Mohon tunggu...
Diva Novitasari
Diva Novitasari Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

membaca

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Hukum Perdata Islam di Indonesia (Aspek Hukum Keluarga dan Bisnis)

18 Maret 2024   22:50 Diperbarui: 18 Maret 2024   23:17 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Secara normatif yuridis, peristiwa kematian merupakan peristiwa hukum, karena bagi orang yang mati segala hak dan kewajibannya berakhir, dan bahkan secara otomatis pindah kepada ahli waris yang berhak mewarisinya (zaw al-furud) terutama yang berkaitan dengan harta kekayaan yang ditinggalkan (al-tirkah), baik berupa benda bergerak seperti mobil, motor dan lain-lain maupun benda tidak bergerak seperti rumah, sebidang tanah, dan lain-lain. Bagi umat Islam, pembagian waris secara teknis telah diatur dalam ilmu fara'id, baik segi sistem kewarisannya (nizam al-irts), orang-orang yang berhak mewarisinya (al-warits), kadar warisan yang akan diterima oleh masing-masing ahli waris (al-furud al-muqaddarah), harta benda yang ditinggalkan oleh pewaris (al-muwarrits) seperti berupa uang, tanah, mobil, dan lain-lain yang disebut dengan al-irts, al-turts, al-mirats, al-mauruts, dan al-tirkah (maknanya semua sama, mutaradifat), orang yang terhalang hak warisnya (al-hijab), maupun orang-orang yang terlarang untuk menerima hak warisnya (mawani' al-irts).

 Makna waris secara etimologis yaitu perpindahan sesuatu dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang lain. Sedangkan makna termonologis yaitu pindahnya sesuatu dari orang yang telah meninggal dunia kepada ahli waris atau kerabatnya yang masih hidup, baik yang ditingallkannya itu berupa harta benda bergerak dan tidak bergerak, ataupun berupa hak milik legal menurut syara. Secara umum, bagian penerima hak waris laki-laki dan perempuan tidak sama jumlah besarannya, karena bagi laki-laki mempunyai kewajiban dan tanggungjawab berat bagi dirinya dan terhadap keluarganya (al-Nisa': 34). 

BAB 5 HUKUM WASIAT

 Secara bahasa, dimaksudkan dengan wasiat yaitu pesan, atau pesan-pesan, atau sesuatu yang dipesankan kepada orang lain. Sedangkan secara terminologis, wasiat yaitu pesan sesuatu kebaikan kepada seseorang untuk dilaksanakan/dijalankan sesudah meninggalnya. Batasan lain, wasiat yaitu suatu tasarruf terhadap harta peninggalan yang akan dilaksanakan sesudah meninggal yang berwasiat. Dasar hukum diperbolehkan melakukan wasiat kepada siapa saja orang yang dikehendaki selain ahli waris di antaranya adalah: Pertama, Q. S. Al-Maidah, ayat 106 yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu". Kedua, Hadis kudsi, Rasulullah bersabda: "Bahwa ada dua hal yang diberikan kepada umat Nabi Muhammad yang tidak diberikan kepada umat sebelumnya, yaitu Allah menentukan sebagian harta seseorang khusus untuk seseorang ketika ia akan wafat (dengan jalan wasiat) untuk memberihkan dirinya (dari dosa), dan doa seorang hambabuat seseorang yang telah wafat". 

 Abdul Wahab Khallaf berpandangan bahwa apabila ada seorang anak beragama Islam mempunyai harta banyak, maka anak sebagai al-muwarrits diwajibkan untuk mewasiatkan (wasiat wajibah) sebagian hartanya untuk kedua orang tuanya, atau kerabatnya yang non muslim. Berdasarkan beberapa pandangan ulama tersebut dapat ditegaskan bahwa Jumhur fuqaha (dari empat mazhab) sekalipun berpandangan boleh berwasiat kepada selain ahli waris maksimal sepertiga dari harta al-muwarrits, dengan syarat diizinkan (disepakati) oleh ahli waris yang lain, tetapi stresingnya kepada sesama muslim, tidak boleh kepada orang non muslim. Sedangkan Abdul Wahab Khallaf dan Ibn Hazm mewajibkan untuk berwasiat (wasiat wajibah) kepada al-waritsun sekiranya al-muwarrits di saat mau meninggal dunia (sakarat al- maut) tidak berwasiat bagi ahli waris atau kerabat yang non muslim.

BAB 6 HUKUM PERWAKAFAN

 Secara terminologis, wakaf yaitu menahan atau membekukan sesuatu benda yang kekal zatnya dan dapat diambil faedahnya di jalan kebaikan oleh orang lain. Definisi lain, wakaf yaitu menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama zatnya kepada seseorang atau nazir (penjaga wakaf) baik berupa perorangan maupun berupa badan pengelola dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan syari'at Islam. Dasar hukum wakaf Secara tekstual al-Qur'an dan tegas menjelaskan mengenai ajaran wakaf sejauh penelitian penulis ternyata tidak ditemukan satu ayatpun yang mengungkapkan kata al-waqf. Salah saatunya dalam Q.S. Al-Hajj: 77 Artinya: "Perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan". Selain dalam Al-Quran dalam hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah, bahwasannya Nabi bersabda: "Apabila anak adam (manusia) meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara: Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan orang tuanya". Hadis ini oleh al-Shan'ani dikemukakan dalam bab wakaf, karena para ulama menginterpretasikan kalimat shadaqah jariyah dengan wakaf. 

 Macam-Macam wakaf dibedakan menjadi dua macam, yang pertama dimaksudkan dengan wakaf ahli yaitu wakaf yang diperuntukkan kepada orang-orang tertentu, seseorang atau lebih, keluarga si wakif atau bukan. Wakaf seperti ini disebut juga dengan wakaf zurri, atau kerabat. Kedua, dimaksudkan dengan wakaf khairi, atau wakaf untuk umum yaitu wakaf yang secara tegas dinyatakan oleh si wakif untuk kepentingan umum masyarakat. Misalnya wakaf tanah yang diberikan untuk kepentingan pembangunan masjid, lembaga pendidikan, lembaga dakwa, rumah sakit Islam, tempat pemeliharaan dan pemberdayaan anak-anak jalanan secara profesional, dan lain-lain. Secara umum, problematika pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf di Indonesia selama ini masih dikelola secara tradisional konsumtif, masih jauh dari harapan umat. Wakaf baru dikelola secara amatiran, terkadang salah kaprah, dan bahkan menjadi beban bagi nazir. Selain itu, obyek-obyek wakaf (mauquf bih) masih terbatas titik tekannya pada benda tidak bergerak (al-madah al-'iqar, atau fixed asset), belum menjamah pada semua jenis benda bergerak yang bernilai ekonomis. 

BAB 7 HUKUM JUAL BELI

 Menurut bahasa (etimologi), jual beli berarti pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain) kata lain dari Ba'i (jual beli) adalah al-tijarah yang berarti perdagangan. Menurut istilah (terminiologi), terdapat beberapa pendapat, menurut ulama Hanafiah, jual beli adalah Pertukaran harta (benda) dengan harta (yang lain) berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan). Menurut Imam Nawawi, jual beli adalah Pertukaran harta dengan harta (yang lain) untuk kepemilikan. Sedangkan menurut Ibnu Qudamah, jual beli adalah Pertukaran harta dengan harta (yang lain) untuk saling menjadikan milik. Kemudian rukun jual beli terdiri dari Penjual, Pembeli, barang yang dijual dan shigat (ijab qabul). Syarat sahnya jual beli terdiri dari penjual dan pembeli berakal dan juga atas kehendak sendiri (bukan paksaan), keduanya tidak mubazir dan juga baligh. Objek yang dijual belikan harus suci dan barang tersebut dapay dimanfaatkan dan juga barang bukan dalam pinangan orang lain.

 Jual beli yang dilarang diantaranya yaitu jual beli Gharar Yaitu jual beli barang yang mengandung kesamaran. Selanjutnya sual beli barang yang tidak dapat diserahkan Maksudnya bahwa jual beli barang yang tidak dapat diserahkan, seperti burung yang ada di udara dan ikan yang ada di air dipandang tidak sah, karena jual beli seperti ini dianggap tidak ada kejelasan yang pasti. Khiar adalah hak kebebasan memilih bagi penjual dan pembeli untuk meneruskan perjanjian (akad) jual beli atau membatalkannya. Oleh karena itu dalam jual beli dibolehkan memilih apakah akan diteruskan atau dibatalkan (dihentikan). Penjual dan pembeli dalam melakukan transaksi jual beli hendaklah berlaku jujur, terbuka, sopan (beretika) dan mengatakan apa adanya, jangan berdusta dan bersumpah palsu. Sebab yang demikian itu dapat menghilangkan keberkahan dalam jual beli.  Adapun dalam jual beli apabila terdapat perselisihan pendapat antara penjual dan pembeli terhadap suatu barang atau benda yang diperjual belikan, maka yang dijadikan pegangan adalah keterangan (kata-kata) yang punya barang, selama keduanya (penjual dan pembeli) tidak mempunyai saksi dan bukti-bukti lain. Manfaat dan hikamah dilakukannya jual beli salah satunya yaitu anatar penjual dan pembeli dapat merasa puas dan berlapang dada dengan jalan suka sama suka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun