Antri lomba nyanyi terus jadi idola, lalu main sinetron, film. Melawak-melawak konyol bawa pulang uang ratusan juta. Instan, instan dan instan. Berbeda dengan orang-orang zaman dulu, yang harus berproses berbulan-bulan, ditempa keadaan sulit, untuk mendapatkan kesuksesan dan kekayaan.
Tidak Menghargai Perbedaan
Ini yang semakin tergerus. Slogan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi satu jua, semakin jauh dari bangsa ini. Benarlah politik Belanda menjajah negeri ini dengan Devide et Impera, ada kampung jawa, kampung bugis, kampung keling, dikumpulkan dalam satu area, koloni, tidak bercampur baur satu dengan yang lain sehingga mudah untuk dipecahbelah.Â
Dan kini hal itu mencuat lagi, muncul istilah, Islam didiskreditkan, Cina menguasai perekonomian, Papua, Aceh, Batak, Kristen, Hindu didengungkan, dikotak-kotakkan, sehingga mudah diadudomba. Bahwa sesungguhnya perbedaan itu juga merupakan kekayaan, sumber kekuatan bangsa ini, kalau kita bisa memahaminya dengan tulus.Â
Kita bisa kuat ekonominya jika menggunakan falsafah orang Cina, kita kuat merantau jika menggunakan prinsip Bugis, jago berdagang seperti Padang, santun dan berfalsafah seperti Jawa, dengan dilandasi pondasi Agama Islam, Kristen, Hindu dan agama-agama yang kita yakini.Â
Tetapi sepertinya masyarakat sekarang kembali dapat terjajah dengan teknologi, semua ditelan bulat-bulat berita yang masuk melalui medsos, persis yang terjadi di zaman penjajahan Belanda.
Tidak Menghormati
Rasa hormat dan bangga kita telah luntur seiring dengan perkembangan zaman. Adab menunduk dihadapan orang yang lebih tua hilang. Berdebat dengan suara meninggi sambil menunjuk-nunjuk orang yang lebih tua dipertontonkan di layar kaca bahkan sampai menyiram lawan debat. Arogan. Superior. Merasa Hebat, Benar sendiri. Itu lah yang terbangun di negeri ini sekarang.Â
Cium tangan guru dilakukan murid-murid dengan menempelkannya ke pipi atau tangannya sendiri yang diciumnya. Dan yang latahnya, demi pencitraan politik ada yang tetiba mencium tangan pejabat yang seharusnya tidak pantas dilakukan. Jadi makna "cium tangan" itu kini hilang.Â
Tidak ada lagi rasa hormat. Begitu majunya Jepang, mereka masih membungkukkan badannya berhadapan dengan orang lain. Sopan. Hormat. Santun. Kalem.