Mohon tunggu...
Ditta Atmawijaya
Ditta Atmawijaya Mohon Tunggu... Editor - Editor

Pencinta tulisan renyah nan inspiratif

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dua Dunia Pendidikan: Formal dan Nonformal

15 Juli 2024   14:42 Diperbarui: 15 Juli 2024   14:46 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Dewi, anak-anakmu kelihatannya nyaman, ya, kalau belajar." Martha memulai obrolan saat mendengar suara anak-anak Dewi yang terdengar samar dari ruang sebelah. "Aku lihat mereka begitu mandiri dan kreatif. Aku jadi terpikir untuk memindahkan anak-anakku ke homeschooling, tapi apa aku bisa, ya?"

Dewi tersenyum, meletakkan dua cangkir teh dan kudapan yang dibawanya di meja. Dia menyadari kebingungan sahabatnya. "Memang tidak mudah, Martha. Yang terpenting, kita lihat apa yang paling cocok untuk karakter dan kebutuhan anak-anak kita."

Martha menghela napas panjang. "Aku tahu, tapi apa yang membuatmu yakin dengan pilihan homeschooling untuk anak-anakmu?"

"Awalnya, aku juga ragu." Dewi menyesap tehnya. "Tapi setelah melihat betapa mandiri dan kreatifnya mereka berkembang, aku merasa ini keputusan yang tepat untuk mereka. Menurutku, homeschooling memberikan fleksibilitas luar biasa dalam metode pembelajaran."

"Seperti apa contohnya?" tanya Martha, semakin tertarik.

"Misalnya, Adit sangat suka sains. Jadi, kami bisa menghabiskan lebih banyak waktu melakukan eksperimen dan proyek sains daripada yang mungkin dilakukan di sekolah formal. Di sisi lain, Alia yang suka seni  memilih ikut kelas seni dan kami sering mengantarnya berkunjung ke museum," jelas Dewi.

Martha mengangguk. "Kedengarannya menyenangkan. Tapi bagaimana dengan interaksi sosial mereka? Aku khawatir mereka tidak punya cukup teman."

"Banyak, lo, komunitas homeschooling di sekitar kita. Anak-anak bisa berinteraksi dengan teman-teman mereka melalui kegiatan kelompok, klub buku, atau bahkan olahraga. Mereka mungkin tidak bertemu teman setiap hari seperti di sekolah formal, tapi interaksi yang mereka miliki justru lebih bermakna."

"Menarik, sih, tapi aku takut salah mengambil keputusan," kata Martha, terlihat cemas.

"Setiap anak itu unik dan punya cara belajar yang berbeda. Makanya, keputusan ini harus berdasarkan kemauan mereka, bukan karena tren atau tekanan dari luar."

"Bagaimana caranya kamu bisa yakin ini yang terbaik untuk mereka?"

"Aku banyak berdiskusi dengan anak-anak. Aku tanya apa yang mereka suka, apa yang mereka rasakan sulit, dan apa yang mereka ingin coba. Selain itu, aku juga observasi cara mereka belajar. Misalnya, mereka lebih suka belajar di tempat yang tenang atau ramai, mereka lebih suka belajar melalui buku atau pengalaman langsung. Semua itu jadi bahan pertimbanganku."

Martha terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Dewi. "Tapi, bagaimana kalau aku tidak bisa menjadi guru bagi mereka?"

"Itu kekhawatiran yang wajar, Martha. Homeschooling bukan berarti kamu harus jadi guru yang sempurna, lo. Banyak sumber daya yang bisa membantu, seperti kursus online, tutor, dan komunitas homeschooling. Selain itu, homeschooling juga memberi anak kesempatan untuk belajar mandiri, belajar keterampilan hidup yang sangat berharga."

"Katanya, lulusan homeschooling sekarang sudah banyak yang diterima di perguruan tinggi negeri, ya?" tanya Martha, mencari penegasan.

"Iya, benar. Banyak perguruan tinggi negeri yang sudah menerima lulusan homeschooling. Kurikulum homeschooling sudah disesuaikan dengan standar pendidikan nasional, sehingga mereka tetap bisa mengikuti ujian seleksi perguruan tinggi dengan baik."

"Jadi, menurutmu, pendidikan nonformal seperti homeschooling bisa setara dengan pendidikan formal?" Mata Martha berbinar penuh harap.

"Menurutku, bisa. Tapi tetap, itu kembali lagi ke karakter dan kebutuhan anak. Ada anak yang cocok dengan struktur sekolah formal, ada juga yang lebih berkembang dengan fleksibilitas homeschooling. Keduanya punya kelebihan dan kekurangan masing-masing."

"Kamu memberiku banyak pemahaman baru. Aku akan coba diskusi lebih dalam dengan anak-anak dan suami sebelum memutuskan."

Dewi menggenggam tangan Martha dengan hangat. "Yang terpenting adalah kenyamanan anak-anak. Apa pun pilihanmu, pastikan itu sesuai dengan keinginan mereka karena mereka yang akan menjalani prosesnya. Yang mereka butuhkan dari kita adalah dukungan sepenuhnya."

"Kamu benar. Aku akan pastikan keputusan ini sesuai dengan kebutuhan dan karakter anak-anakku. Terima kasih, ya, Wi."

"Sama-sama, Tha. Yuk, incipi tehnya sebelum dingin."

Setelah beberapa saat menikmati sajian Dewi, Martha kembali bertanya, "Menurutmu, sebenarnya pendidikan formal sekarang ini sudah cukup belum, sih, memenuhi kebutuhan anak-anak? Atau kamu memilih homeschooling justru karena berpikir kalau pendidikan nonformal lebih memberikan harapan baru?"

Dewi berpikir sejenak sebelum menjawab. "Pendidikan formal memberikan dasar yang kuat dalam pembelajaran akademis dan pengembangan keterampilan dasar. Namun, menurut pengamatanku, pendidikan formal ini terlalu fokus pada aspek kognitif dan akademis, tanpa memperhatikan pengembangan keterampilan praktis dan emosional. Di sisi lain, pendidikan nonformal memberikan fleksibilitas dalam metode pembelajaran dan bisa mencakup berbagai keterampilan hidup yang tidak selalu diajarkan di sekolah formal."

"Apakah keduanya diperlukan untuk saling melengkapi?"

"Tentu! Untuk memberikan pendidikan yang utuh bagi anak-anak, penting bagi keduanya untuk saling melengkapi. Pendidikan formal dapat menyediakan struktur dan kurikulum yang terstandarisasi, sementara pendidikan nonformal bisa memberikan pengalaman praktis dan pembelajaran berbasis proyek yang lebih fleksibel. Dengan kombinasi ini, anak-anak bisa mendapatkan pendidikan yang komprehensif yang mempersiapkan mereka untuk kehidupan nyata."

"Lalu, menurutmu, apakah pendidikan nonformal perlu diperkuat dan dikedepankan agar anak-anak mendapatkan pendidikan yang utuh?" tanya Martha lagi.

"Pendidikan nonformal memainkan peran yang sangat penting dalam pengembangan diri anak-anak, terutama dalam hal keterampilan hidup dan sosial. Pendidikan nonformal, seperti kursus keterampilan, pelatihan vokasional, dan kegiatan ekstrakurikuler, dapat memberikan pengalaman belajar yang praktis dan aplikatif yang sering kali tidak ada dalam pendidikan formal.

"Pendidikan nonformal mampu mengisi kekosongan yang tidak dapat dipenuhi oleh pendidikan formal. Pendidikan nonformal bisa melengkapi pendidikan formal dengan menyediakan berbagai keterampilan tambahan yang bermanfaat bagi perkembangan pribadi dan profesional anak-anak. Dengan demikian, anak-anak mendapatkan pendidikan yang lebih holistik dan siap menghadapi berbagai tentangan di masa depan."

Martha mengangguk setuju. "Aku juga merasa pendidikan nonformal ini bisa memberikan solusi untuk masalah-masalah yang tidak bisa ditangani oleh pendidikan formal."

"Benar, Martha. Pada akhirnya, tujuan kita adalah memberikan pendidikan yang terbaik dan paling sesuai untuk anak-anak kita, bukan?"

"Dan kalau ternyata anak-anak masih nyaman dengan sekolah formal, mungkin aku bisa menambah pendidikan nonformal yang sesuai dengan minat dan bakat mereka. Apa pendapatmu tentang itu?" tanya Martha.

"Itu ide yang sangat bagus! Pendidikan nonformal tidak harus menggantikan pendidikan formal, tapi bisa menjadi pelengkap yang sangat bermanfaat. Misalnya, jika anakmu suka musik, kamu bisa memasukkannya ke kursus musik di luar sekolah. Atau jika mereka tertarik dengan olahraga, kamu bisa mendaftarkan mereka ke klub olahraga. Yang penting, anak-anak mendapatkan pengalaman belajar yang beragam dan menyenangkan."

Martha tersenyum lega. "Kamu benar. Aku akan mempertimbangkan opsi itu juga. Terima kasih, Dewi. Kamu benar-benar memberi banyak wawasan baru hari ini."

"Sama-sama, Martha. Yang terpenting adalah kita selalu berusaha untuk kebaikan anak-anak kita." Dewi merangkul sahabatnya dengan penuh kasih. Martha tersenyum dan membalas pelukan hangat Dewi.

