukum perdata materiil yang ketentuan-ketentuannya mengatur kepentingan perseorangan, terdiri atas: hukum pribadi (personenrecht), yaitu ketentuan-ketentuannya hukum yang mengatur hak dan kewajiban dan kedudukannya dalam hukum.
Sejarah Lahirnya Hukum Perdata Islam di Indonesia
1. Untuk golongan bangsa Indonesia asli, berlaku hukum adat, yaitu yang sejak dahulu telah berlaku di kalangan rakyat, yang sebagian besar masih belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat, mengenai segala soal dalam kehidupan masyarakat.
2. Untuk golongan warga negara bukan asli yang berasal dari Tionghoa dan Eropa berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel), dengan pengertian bahwa bagi golongan Tionghoa, Burgerlijk Wetboek tersebut memiliki sedikit penyimpangan, yaitu bagian 2 dan 3 dariTitel IV Buku I (mengenai upacara yang mendahului pernikahan dan mengenai "penahanan" pernikahan) tidak berlaku bagi mereka, sedangkan untuk mereka, ada pula Burgerlijke Stand sendiri.
3. Untuk golongan warga negara bukan asli yang bukan berasal dari Tionghoa atau Eropa (yaitu: Arab, India, dan lain-lain) berlaku sebagian dari Burgerlijk Wetboek;, yaitu pada pokoknya hanya bagian mengenai hukum kekayaan harta benda (vermogensrecht). Jadi, bukan mengenai hukum kepribadian dan kekeluargaan (Personen en familierencht) ataupun mengenai hukum warisan.Â
Untuk memahami keadaan hukum perdata di Indonesia sekarang ini, penting pula secara historis mengetengahkan kembali riwayat politik pemerintah Hindia-Belanda dahulu terhadap hukum di Indonesia. Subekti mengatakan bahwa pedoman politik bagi pemerintah Hindia-Belanda terhadap hukum di Indonesia dituliskan dalam Pasal 131 Indische Staatsrcgeling (sebelum itu Pasal 75 Regeringsreglemment). yang dalam pokoknya berisi sebagai berikut:
1. Hukum perdata dan dagang (begitu pula hukum pidana beserta hukum acara perdata dan pidana) harus diletakkan dalam kitab-kitab undang-undang, yaitu dikodifikasi.
2. Untuk golongan bangsa Eropa dianut (dicontoh) perundang-undangan yang berlaku di Negeri Belanda (asas konkordansi).
3. Untuk golongan bangsa Indonesia asli dan Timur Asing (Tionghoa, Arab, dan sebagainya) jika ternyata "kebutuhan masyarakat" mereka menghendakinya, peraturan-peraturan untuk bangsa Eropa dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan dan juga dibolehkan membuat suatu peraturan baru bersama.
4. Orang Indonesia asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan di bawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropa diperbolehkan "menundukkan diri" (bndenyerpen) pada hukum yang belaku untuk bangsa Eropa.Â
5. Sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis di dalam undang-undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi mereka, yaitu "Hukum Adat" (ayat 6).
Sejarah lahirnya Hukum Perdata Islam di Indonesia disebabkan hal sebagai berikut:
1. masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam;
2. kehidupan masyarakat dalam berbagai masalah yang menyangkut kehidupan perseorangan dan lingkungan sosialnya banyak berpedoman pada ajaran agama Islam yang secara kultural terus dibudayakan;
3. pengaturan kehidupan antar sesama manusia atau warga negara di wilayah masing-masing masyarakat berpedoman pada kebiasaan sosial yang telah menjadi adat atau norma sosial;
4. undang-undang yang telah berlaku dan aturan pelaksanaan undang-undang berkaitan dengan keperdataan tidak berbeda jauh dengan adat yang diambil dari ajaran Islam sehingga memudahkan pelaksanaannya.
BAB 2 HUKUM PERKAWINAN
Pernikahan adalah akad yang menghalalkan pergaulan, membatasi hak dan kewajiban beserta saling tolong-menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan muhrim, sehingga terbentuklah fungsi masing-masing pihak sebagai akibat dari adanya ikatan lahir batin, dan terjadi pula pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam waktu yang lama. Sementara makna nikah (perkawinan) dalam perspektif sosiologis, dalam teori pertukaran melihat perkawinan sebagai suatu proses pertukaran antara hak dan kewajiban serta "Penghargaan dan Kehilangan" yang terjadi di antara sepasang suami istri.Â
Dalam Islam, tujuan dari perkawinan adalah terjaganya dan terpeliharanya keturunan dan kesucian diri manusia. Dalam Q.S. ar-Rum ayat 21 menjelaskan bahwa tujuan dari perkawinan menurut Hukum Islam yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warrahmah. Sedangkan dalam ketentuan yuridis Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan, menjelaskan bahwa tujuan suatu perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang kekal dan sejahtera. Sementara hikmah dari perkawinan, menurut pendapat Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh al-Sunnah yaitu: Meneruskan keturunan dan memelihara nasab, karena dengan pernikahan akan diperoleh nasab secara halal dan terhormat. Ini merupakan kebanggaan bagi individu dan keluarga bersangkutan dan ini merupakan insting manusia untuk berketurunan dan melestarikan nasabnya.
Asas-asas dari perkawinan yaitu suami atau istri perlu saling membantu dan melengkapi. Dalam undang-undang menyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya. Selanjutnya prinsip dalam perkawinan yaitu salah satunya prinsip Mawadah wa Rahmah (saling mencintai) yaitu sejak akad suami istri harus menerapkan prinsip ini sehingga keduanya tidak gampang goyah.Â
BAB 3 HUKUM PERCERAIAN
 Perceraian terjadi karena sejumlah aspek yang menyertainya seperti emosi, ekonomi, sosial dan pengakuan secara resmi oleh masyarakat melalui hukum yang berlaku.21 Selain itu, dalam paradigma ayang lain, perceraian merupakan suatu "kegagalan" adalah bias, karena semata-mata mendasarkan perkawinan pada cinta yang romantis. Namun dalam konteks hukum Islam, perceraian diistilahkan "talak" atau "furqah". Adapun arti dari talak adalah membuka ikatan dan membatalkan perjanjian, sementara furqah artinya bercerai yaitu lawan dari berkumpul. Sementara dalam perspektif yuridis, perceraian adalah putusnya suatu perkawinan dengan putusan hakim yang berwenang atas tuntutan salah seorang dari suami isteri berdasarkan alasan-alasan yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
 Faktor yang menyebabkan perceraian salah satunya yaitu ketidakharmonisan dalam berumah tangga, alasan ini sering diungkapkan oleh pasangan yang ingin bercerai. Ketidakharmonisan ini disebabkan oleh beberapa hal, diataranya ketidakcocokan pandangan, krisis akhlak, perbedaan pendapat yang sulit disatukan. Dalam tatacara perceraian terbagi menjadi dua jenis. Pertama yaitu cerai talak belaku bagi mereka yang beragama islam, dan cerai talak ini diucapkan atau di lafalkan oleh suami kepada istri. Yang kedua yaitu cerai gugat, cerai gugat ini diajukan oleh istri kepada pengadilan untuk menceraikan suami.  Akibat dari perceraian ini yaitu salah satunya pada mental dan psikologi anak yakni anak kurang mendapatkan kasih sayang dan juga perhatian.
BAB 4 HUKUM KEWARISAN
 Secara normatif yuridis, peristiwa kematian merupakan peristiwa hukum, karena bagi orang yang mati segala hak dan kewajibannya berakhir, dan bahkan secara otomatis pindah kepada ahli waris yang berhak mewarisinya (zaw al-furud) terutama yang berkaitan dengan harta kekayaan yang ditinggalkan (al-tirkah), baik berupa benda bergerak seperti mobil, motor dan lain-lain maupun benda tidak bergerak seperti rumah, sebidang tanah, dan lain-lain. Bagi umat Islam, pembagian waris secara teknis telah diatur dalam ilmu fara'id, baik segi sistem kewarisannya (nizam al-irts), orang-orang yang berhak mewarisinya (al-warits), kadar warisan yang akan diterima oleh masing-masing ahli waris (al-furud al-muqaddarah), harta benda yang ditinggalkan oleh pewaris (al-muwarrits) seperti berupa uang, tanah, mobil, dan lain-lain yang disebut dengan al-irts, al-turts, al-mirats, al-mauruts, dan al-tirkah (maknanya semua sama, mutaradifat), orang yang terhalang hak warisnya (al-hijab), maupun orang-orang yang terlarang untuk menerima hak warisnya (mawani' al-irts).
 Makna waris secara etimologis yaitu perpindahan sesuatu dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang lain. Sedangkan makna termonologis yaitu pindahnya sesuatu dari orang yang telah meninggal dunia kepada ahli waris atau kerabatnya yang masih hidup, baik yang ditingallkannya itu berupa harta benda bergerak dan tidak bergerak, ataupun berupa hak milik legal menurut syara. Secara umum, bagian penerima hak waris laki-laki dan perempuan tidak sama jumlah besarannya, karena bagi laki-laki mempunyai kewajiban dan tanggungjawab berat bagi dirinya dan terhadap keluarganya (al-Nisa': 34).Â
BAB 5 HUKUM WASIAT
 Secara bahasa, dimaksudkan dengan wasiat yaitu pesan, atau pesan-pesan, atau sesuatu yang dipesankan kepada orang lain. Sedangkan secara terminologis, wasiat yaitu pesan sesuatu kebaikan kepada seseorang untuk dilaksanakan/dijalankan sesudah meninggalnya. Batasan lain, wasiat yaitu suatu tasarruf terhadap harta peninggalan yang akan dilaksanakan sesudah meninggal yang berwasiat. Dasar hukum diperbolehkan melakukan wasiat kepada siapa saja orang yang dikehendaki selain ahli waris di antaranya adalah: Pertama, Q. S. Al-Maidah, ayat 106 yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu". Kedua, Hadis kudsi, Rasulullah bersabda: "Bahwa ada dua hal yang diberikan kepada umat Nabi Muhammad yang tidak diberikan kepada umat sebelumnya, yaitu Allah menentukan sebagian harta seseorang khusus untuk seseorang ketika ia akan wafat (dengan jalan wasiat) untuk memberihkan dirinya (dari dosa), dan doa seorang hambabuat seseorang yang telah wafat".Â
 Abdul Wahab Khallaf berpandangan bahwa apabila ada seorang anak beragama Islam mempunyai harta banyak, maka anak sebagai al-muwarrits diwajibkan untuk mewasiatkan (wasiat wajibah) sebagian hartanya untuk kedua orang tuanya, atau kerabatnya yang non muslim. Berdasarkan beberapa pandangan ulama tersebut dapat ditegaskan bahwa Jumhur fuqaha (dari empat mazhab) sekalipun berpandangan boleh berwasiat kepada selain ahli waris maksimal sepertiga dari harta al-muwarrits, dengan syarat diizinkan (disepakati) oleh ahli waris yang lain, tetapi stresingnya kepada sesama muslim, tidak boleh kepada orang non muslim. Sedangkan Abdul Wahab Khallaf dan Ibn Hazm mewajibkan untuk berwasiat (wasiat wajibah) kepada al-waritsun sekiranya al-muwarrits di saat mau meninggal dunia (sakarat al- maut) tidak berwasiat bagi ahli waris atau kerabat yang non muslim.
BAB 6 HUKUM PERWAKAFAN
 Secara terminologis, wakaf yaitu menahan atau membekukan sesuatu benda yang kekal zatnya dan dapat diambil faedahnya di jalan kebaikan oleh orang lain. Definisi lain, wakaf yaitu menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama zatnya kepada seseorang atau nazir (penjaga wakaf) baik berupa perorangan maupun berupa badan pengelola dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan syari'at Islam. Dasar hukum wakaf Secara tekstual al-Qur'an dan tegas menjelaskan mengenai ajaran wakaf sejauh penelitian penulis ternyata tidak ditemukan satu ayatpun yang mengungkapkan kata al-waqf. Salah saatunya dalam Q.S. Al-Hajj: 77 Artinya: "Perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan". Selain dalam Al-Quran dalam hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah, bahwasannya Nabi bersabda: "Apabila anak adam (manusia) meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara: Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan orang tuanya". Hadis ini oleh al-Shan'ani dikemukakan dalam bab wakaf, karena para ulama menginterpretasikan kalimat shadaqah jariyah dengan wakaf.Â
 Macam-Macam wakaf dibedakan menjadi dua macam, yang pertama dimaksudkan dengan wakaf ahli yaitu wakaf yang diperuntukkan kepada orang-orang tertentu, seseorang atau lebih, keluarga si wakif atau bukan. Wakaf seperti ini disebut juga dengan wakaf zurri, atau kerabat. Kedua, dimaksudkan dengan wakaf khairi, atau wakaf untuk umum yaitu wakaf yang secara tegas dinyatakan oleh si wakif untuk kepentingan umum masyarakat. Misalnya wakaf tanah yang diberikan untuk kepentingan pembangunan masjid, lembaga pendidikan, lembaga dakwa, rumah sakit Islam, tempat pemeliharaan dan pemberdayaan anak-anak jalanan secara profesional, dan lain-lain. Secara umum, problematika pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf di Indonesia selama ini masih dikelola secara tradisional konsumtif, masih jauh dari harapan umat. Wakaf baru dikelola secara amatiran, terkadang salah kaprah, dan bahkan menjadi beban bagi nazir. Selain itu, obyek-obyek wakaf (mauquf bih) masih terbatas titik tekannya pada benda tidak bergerak (al-madah al-'iqar, atau fixed asset), belum menjamah pada semua jenis benda bergerak yang bernilai ekonomis.Â
BAB 7 HUKUM JUAL BELI
 Menurut bahasa (etimologi), jual beli berarti pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain) kata lain dari Ba'i (jual beli) adalah al-tijarah yang berarti perdagangan. Menurut istilah (terminiologi), terdapat beberapa pendapat, menurut ulama Hanafiah, jual beli adalah Pertukaran harta (benda) dengan harta (yang lain) berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan). Menurut Imam Nawawi, jual beli adalah Pertukaran harta dengan harta (yang lain) untuk kepemilikan. Sedangkan menurut Ibnu Qudamah, jual beli adalah Pertukaran harta dengan harta (yang lain) untuk saling menjadikan milik. Kemudian rukun jual beli terdiri dari Penjual, Pembeli, barang yang dijual dan shigat (ijab qabul). Syarat sahnya jual beli terdiri dari penjual dan pembeli berakal dan juga atas kehendak sendiri (bukan paksaan), keduanya tidak mubazir dan juga baligh. Objek yang dijual belikan harus suci dan barang tersebut dapay dimanfaatkan dan juga barang bukan dalam pinangan orang lain.
 Jual beli yang dilarang diantaranya yaitu jual beli Gharar Yaitu jual beli barang yang mengandung kesamaran. Selanjutnya sual beli barang yang tidak dapat diserahkan Maksudnya bahwa jual beli barang yang tidak dapat diserahkan, seperti burung yang ada di udara dan ikan yang ada di air dipandang tidak sah, karena jual beli seperti ini dianggap tidak ada kejelasan yang pasti. Khiar adalah hak kebebasan memilih bagi penjual dan pembeli untuk meneruskan perjanjian (akad) jual beli atau membatalkannya. Oleh karena itu dalam jual beli dibolehkan memilih apakah akan diteruskan atau dibatalkan (dihentikan). Penjual dan pembeli dalam melakukan transaksi jual beli hendaklah berlaku jujur, terbuka, sopan (beretika) dan mengatakan apa adanya, jangan berdusta dan bersumpah palsu. Sebab yang demikian itu dapat menghilangkan keberkahan dalam jual beli.  Adapun dalam jual beli apabila terdapat perselisihan pendapat antara penjual dan pembeli terhadap suatu barang atau benda yang diperjual belikan, maka yang dijadikan pegangan adalah keterangan (kata-kata) yang punya barang, selama keduanya (penjual dan pembeli) tidak mempunyai saksi dan bukti-bukti lain. Manfaat dan hikamah dilakukannya jual beli salah satunya yaitu anatar penjual dan pembeli dapat merasa puas dan berlapang dada dengan jalan suka sama suka.
BAB 8 HUKUM UTANG PIUTANG
 Utang piutang merupakan memberikan sesuatu kepada orang lain yang membutuhkan baik berupa uang maupun benda dalam jumlah tertentu dengan perjanjian yang telah di sepakati bersama, di mana orang yang diberi tersebut harus mengembalikan uang atau benda yang dihutangnya dengan jumlah yang sama tidak kurang atau lebih pada waktu yang telah ditentukan. Utang-piutang pada dasarnya hukumnya sunnat, tetapi bisa berubah menjadi wajib apabila orang yang berutang sangat membutuhkannya, sehingga utang piutang sering diidentikan dengan tolong menolong. Sebagaimana firman Allah yang artinya "Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran". Rukun dan syarat dalam utang piutang diantaranya orang memberi utang ataupun orang yang berhutang bharus baligh dan berakal, objek barang yang diutangkan dapat diukur atau diketahui jumlahnya, adanya lafadhz ijab kabul.Â
 Hukum memberi kelebihan dalam membayar utang adalah Apabila kelebihan pembayaran dilakukan oleh orang yang berutang tanpa didasarkan pada perjanjian sebelumnya, dan hanya sebagai ucapan terima kasih (kebaikan), maka kelebihan tersebut (hukumnya) boleh (halal) bagi orang yang memberi utang. Apabila kelebihan pembayaran dilakukan oleh orang yang berutang kepada orang yang memberi utang didasarkan pada perjanjian yang telah disepakati sebelumnya, maka hukumannya tidak boleh, dan haram bagi orang yang memberi utang untuk menerima kelebihan tersebut. Hukum menunda pembayaran utang adalah bagi orang yang suka menunda-nunda atau enggan membayar utang, padahal ia mampu untuk membayarnya, maka ia termasuk orang yang dzalim dan akan memperoleh dosa besar. Salah satu dampak negatif dari utang piutang yaitu dapat menganggu nama baik keluarga, sebab para penagih utang bisa datang setiap saat, sehingga membuat orang yang berhutang menjdi malu.
BAB 9 HUKUM SEWA MENYEWA
 Menurut istilah, sewa menyewa mengadung beberapa pengertian, yang pertama menurut ukama Hanafiyah bahwa sewa menyewa adalah Akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan disengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan. Kedua menurut ulama Malikiyah adalah Nama bagi kad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang dapat dipindahkan. Ketiga menurut Syaik syihab Al-Din dan Syaikh Umairah sewa menyewa adalah Akad atas manfaat yang diketahui dan disengaja untuk memberi dan membolehkan dengan imbalan yang diketahui ketika itu. Rukun dan syarat sewa menyewa diantaranya orang yang menyewaka dan orang yang menyewa harus baligh dan berakal, barang yang disewakan harus bermanfaat dan bukan barang termasuk barang-barang yang dilarang oleh agama dan juga harus diketahui baik jenis dan kadar beserta sifatnya.
 Imbalan sebagai bayaran dapat diketahui jumlah uang sewanya dan tidak berkurang  nilainya dan juga bisa membawa manfaat yang jelas, Adanya shigat atau ijab qabul. Ada beberapa hal yang menyebabkan batal atau berakhirnya perjanjian sewa menyewa diantara nya yaitu terjadinya kecacatan pada barang sewaan, rusaknya batang yang disewa, masa sewa telah habis, adanya uzur. Manfaat dan hikamh dari sewa menyewa salah satunya yaitu menumbuhkan sikap saling tolong menolong dan kepedulian terhadap orang lain.
BAB 10 HUKUM UPAH MENGUPAH
Menurut bahasa (etimologi), upah berarti imbalan atau pengganti. Menurut istilah (terminologi), upah adalah mengambil manfaat tenaga orang lain dengan jalan memberi ganti atau imbalan menurut syarat-syarat tertentu. Memberikan upah kepada seseorang yang telah diperintahkan untuk mengerjakan suatu pekerjaan hukumnya boleh. Hal ini berdasarkan firman Allah : "Jika mereka telah menyusukan anakmu, maka berilah upah mereka". Rukun dan syarat upah mengupah yaitu, a. Orang yang memberi upah, dalam hal ini disyaratkan baligh,berakal dan atas kehendak sendiri. b. Orang yang menerima upah, dalam hal ini disyaratkan baligh dan berakal. c. Sesuatu yang menjadi objek upah mengupah atau sesuatu yang dikerjakan, dalam hal ini yang menjadi objek upah mengupah adalah sesuatu yang diper-bolehkan menurut agama (Islam). d. Imbalan sebagai bayaran (upah). e. Akad (ijab kabul).Â
 Kebolehan upah mengajarkan Al-Qurn dan ilmu pengetahuan agama dengan alasan bahwa mengajar itu telah menggunakan waktu yang seharusnya dapat mereka gunakan untuk usaha atau pekerjaan yang lain. Hal ini sebagaimana kata Muhammad Rasyid Ridla, "saya telah mendengar dari syekh Muhammad Abduh, beliau mengatakan : guru-guru yang mendapat gaji dari wakaf hendaklah mereka ambil gaji itu apabila mereka membutuhkan dengan tidak disengaja sebagai upah. Dengan cara demikian selain mereka memperoleh upah, mereka juga memperoleh pahala dari Allah SWT sebagai penyiar agama".
BAB 11 HUKUM SYIRKAH (SERIKAT)
Secara terminologi menimbulakn beberapa perbedann pendapat, pertama menurut Sayyid Sabiq, Syirkah adalah Akad anatara dua orang bersikat pada pokok harta (modal) dan keuntungan, kedua menurut Muhammad Al-Syarbini Al-Khatib adalah ketetapan hak pada sesuatu untuk dua orang atau lebih dengan cara yang masyhur (diketahui), ketiga menurut Hasbi Ash-Shiddiqie adalah Akad yang berlaku antara dua orang atau lebih untuk saling menolong dalam bekerja, pada suatu usaha dan membagi keuntungannya. Keempat menurut Idris Ahmad, syirkah adalah sama dengan sarikat dagang, yaitu dua orang atau lebih sama-sama berjanji akan bekerja sama dalam dagang dengan menyerahkan modal masing-masing dimana keuntungan dan kerugiannya diperhitungkan menurut besar kecilnya modal masing-masing.
 Dalam hal ini yang menjadi dasar hukum serikat (syirkah) dapat dilihat dalam ketentuan Al-quran dan hadis. Dalam Al-quran Allah SWT berfirman yang artinya: "Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat dzalim kepada sebagian yang lain kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh ". Selanjutnya rukun syirkah meliputi orang-orang yang berserikat, pokok pekerjaan (bidang usaha yang dijalankan), modal tunai dari orang-orang yang berserikat, sighat (lafadz akad). Kemudian syarat-syarat syirkah menurut ketentuan syariat islam yaitu orang yang berserikat harus berakal dan atas kehendak sendiri, orang-orang berserikat sepakat untuk mencampurkan modal-modalnya menjadi satu, modal yang diberikan oarang-orang yang berserikat harus tunai, apabila terdapat keuntungan atau terjdai kerugian maka harus diukur dari  modal yang diserahkan oleh masing-masing pihak atau yang berserikat. Berikut macam-macam syirkah; a. Syirkah inan; b. Syirkah mufawadhah; c. Syirkah wujuh; d. Syirkah abdan. Salah satu yang bisa membatalkan syirkah yaitu Salah satu pihak membatalkan perjanjian syirkah, meskipun tanpa persetujuan pihak lain. Sebab syirkah terjadi atas dasar rela sama rela dari pihak-pihak yang berserikat, maka apabila salah satu pihak tidak lagi menginginkan, berarti bisa membatalkannya.
BAB 12 HUKUM MUDHARABAH (QIRADH)
 Menurut istilah (etimologi), Qiradh adalah Pemilik harta atau modal menyerahkan modal kepada pengusaha untuk berdagang dengan modal tesebut, dan laba dibagi diantara keduanya berdasarkan persyaratan yang disepakati. Dalam hukum islam qiradh boleh dilakukan, hal ini sebagaimana sabda Nabi SAW yang artinya : "Tiga perkara yang mengandung keberkahan adalah jual beli yang ditangguhkan, melakukan Qiradl (memberikan modal kepada orang lain), dan yang mencampurkan gandum dengan jelas untuk keluarga bukan untuk diperjual belikan". Berikut merupakan rukin dan syarat qiradh, a. Orang yang memberi modal; b. Orang yang menjalankan modal; c. Modal atau harta; d. Lapangan pekerjaan; e. Keuntungan; f. Ijab kabul (akad).
 Macam-macam qirad diantaranya, yaitu: a. Qiradl sederhana Yaitu qiradl yang dilakukan secara perorangan, misalnya qiradl yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap Siti Khadijah; b. Qiradl modern Yaitu qiradl yang sudah dikembangkan lebih jauh dan secara profesional, misalnya qiradl yang dilakukan bank dan perusahan-perusahaan terhadap para penanam modal (saham). Salah satu hal yang membuat dilarangnya qiradh adalah mengutangkan modal atau barang kepada orang lain tanpa seizin pemilik modal dan salah satu faktor yang menyebabkan berakhirnya qiradh adalah tidak terpenuhi salah satu atau beberapa rukun dan syarat qiradl. Salah satu manfaat dan hikmah dari qiradh yaitu terciptanya hubungan persaudaraan yang harmonis antara pemilik modal dengan pengelola modal.
BAB 13 HUKUM MUZARA'AH DAN MUKHARABAH
 Secarah istilah, pengertian muzara'ah dan mukhabarah terdapat beberapa pendapat, pertama menurut ulama Hanafiyah, Muzara'ah adalah akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi, kedua menurut ulama Malikiyah, Muzara'ah adalah bersekutu dalam bercocok tanam, dan yang ketiga menurut ulama syafiyah adalah Mukhabarah adalah mengelola tanah di atas sesuatu yang dihasilkannya dan benihnya berasal dari pengelola. Adapun Muzara'ah adalah sama dengan Mukhabarah hanya saja benihnya berasal dari pemilik tanah. Dasar hukum muzara'ah dan mukhabarah dapat dilihat dari hadits nabi berikut yang artinya "Sesungguhnya Nabi SAW tidak mengharamkan bermuzara'ah, bahkan beliau menyuruhnya supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang lain, dengan perkataanya : Barang siapa yang memiliki tanah, maka hendaklah ditanaminya atau diberikan manfaatnya kepada saudaranya, jika ia tidak mau, maka boleh ditahan tanah itu".Â
 Berikut merupakan rukun dan syarat muzara'ah dan mukhabarah: a. Pemilik tanah dan penggarap tanah, dalam hal ini disyaratkan baligh dan berakal (mumayyiz); b. Tanah garapan merupakan tanah yang jelas dan memungkinkan untuk di garap; c. Modal atau biaya penggarapan harus jelas nilainya dan dapat dimanfaatkan; d. Ijab kabul (akad) dilakukan atas kesepakatan bersama, tidak ada pihak yang dirugikan dan dapat diterima kedua belah pihak. Kemudian zakat hasil muzara'ah dan mukhabarah dalam hal ini di wajibkan atas orang yang punya benih. Adapun pada mukhabarah yang diwajibkan zakat adalah orang yang punya tanah, karena hakekatnya dialah yang bertanam, petani hanya mengambil upah bekerja. Yang membuat berakhirnya muzara'ah dan mukhabarah salah satunya yaitu salah satu pihak yang berakad meninggal dunia. Selanjutnya hikmahnya salah satunya Tanah yang semula tersia-siakan (kurang di dayagunakan) dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Dosen Pengampu: Muhammada Julijanto, S.Ag., M.Ag.
Nama: Diva Novitasari
NIM: 222121192
Kelas: HKI 4E
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H