Lulus dari Gontor menuju kota Metropolitan untuk melanjutkan studi di IAIN Ciputat. Tidak ada sanak saudara satupun di Jakarta. Maka tahun-tahun pertama, Nurcholis tinggal berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Mula-mula ia tinggal di rumah Rahman Partosentono di kompleks IAIN bersama teman-teman sekelasnya.
Namun setelah uang yang kiriman dari kampung berhasil dikumpulkan, ia memilih pindah ke tempat kost yang terjangkau di daerah Legoso berlokasi di seberang jalan agak jauh dari kampus IAIN.
Sebuah rumah sederhana yang terbuat dari anyaman bambu/ gedek. Di sebelah rumah kost itu ada empang yang ditanami ikan lele.
Empang itu dibuat jamban kayu yang bentuknya mirip mimbar, sehingga jika mau buang air, ia menyebutnya ”khutbah” :(
Karena empang dekat sekali letaknya dengan rumah itu, maka saat malam banyak sekali nyamuk-nyamuk menyerbu penghuni rumah. Dan mungkin karena itu pula, Nurcholish sempat terkena malaria.
Dari situ Nurcholish merasa tidak nyaman dan pindah ke tempat Mahrus Amin, adik kelasnya di Pesantren Gontor.
Ia juga mengajar di madrasah yang kelak menjadi Pesantren Darun Najah, dimana Mahrus Amin kemudian menjadi pengasuhnya.
Karena jarak terlalu jauh dan memerlukan ongkos yang tinggi untuk ukuran kantongnya, maka saat Zarkasyi, teman seniornya menawarkan menggantikan kamar kost di daerah Kebayoran Baru karena ia sudah akan keluar, serta merta Nurcholish menerimanya.
Kamar kost itu sebenarnya adalah ruang garasi yang dibagi dua. Satu bagian depan untuk garasi oplet, sisanya untuk kamar tidur. Kamar sederhana itu cukup mewah buat Nurcholish karena ada dipan kayu dengan kasur kapuk yang sudah tipis.
Untuk membuat suasana baru, ia minta ijin untuk mengecat ulang dinding kamarnya. Dan si ibu kost menyetujui dengan warna cat : biru.
Ia mengecat sendiri dengan telaten hingga kamar baru siap ditempati. Tapi alangkah kagetnya ibu kos ketika melongok ke kamar, Nurcholish ternyata mengecatnya dengan warna ungu.