"Dewi, aku jadi ingin tahu pendapatmu tentang taman baca yang saat ini banyak digaungkan. Menurutmu, apakah ini salah satu alternatif pendidikan nonformal?"

Dewi tertawa kecil. "Aaah, betul! Aku suka sekali melihat anak-anak antusias datang ke taman baca. Itu adalah pemandangan yang menggembirakan. Ini menunjukkan bahwa mereka memiliki rasa ingin tahu dan minat yang besar. Taman baca bisa menjadi salah satu alternatif pendidikan nonformal yang sangat baik, karena menyediakan lingkungan yang santai dan mendukung untuk anak-anak. Bahkan ada beberapa taman baca yang melakukan kegiatan interaktif seperti sesi bercerita, klub buku, dan lomba membaca."

"Duh!" keluh Martha, tiba-tiba teringat sesuatu. "Sayangnya, di daerahku tidak ada taman baca. Pengen banget ada taman baca biar anak-anak semakin tertarik untuk membaca. Bisa tidak, sih, kita membuka taman baca tanpa harus mengeluarkan banyak biaya?"

Dewi merenung sejenak sebelum menjawab. "Ada beberapa solusi yang bisa kita coba, Martha. Misalnya, kita bisa bekerjasama dengan komunitas lokal untuk mengumpulkan buku yang sudah tidak terpakai. Kita bisa mengadakan kampanye donasi buku di lingkungan sekitar. Jangan lupa, libatkan tokoh masyarakat atau pemuda yang aktif."

"ide bagus! Tapi bagaimana dengan tempatnya? Aku tidak punya ruang khusus untuk itu."

"Manfaatkan ruang publik yang sudah ada, seperti balai desa, aula, atau ruang serbaguna di lingkungan kita. Itu bisa menjadi tempat sementara untuk taman baca," sahut Dewi.

"Benar juga," jawab Martha. "Lalu, bagaimana jika kita tidak bisa selalu menyediakan buku baru?"

"Kerja sama dengan sekolah-sekolah di sekitar agar mereka mau meminjamkan sebagian koleksi bukunya pada waktu-waktu tertentu."

Martha tersenyum lebar. "Ide yang brilian, Dewi. Jadi, kita tidak perlu mengeluarkan banyak biaya untuk itu."

Dewi melanjutkan, "Selain itu, bisa juga dengan memanfaatkan internet untuk mengakses buku-buku digital yang bisa dibaca bersama. Banyak situs yang menyediakan e-book gratis yang bisa diakses oleh anak-anak."

"Tentu, itu bisa menjadi solusi yang baik," jawab Martha. "Tapi bagaimana dengan sumber daya manusia? Kita butuh orang yang bisa membantu mengelola taman baca ini."

"Ini perlu kerja sama dengan karang taruna setempat. Mereka bisa menjadi relawan untuk menjaga taman baca dan membacakan buku secara bergantian," saran Dewi.

Martha mengangguk dengan penuh semangat. "Kamu benar-benar punya banyak ide bagus, Dewi. Thanks, ya. Aku merasa lebih optimis sekarang."

"My pleasure, Tha. Kita memang perlu menghidupkan semangat gotong-royong dan kepedulian terhadap pendidikan anak-anak di sekitar kita. Dengan usaha bersama, kita pasti bisa menciptakan lingkungan belajar yang lebih baik untuk mereka," kata Dewi dengan penuh keyakinan.

"Tapi, Wi. Kalau kuamati, sepertinya anak-anak segan, ya, masuk perpustakaan sekolah? Padahal, kan, banyak buku bagus. Apakah perpustakaan sekolah kurang menarik?"

"Benar," kata Dewi. "Perpustakaan sekolah sering kali terlalu formal dan kurang menarik bagi anak-anak. Mereka perlu menciptakan lingkungan yang lebih nyaman dan menarik, dengan menyediakan berbagai macam buku yang sesuai dengan minat anak-anak dan area membaca yang nyaman. Sekali-sekali, sekolah perlu meniru kegiatan interaktif yang dilakukan taman baca. Dengan begitu, perpustakaan sekolah bisa menjadi tempat yang menyenangkan dan memikat bagi anak-anak."

"Kamu benar. Aku akan coba membicarakan hal ini dengan kepala sekolah anakku tentang hal ini. Terima kasih, Dewi."

Dewi mengangguk. "Senang bisa membantu, Martha."

Percakapan mereka berlanjut dengan hangat, membahas lebih jauh tentang pengalaman dan perkembangan anak-anak mereka tanpa ingin membandingkan satu sama lain. Martha merasa semakin yakin dan siap untuk menghadapi pilihan pendidikan bagi anak-anaknya. Sekarang, dia memahami bahwa apa pun pilihan yang diambil, yang terpenting adalah kebahagiaan dan kenyamanan anak-anak dalam proses belajar mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun