Membandingkan Indonesia kini dan dulu pasti lah banyak perubahan yang berarti yang dapat kita lihat secara nyata. Bahwa pembangunan disana sini dapat kita lihat perkembangannya. Yang jelas tampak nyata ada lah perubahan dari jumlah populasi yang semakin meningkat.Â
Jika kita masuk ke gang-gang, lorong-lorong, penuh dengan manusia. Untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal pun, semua lahan beralih fungsi, yang tadinya sawah, ladang, bukit sekarang menjadi perumahan tempat tinggal untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin bertambah jumlahnya.Â
Berbeda dengan dulu, rumah besar-besar, kita masuk gang-gang sempit hanya penghubung jalan satu dengan lainnya alias jalan pintas, kini masuk ke gang-gang sempit kita akan bertemu dengan anak-anak, rumah-rumah kontrakan sempit, gerobak, becak, sampai ke sudut mana pun penuh manusia.Â
Apakah ini sebuah berkah atau masalah? Tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Bahwa sesungguhnya jumlah penduduk yang banyak merupakan Bonus SDM bagi sebuah negara. Kita jadi cepat membangun. Tetapi jika SDM nya berkualitas rendah, ini yang jadi sumber malapetaka bagi semua.Â
Pendidikan, perumahan, kesehatan, lapangan pekerjaan, skill, sanitasi yang rendah menjadi beban bagi masyarakat dan negara. Belum lagi masalah moral.Â
Masyarakat miskin cenderung tidak mementingkan Adab dan Moral, hidupnya sehari-hari adalah bagaimana bisa bertahan hidup, mendapatkan makan dan uang untuk membayar sewa rumah dan kehidupannya sehari-hari. Apa pun akan dilakukannya demi uang.
Problem Indonesia saat ini
Kecepatan pertumbuhan penduduk di Indonesia tidak diimbangi dengan kecepatan pemerataan pembangunan. Pembangunan yang terjadi selama ini bersifat jawa sentris. Adapun daerah-daerah lain berhadapan dengan korupsi. Pembangunan yang terjadi hanya sebatas lipstik polesan belaka, seremonial peletakan batu pertama dan gunting pita peresmian.Â
Setelah itu, gedungnya mangkrak, sekolahnya rubuh, jembatannya ambruk, jalannya berlubang, ya bodo amat, bikin proyek baru dan sebagainya dan seterusnya. Sementara kemiskinan dan kelahiran bertambah detik demi detik.
Kondisi seperti itu menyebabkan beberapa hal hilang dari negeri ini, yaitu:
Berproses vs Instan
Bangsa Indonesia kini sebagian besar masyarakatnya pengen mendapatkan sesuatu secara instan. Antiproses. Diperparah lagi dengan suguhan acara-acara televisi yang menunjukkan gampangnya menjadi tenar, kaya, sukses. Hanya joget-joget berani gila terus dapat uang jutaan.Â
Antri lomba nyanyi terus jadi idola, lalu main sinetron, film. Melawak-melawak konyol bawa pulang uang ratusan juta. Instan, instan dan instan. Berbeda dengan orang-orang zaman dulu, yang harus berproses berbulan-bulan, ditempa keadaan sulit, untuk mendapatkan kesuksesan dan kekayaan.
Tidak Menghargai Perbedaan
Ini yang semakin tergerus. Slogan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi satu jua, semakin jauh dari bangsa ini. Benarlah politik Belanda menjajah negeri ini dengan Devide et Impera, ada kampung jawa, kampung bugis, kampung keling, dikumpulkan dalam satu area, koloni, tidak bercampur baur satu dengan yang lain sehingga mudah untuk dipecahbelah.Â
Dan kini hal itu mencuat lagi, muncul istilah, Islam didiskreditkan, Cina menguasai perekonomian, Papua, Aceh, Batak, Kristen, Hindu didengungkan, dikotak-kotakkan, sehingga mudah diadudomba. Bahwa sesungguhnya perbedaan itu juga merupakan kekayaan, sumber kekuatan bangsa ini, kalau kita bisa memahaminya dengan tulus.Â
Kita bisa kuat ekonominya jika menggunakan falsafah orang Cina, kita kuat merantau jika menggunakan prinsip Bugis, jago berdagang seperti Padang, santun dan berfalsafah seperti Jawa, dengan dilandasi pondasi Agama Islam, Kristen, Hindu dan agama-agama yang kita yakini.Â
Tetapi sepertinya masyarakat sekarang kembali dapat terjajah dengan teknologi, semua ditelan bulat-bulat berita yang masuk melalui medsos, persis yang terjadi di zaman penjajahan Belanda.
Tidak Menghormati
Rasa hormat dan bangga kita telah luntur seiring dengan perkembangan zaman. Adab menunduk dihadapan orang yang lebih tua hilang. Berdebat dengan suara meninggi sambil menunjuk-nunjuk orang yang lebih tua dipertontonkan di layar kaca bahkan sampai menyiram lawan debat. Arogan. Superior. Merasa Hebat, Benar sendiri. Itu lah yang terbangun di negeri ini sekarang.Â
Cium tangan guru dilakukan murid-murid dengan menempelkannya ke pipi atau tangannya sendiri yang diciumnya. Dan yang latahnya, demi pencitraan politik ada yang tetiba mencium tangan pejabat yang seharusnya tidak pantas dilakukan. Jadi makna "cium tangan" itu kini hilang.Â
Tidak ada lagi rasa hormat. Begitu majunya Jepang, mereka masih membungkukkan badannya berhadapan dengan orang lain. Sopan. Hormat. Santun. Kalem.
Tepa selira, Gotong royong, Hormat menghormati, ah kata-kata sifat itu mungkin kini hanya tinggal kenangan di pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) atau Budi Pekerti zaman bahula. Slogan-slogan kini yang kerap kita temukan adalah Anarkis, Radikal, Amuk dan gejolak-gejolak jiwa amarah.Â
Ketika berbeda pendapat, langsung nyetatus, emosi, nunjuk-nunjuk. Ketika membaca status orang, tersinggung, baper (terbawa perasaan), padahal yang nulis "mungkin" sebagai pengingat untuk dirinya, menyindir saudaranya, orang yang dilihatnya di jalan atau hanya mengutip quote atau tulisan yang ditemukannya di internet.Â
Tapi yang emosi kita, yang baper kita, yang rusak jiwanya kita. Ada apa dengan kita saat ini? Emosian? Tidak diperhatikan, ngambek. Dicuekin, ngamuk. Didebat, demo anarkis, geruduk kantor, merusak fasilitas umum
Apakah semua itu bisa berubah atau diubah? Tentu bisa. Caranya? Asal masih ada Iman di dada. Sila pertama Pancasila itu Ketuhanan Yang Maha Esa. Indonesia meyakini bahwa rakyatnya memiliki Tuhan. Meyakini adanya Sang Khalik. Selama dia masih takut akan Sang Pencipta, maka sikapnya tentu bisa berubah. Tetapi saat ini kondisi kefakiran Iman kita semakin parah. Iman bukan fashion.Â
Iman bukan ditunjukkan dengan cadar, celana cingkrang, jidat hitam, kupluk, gamis syar'i, kalung salib, dupa dan simbol-simbol rohani lainnya. Itu hanya lah fashion tak ubahnya hanya lipstik, pemanis saja. Sesungguhnya Takut akan Tuhan itu lah sejatinya Iman. Ketika mau korupsi, ingat Tuhan.Â
Mau mengirim Hoax, ingat Tuhan. Melempar bom molotov, ingat Tuhan. Memutilasi, ingat Tuhan. Selalu Tuhan, Tuhan, Tuhan. Sehingga prilaku kita selalu terjaga. Kalau saya maki dia, dia pasti akan memaki saya bahkan bisa lebih parah balasannya. Bukan tidak sedikit kasus kematian hanya perkara senggolan, tatapan, uang parkir 2000.Â
Karena Emosi mengalahkan Iman. Tuhan dipinggirkan. Dia sholat, dia ke gereja, dia tahajud, baca quran, dzikir, puasa senin kamis, bahkan pengajar hukum, ustad, mengerti hal baik dan buruk, tapi kok tiba-tiba brutal, korupsi, memutilasi dan hal-hal diluar dugaan seperti Joker yang lagi ngehits sekarang.Â
Karena ibadah yang dilakukannya selama ini tak lebih sebatas rutinitas belaka, KTP doang, seperti makan, minum, olahraga, senggama tanpa makna. Lapar, ya makan. Haus, minum. Birahi, ML. Begitu juga ibadah, terbangun malam, tahajud, pas pagi jelang siang dhuha, senggang dzikir, baca quran semua sebatas hafalan, bacaan, rutinitas belaka.Â
Beda dengan murid shaolin atau tai chi yang berpuluh tahun melakukan gerakan itu-itu saja tapi membekas di hati dan prilakunya, bisa menahan diri dan mengendalikan emosinya. Begitu juga dengan santri dan murid penginjil yang membekas di prilaku sehari-hari. Bahwa ibadah bukan sebatas ritual belaka, bacaan, syair, hafalan tanpa bisa mengontrol, mengendalikan diri dari emosi yang meletup-letup.
Semoga kita bisa mengembalikan kekayaan negeri ini seperti masa lalu dengan bonus SDM dan keragaman SDA yang ada. Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H