Mohon tunggu...
Dita Utami
Dita Utami Mohon Tunggu... Administrasi - ibu rumah tangga

ibu rumah tangga yang peduli

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Menahan" Pengeras Suara Selama Ramadan

8 Mei 2019   10:02 Diperbarui: 8 Mei 2019   10:07 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebuah masjid di wilayah Bambu Apus, Cipayung, Jakarta Timur yang juga melengkapi alat pengeras suara yang hanya digunakan hanya untuk kepentingan azan. (foto: dokumen pribadi) 

Ramadan waktunya beribadah makin kencang. Itu idealnya. Namun bukan berarti ibadah yang dilakukan membuat orang lain utamanya nonmuslim terganggu dengan pelaksanaannya. 

Selama ini pelaksanaan ibadah Ramadan itu tak selamanya berjalan mulus. Puasa yang di antaranya harus menahan diri, kerap tidak mendorong umat Islam yang melaksanakan puasa itu punya cara yang pas untuk menahan hal-hal yang tidak merugikan masyarakat.

Salah satu polemik seputar Ramadan yang masih ada hingga saat ini adalah tentang penggunaan pengeras suara untuk kegiatan ibadah selama bulan puasa. 

Memang, saat Ramadan penggunaan pengeras suara ini jelas makin meningkat sehingga muncullah masalah. Bahkan sebelum masuk Ramadan, penggunaan pengeras suara ini sebenarnya masih menimbulkan perdebatan. 

Padahal semula, pengeras suara untuk kepentingan azan, malah banyak kegiatan di luar itu justru menggunakannya seperti untuk doa, zikir atau tadarus Alquran.

Atas fenomena ini, Kota Blitar punya aturan khusus di Ramadan 1440 H ini. Agar warganya bisa beristirahat dengan tenang selama Ramadan, kegiatan tadarus Alquran yang menggunakan pengeras suara hanya dibatasi hingga pukul 22.00 WIB. Plt Kepala Satpol PP Kota Blitar, Juari, menyampaikan ini kepada takmir-takmir masjid di kota tersebut. 

Pertimbangannya, di bulan Ramadan, warga justru butuh untuk lebih banyak beristirahat selama menjalankan ibadah puasa sehingga membatasi penggunaan pengeras suara perlu ditempuh.

Langkah Kota Blitar dalam pembatasan penggunaan pengeras ini layak diapresiasi. Di tengah pelaksanaan Ramadan yang seharusnya makin banyak dimanfaatkan untuk meningkatkan ibadah personal, peraturan itu menunjukkan penerjemahan ibadah Ramadan itu sendiri dengan lebih baik. 

Unsur pengendalian diri dalam puasa ini mampu dilaksanakan umat muslim -setidaknya di Blitar- dalam hal-hal yang bisa diterima baik oleh umat Islam sendiri. Juga berdampak positif pula bagi nonmuslim yang selama ini mungkin terganggu dengan penggunaan pengeras suara yang menimbulkan kebisingan.

Menarik mundur dari sejarah masuknya pengeras suara ke Indonesia, semula alat ini belum dikenal di masjid-masjid di Indonesia dengan maraknya seperti sekarang. 

Jika dirunut dari TOA, sebuah merek dagang perusahaan eletronik asal Jepang yang di antaranya memproduksi pengeras suara itu baru menjualnya ke Indonesia pada 1960-an. 

Namun peneliti Islam dari Belanda, GF Pijper, menyaksikan kehadiran pengeras suara ada sebelum 1960. Bahkan berdasarkan tulisan Kees van Dijk, Masjid Agung Surakarta menjadi masjid yang pertama di Indonesia yang menggunakan alat pengeras suara sejak 1930.

Jika melihat sekilas sejarahnya maka pengeras suara ini tidak termasuk alat unggulan dalam mendukung pelaksanaan ibadah di masjid-masjid Indonesia. 

Artinya tanpa itu, masjid-masjid Indonesia tetap bisa melaksanakan tugasnya dengan baik. Maka, penggunaannya tentu bisa disesuaikan dengan kondisi saat ini. 

Hal itu dengan melihat tujuan-tujuan lain yang lebih penting selain pertimbangan kelancaran ibadah umat Islam saja. Apa hal lain itu? Di antaranya tentang saling menghormati antarumat yang semestinya justru makin ditunjukkan oleh umat Islam saat Ramadan berlangsung.

Toh, ibadah lain yang tidak utama harus dilakukan dengan pengeras suara seperti doa, zikir dan tadarus dan lain-lainnya masih bisa dijalankan tanpa pengeras suara yang keras, nyaring dan membuat kebisingan serta menimbulkan gangguan sosial yang lain. 

Melihat kebijakan Kota Blitar tentang pembatasan penggunaan pengeras suara mendorong harapan serupa pada kota-kota lain di Indonesia untuk juga memiliki perhatian yang sama agar polemik seputar pengeras suara dan ibadah Ramadan itu bisa diminimalisir. Semua demi kepentingan bersama ke depan yang lebih baik. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun