Di edisi tulisan sebelumnya, kita bisa menyimak bagaimana perjuangan Cak Nur dalam meniti hidup awal-awal kehidupan keluarganya yang diambil dari buku Api Islam – Nurcholish Madjid, Jalan Hidup Seorang Visioner tulisan Ahmad Gaus AF.
Perjalanan yang Menentukan
Negeri-Negeri Islam
Keinginan terbesarnya mengunjungi negeri-negeri di Timur Tengah akhirnya terwujud setelah kunjungannya ke Amerika Serikat.
Adapun biayanya didapat antara lain dari uang tunjangan perjalanan dinas dan uang saku yang didapatkan dari sponsornya CLS.
Maka, selesai kunjungan ke AS, ia langsung menuju Timur Tengah dengan melewati Perancis dan Inggris, lalu ke Turki. Penginapan yang dipilih adalah hotel-hotel murah.
Tiba di Istanbul Turki di sore menjelang malam. Setelah mendapat hotel murah, ia lelah dan tidur lebih cepat. Esok paginya, ia dikagetkan oleh suara azan yang cukup keras. Rupanya di samping hotel tempatnya menginap, dikumandangkan dalam bahasa Arab, dan bukan dalam bahasa Turki. Penaruh sekularisme Turki di bawah Kemal Attaturk yang salah satu wujudnya adalah larangan menyuarakan azan dalam bahasa Arab rupanya sudah tak berlaku lagi.
Singkat cerita, Nurcholish berhasil menemui kenalannya dokter Jawad, yang sebelumnya sempat bertemu di AS.
Jawad mempunyai hubungan persahabatan yang luas dengan aktivis Islam. Ia membawa Nurcholish ke perkumpulan untuk kebangkitan Islam melalui tarekat, sehingga berpakaian ala sufi, putih-putih. Nurcholis diminta berbicara mengenai Islam di Indonesia dalam bahasa Arab. Keesokan harinya pertemuan itu diberitakan di surat kabar setempat. Foto Nurcholish terpampang , ucapannya dikutip dalam bahasa Turki.
Ia juga ceramah di depan mahasiswa Universitas Istanbul dalam bahasa Inggris yang oleh Jawad, kemudian diterjemahkan ke bahasa Turki karena banyak dari hadirin yang tidak menguasai bahasa Inggris.
Demikian perjalanan itu berlanjut ke Lebanon, Suriah, Kuwait, Arab Saudi, Sudan dan Mesir dengan mengisi forum diskusi dan berbagai ceramah.
Perjalanan berakhir sebelum menemukan yang ia cari. Di negeri-negeri Islam yang dikunjungi, ia lebih sering berjumpa dengan orang-orang yang dikejar-kejar penguasa, organisasi-organisasi bawah tanah, yang tidak memberi harapan.
Maka, sesampainya di tanah air, ia merumuskan ideologi Islam versinya sendiri adalah Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP), yang kemudian menjadi pegangan resmi pelatihan kader-kader HMI di seluruh Indonesia.
Hingga kini, buku pedoman itu tetap digunakan oleh ribuan anak muda yang mendaftar menjadi anggota HMI, meski namanya telah diubah menjadi Nilai Identitas Kader ( NIK).
Setelah tidak menjadi ketua HMI, Nurcholish mulai menebus kesalahan pada keluarganya. Ia rajin menulis di berbagai media, mengisi waktu luangnya dengan mengantar istri ke pasar, menemani anak-anak bermain, membetulkan atap yang bocor, dst.
Dan perlahan-lahan perekonomian membaik dengan diangkatnya menjadi PNS, mengisi berbagai ceramah, lokakarya di dalam dan luar negeri dsb dll. Kegiatan itu masih ditambah dengan terus belajar di berbagai disiplin ilmu .
Kisah tentang awal pendirian Paramadina dst terlalu panjang jika dituangkan di sini. Jadi bisa dibaca di buku Api Islam untuk sahabat yang berminat untuk mengetahui lebih detail.
Di edisi penutup cerita, kita langsung menuju ke masa reformasi 1998.
Cak Nur dengan segala sumbangan pikirannya, dikenal sebagai guru bangsa. Pendapat-pendapatnya didengar oleh banyak pihak, baik dari kawan maupun lawan. Sesungguhnya lawan inipun tidak berarti musuh secara pribadi, namun perbedaan ideologi dan perbedaan cara pandang secara kebangsaan itulah yang saya sebut sebagai lawan, yang antara lain adalah Mantan Presiden Suharto ( almarhum) sendiri.
Dikisahkan, saat itu ( Mei 1998), Pak Harto memanggil Cak Nur untuk dimintai pendapat tentang berbagai domonstrasi mahasiswa menuntut reformasi yang sedang berlangsung panas. Lalu dengan halus Nurcholis Madjid mengatakan pada Presiden Soeharto bahwa ”Pengertian rakyat tentang reformasi adalah Bapak mengundurkan diri”. Saat itu Pak Harto masih bergeming.
Sementara itu, di luar istana negara, dan gedung DPR/MPR semakin tak menentu. Kerusuhan antar etnis telah mulai marak terjadi di segala penjuru tanah air. Melihat situasi keamanan semakin kritis, kembali Soeharto melakukan usaha terakhirnya mengundang 9 tokoh muslim, termasuk Nurcholis dan Abdurrahman Wahid, minus Amien Rais dalam rangka mengambil langkah-langkah cepat dalam situasi darurat.
Soeharto tetap masih pada pendirian awalnya membentuk Komite Reformasi, sementara kesembilan tokoh tersebut tidak ada yang setuju. Beberapa dari mereka mengusulkan jabatan kepresidenan sudah harus diserahkan ke wakil presiden saat itu, BJ Habibie. Namun Soeharto menolak karena masih meragukan kemampuan BJ Habibie menjadi nahkoda negeri yang sedang krisis parah itu.
Setelah jalan keluar tak juga ditemukan, kembali Nurcholis tampil dengan gagasan seperti sebelumnya dengan penjelasan bahwa reformasi tak akan berhasil apabila presiden tidak mundur : ”Anda harus menemukan cara untuk mengakhiri kepresidenan secara terhormat dan bermartabat”
Maka sebagaimana yang kita saksikan, tanggal 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan kepada publik pengunduran dirinya, dan sisa masa jabatan presiden selanjutnya akan dilanjutkan oleh Wakil Presiden BJ Habibi dengan komposisi kabinet baru yang akan dibentuk.
Di sini kita bisa lihat, peran Cak Nur sangat besar dalam fase reformasi ini. Bagaimanapun, Pak Harto telah mengundurkan diri dengan kesadarannya, dengan upaya mencegah memperluasnya tragedi di bumi ini.
Berhentinya pucuk pimpinan negeri ini bisa dianggap telah melalui proses khusnul khatimah.
Alhamdulillah, kita terhindar dari pergantian rezim berkuasa seperti halnya yang menimpa Sadam Husein dan Moammar Khadafi. Sebuah sejarah kelam yang sungguh mengerikan dan membuat bergidik setiap kita yang turut menyimaknya...:(:(
Maka sepatutnyalah kita memberikan apresiasi tertinggi pada tokoh-tokoh nasional yang berjiwa besar dengan sumbangan gagasan dan pikiran yang layak dijadikan teladan, sebagaimana Nurcholis Madjid.
Semoga segala jihad dan perjuangan menyalakan api Islam, menjadikan pemberat timbangan kebaikan di alam sana. Berbagai spirit hidup yang telah ditiupkan dan warisan berupa ilmu dalam tulisan-tulisannya yang berguna bagi generasi sekarang dan akan datang di negeri ini adalah amal jariyah yang tak pernah putus mengiringi kepergiannya.
Amien YRA.
(Sekian)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H