Mohon tunggu...
Yemima Christiany
Yemima Christiany Mohon Tunggu... -

sebuah mawar kaca atau dandelion baja

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dandelion . .

9 Oktober 2010   05:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:35 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Dandelion...

Begitulah akan aku namakan dirimu jika kau harus terlahir

Sebuah potret kenangan akan suatu harapan

Sebuah memoar kasih sayang yang dulu tertumpah

Sebuah hangat yang ingin aku miliki sendiri

Begitulah akan aku namakan dirimu jika kau harus terlahir

Karena akan seputih dan serapuh benih bunga dandelion dirimu

Dengan selonjor tangkai hijau yang rawan

Karena akan banyak yang ingin bermain bersama dirimu

Bersenang-senang dengan ketaktentuan arahmu yang tertiup kesana dan kemari

Bertawa riang dengan ketersesatanmu

Dandelion...

Begitulah akan aku namakan dirimu jika kau harus terlahir

Maka,

Aku putuskan untuk membesarkanmu sendiri.

Di tempat yang rindang engkau akan tumbuh

Di dalam suatu kehangatan yang mengisolasi engkau akan aku bekap erat

Di sana, di antara liuk-liuk pembuluh darah yang bagai beludru merah

Di dalam rahimku.

Hingga engkau menjadi tua dan musnah.

Sekian kali lipat engkau selalu lekas bertumbuh

Menjadi gadis yang hanyalah milikku

Ada bintil yang adalah mata yang elok

Ada mungil yang adalah jemari yang menari

Ada lipatan yang adalah bibir yang mengatup-ngatup gemas

Meskipun dunia kita terbalik, aku akan menjagamu

Dibalik warna yang hanya terkasatkan sebagai putih yang kelabu di atas hitam.

Ketika dirimu bayi aku akan menyusuimu setiap saat dalam nyeri

Memelukmu erat dalam dadaku sambil bersenandung hingga engkau pulas

Ketika dirimu kanak-kanak aku akan mengajarimu mengeja

Memelukmu erat dalam dadaku sambil mengindahkanmu saat engkau berhasil

Ketika dirimu remaja aku akan membantumu membersihkan celanamu yang ternoda darah

Memelukmu erat dalam dadaku sambil mengecup keningmu

Ketika dirimu menjadi dewasa aku akan menemanimu

Memelukmu erat dalam dadaku sambil menjalinkan nyanyian doa

Ketika dirimu ingin melecut dari lubang kehidupan ini,

Aku tidak sanggup melakukannya.

Aku terlalu menyayangi dirimu

Maka,

Aku putuskan untuk membesarkanmu sendiri.

Karena Dandelion adalah namamu ketika engkau harus dilahirkan

Sang pewaris luka oleh kutuk ayahmu

Berwarna putih dan rapuh seperti benih bunga dandelion, dengan selonjor tangkai hijau yang rawan

Menjadi permainan, kesenangan dan tertawaan karena ketaktentuan arahmu

Aku tidak mau luka itu menyayat senyummu

Darah itu menitik di sudut matamu

Aku tidak mau engkau berteman dengan kapas yang kau gunakan untuk membasuh hatimu dengan obat merah setiap hari

Maka,

Aku putuskan untuk membesarkanmu sendiri.

Menjagamu di dalam dunia yang meskipun terbalik.

Luka itu biar berjangkit di otak dan selangkaku sendiri

Menjadi penyakit ganas yang akan menggerogotiku.

**Yang kuingat, sore itu sepulang bekerja aku berjalan gontai. Kepalaku sarat dengan pikiran-pikiran yang menggeledak semrawut. Aku letih. Sementara kandunganku yang sudah membesar ini terus bergejolak. Mungkin lapar. Dari dalam kantor sudah riuh terdengar bunyi klakson angkutan umum dijalanan yang padat di luar sana. Aku sangsi akan bisa mampir di warung Mbak Ida untuk membeli mie instan pada jam-jam pulang kerja yang sepadat ini. Aku sangsi akan bisa pulang tepat waktu untuk segera memberi asupan pada janinku ini. Aku sangsi masihkah beberapa peser yang tersisa di akhir bulan ini cukup untuk semua yang terlintas di pikiranku tadi. Sekelebat aku teringat, aku sangsi sudahkah ayahnya dan pencumbunya lenyap dari ruang tidurku semenjak pagi tadi. Atau seperti kemarin, mereka bergelayut di ruang tengah. Aku tergesa menuruni anak tangga, dan air liur Pak Karmin, supir atasanku, yang licin tidak sengaja memelesetkanku. Aku telentang menyangga pinggangku. Aku meringis. Ada merah yang membentuk alur di paha dalamku menuju lantai. Aku berdarah. Sambil menahan nyeri aku menggigit bibirku. Sambil menahan nyeri aku menyambung nafasku. Lima menit. Sepuluh menit. Limabelas menit. Dua puluh menit, aku masih telentang di atas genangan merah. Sementara daya dan upayaku telah habis. Luka itu berjangkit di tubuhku. Ganas dan menggerogoti hidupku. Hanya itu yang kuingat saat menyaksikan pemakamanku.**

Dandelion...

Begitulah akan aku namakan dirimu jika kau harus terlahir

Surabaya

Sabtu, 31 Juli 2010

15:56

Mima

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun