Perjalanan berakhir sebelum menemukan yang ia cari. Di negeri-negeri Islam yang dikunjungi, ia lebih sering berjumpa dengan orang-orang yang dikejar-kejar penguasa, organisasi-organisasi bawah tanah, yang tidak memberi harapan.
Maka, sesampainya di tanah air, ia merumuskan ideologi Islam versinya sendiri adalah Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP), yang kemudian menjadi pegangan resmi pelatihan kader-kader HMI di seluruh Indonesia.
Hingga kini, buku pedoman itu tetap digunakan oleh ribuan anak muda yang mendaftar menjadi anggota HMI, meski namanya telah diubah menjadi Nilai Identitas Kader ( NIK).
Setelah tidak menjadi ketua HMI, Nurcholish mulai menebus kesalahan pada keluarganya. Ia rajin menulis di berbagai media, mengisi waktu luangnya dengan mengantar istri ke pasar, menemani anak-anak bermain, membetulkan atap yang bocor, dst.
Dan perlahan-lahan perekonomian membaik dengan diangkatnya menjadi PNS, mengisi berbagai ceramah, lokakarya di dalam dan luar negeri dsb dll. Kegiatan itu masih ditambah dengan terus belajar di berbagai disiplin ilmu .
Kisah tentang awal pendirian Paramadina dst terlalu panjang jika dituangkan di sini. Jadi bisa dibaca di buku Api Islam untuk sahabat yang berminat untuk mengetahui lebih detail.
Di edisi penutup cerita, kita langsung menuju ke masa reformasi 1998.
Cak Nur dengan segala sumbangan pikirannya, dikenal sebagai guru bangsa. Pendapat-pendapatnya didengar oleh banyak pihak, baik dari kawan maupun lawan. Sesungguhnya lawan inipun tidak berarti musuh secara pribadi, namun perbedaan ideologi dan perbedaan cara pandang secara kebangsaan itulah yang saya sebut sebagai lawan, yang antara lain adalah Mantan Presiden Suharto ( almarhum) sendiri.
Dikisahkan, saat itu ( Mei 1998), Pak Harto memanggil Cak Nur untuk dimintai pendapat tentang berbagai domonstrasi mahasiswa menuntut reformasi yang sedang berlangsung panas. Lalu dengan halus Nurcholis Madjid mengatakan pada Presiden Soeharto bahwa ”Pengertian rakyat tentang reformasi adalah Bapak mengundurkan diri”. Saat itu Pak Harto masih bergeming.
Sementara itu, di luar istana negara, dan gedung DPR/MPR semakin tak menentu. Kerusuhan antar etnis telah mulai marak terjadi di segala penjuru tanah air. Melihat situasi keamanan semakin kritis, kembali Soeharto melakukan usaha terakhirnya mengundang 9 tokoh muslim, termasuk Nurcholis dan Abdurrahman Wahid, minus Amien Rais dalam rangka mengambil langkah-langkah cepat dalam situasi darurat.
Soeharto tetap masih pada pendirian awalnya membentuk Komite Reformasi, sementara kesembilan tokoh tersebut tidak ada yang setuju. Beberapa dari mereka mengusulkan jabatan kepresidenan sudah harus diserahkan ke wakil presiden saat itu, BJ Habibie. Namun Soeharto menolak karena masih meragukan kemampuan BJ Habibie menjadi nahkoda negeri yang sedang krisis parah itu.