Waktu ia diajari ibunya membaca surat Al Fatihah, Nurcholis minta agar kata “maliki” ( yawmiddin) dalam surat itu diloncati saja :”Mak, nggak atik maliki-maliki Mak!” ( Mak, tidak usah pake maliki-maliki, Mak). Cerita lucu di masa kecil sebagaimana cerita lucu dan unik dari seorang anak manusia tentunya...:)
Di masa kecil, beliau menempuh 2 pendidikan sekaligus. Di pagi hari sekolah di SR, dan sore harinya di Madrasah Al Wathaniyah.
Meski sekolah di 2 tempat sekaligus, rata-rata nilainya baik terutama ilmu hitung atau aljabar. Di saat yang sama, Nurcholish juga mampu dengan mudah menguasai pelajaran di madrasah seperti tata bahasa Arab. Di SR ia diajari ilmu bumi, dan ia berhasil menggambar peta Jawa Timur lengkap dengan kota-kotanya tanpa melihat atlas paralel dengan kemampannya menghafal beberapa kitab berbahasa Arab.
Jadi kecerdasan dan semangat belajar yang tinggi memang sudah terlihat sedari Nucholish kecil.
Prestasi demi prestasi diukir hingga menempuh pendidikan di Gontor. Saat itu sebenarnya Nurcholish ingin belajar bahasa Arab dan Inggris. Namun ia dimasukkan ke kelas ilmu pasti, meski tetap diajarkan bahasa.
Ia menyukai semua pelajaran, kecuali mengarang. Karena pada awalnya, ia menduga mengarang adalah mengkhayal. Maka ia bermalas-malasan di pelajaran itu, dan hanya menterjemahkan beberapa bagian dari buku berbahasa Inggris saat diminta oleh gurunya.
Sang guru yang mengetahui kebiasaan Nurcholish membiarkannya, dan tetap memberikan nilai tinggi. Sejak saat itulah Nurcholish sangat menyukai pelajaran mengarang, yang perlahan namun pasti ditingkatkan dengan mengarang dari pikirannya sendiri.
Rupanya, itulah titik balik Cak Nur menemukan hobinya mengarang atau menulis, yang kelak sangat membantunya dalam berbagai aktifitas. Menuangkan gagasan dan ide-idenya ke dalam makalah yang banyak dipakai di berbagai seminar dan pelatihan, serta bahan ceramah di masjid-masjid.
Yang kemudian juga hasil pemikiran dan gagasannya tersebar di berbagai media cetak dan elektronik hingga buku-buku akhirnya dipakai sebagai bahan kajian bagi banyak kalangan, generasi sekarang dan yang akan datang.
Saat menempuh pendidikan di Gontor, Cak Nur sudah fasih berbahasa Inggris, Arab, Jerman, dan Jepang.
Meski menempuh pendidikan dengan segudang prestasi membanggakan tadi, bukan berarti hidup serta merta menjadi mudah. Tidak demikian. Perlu perjuangan panjang dan tetap melalui onak dan duri sebagaimana yang di alami orang lain.