Jika dirunut dari TOA, sebuah merek dagang perusahaan eletronik asal Jepang yang di antaranya memproduksi pengeras suara itu baru menjualnya ke Indonesia pada 1960-an.Â
Namun peneliti Islam dari Belanda, GF Pijper, menyaksikan kehadiran pengeras suara ada sebelum 1960. Bahkan berdasarkan tulisan Kees van Dijk, Masjid Agung Surakarta menjadi masjid yang pertama di Indonesia yang menggunakan alat pengeras suara sejak 1930.
Jika melihat sekilas sejarahnya maka pengeras suara ini tidak termasuk alat unggulan dalam mendukung pelaksanaan ibadah di masjid-masjid Indonesia.Â
Artinya tanpa itu, masjid-masjid Indonesia tetap bisa melaksanakan tugasnya dengan baik. Maka, penggunaannya tentu bisa disesuaikan dengan kondisi saat ini.Â
Hal itu dengan melihat tujuan-tujuan lain yang lebih penting selain pertimbangan kelancaran ibadah umat Islam saja. Apa hal lain itu? Di antaranya tentang saling menghormati antarumat yang semestinya justru makin ditunjukkan oleh umat Islam saat Ramadan berlangsung.
Toh, ibadah lain yang tidak utama harus dilakukan dengan pengeras suara seperti doa, zikir dan tadarus dan lain-lainnya masih bisa dijalankan tanpa pengeras suara yang keras, nyaring dan membuat kebisingan serta menimbulkan gangguan sosial yang lain.Â
Melihat kebijakan Kota Blitar tentang pembatasan penggunaan pengeras suara mendorong harapan serupa pada kota-kota lain di Indonesia untuk juga memiliki perhatian yang sama agar polemik seputar pengeras suara dan ibadah Ramadan itu bisa diminimalisir. Semua demi kepentingan bersama ke depan yang lebih baik. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H