Di situlah Nurcholish sadar bahwa ita buta warna. Meski tidak total, tapi sulit menarik batas tegas antara warna pink dengan merah, oranye dengan kuning dan biru dongker dengan hitam.
Saat Nurcholis mudik lebaran, ibu kost menawarkan kamar itu pada orang lain, karena merasa terganggu dengan kebiasaan Nurcholish yang pulang larut malam. Maka saat Nurcholish balik ke Jakarta, ia gigit jari karena kamarnya telah ditempati orang lain. :(
Ia lalu membawa dua potong celana dan tiga lembar kemeja ke kantong plastik jinjing, dan tercenung, berfikir harus kemana.
Saat itu ia tergiang ucapan pamannya : ”Hanya orang yang tahan menderita yang bisa hidup di kota besar seperti Jakarta. Kalau tidak pulang kampung, maka jadi pengemis!” Dan Nurcholish memutuskan untuk tidak menjadi keduanya.
Ia lalu memutuskan untuk mencari teman alumni gontor yaitu AM Fatwa. Nasib tak berpihak padanya, sehingga begitu datang ke kost-an Fatwa, temannya itu sedang mudik lebaran.
Maka Nurcholish numpang di kost-an teman-temannya selama seminggu secara bergilir, agar tidak terlalu merepotkan satu orang saja. Dan lagi, dalam Islam, hukum bertamu maksimal 3 hari, jadi ia memegang petunjuk itu.
Fatwa saat itu kuliah di Ibnu Khaldun dan sudah aktif dalam organsasi Islam Masyumi sehingga banyak tokoh Masyumi yang dikenal dengan baik. Maka, setelah Fatwa balik ke Ciputat, ia mengajak Nurcholis tinggal di rumah salah satu pimpinan Masyumi yang tak ditempati. Rumah pejabat Masyumi itu hanya setingkat lebih baik dari kandang ternak.
Singkat cerita, dari kedekatan dengan Fatwa lah ia kemudian mengantarkan ia ke ke dunia organisasi masyumi.
Setelah beberapa bulan tinggal dengan Fatwa, Nurcholish pindah ke asrama Masjid Agung Al-Azhar atas ajakan Zaidi Malik, alumni Gontor yang kuliah di FKIP Muhammadiyah di Jalan Limau, Kebayoran. Ia tinggal di asrama tersebut cukup lama, kurang lebih 3 tahun ( 1963-1966).
Di sanalah Nurcholish berkenalan dengan Buya Hamka, tokoh Masyumi yang kala itu menjadi Imam Besar Masjid Agung Al-Azhar.
Ia menjalin hubungan baik dengan Buya Hamka, dan sering diberi kepercayaan menggantikannya memberi ceramah terutama sehabis shalat subuh.