Mohon tunggu...
Dipa Nugraha
Dipa Nugraha Mohon Tunggu... -

Dosen UMS, aktivis dialog lintas agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kesan (bukan Balasan) atas "Surat Terbuka untuk Tasniem Fauzia" Karangan Dian Paramita

4 Juli 2014   02:26 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:35 1121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah membaca pernyataan, kisah, dan kesaksian tersebut semoga Mita dapat membantu penyebaran kekompleksan peristiwa 1998. Sejarah yang getir dan layak disematkan keyakinan bahwa ada intrik yang terlalu ruwet mengenai kisah pahit itu. Bahkan keruwetan mengenai pemberhentian dengan hormat atas diri Prabowo yang menjadi polemik juga telah dijelaskan oleh Marwah Daud Ibrahim lewat surat nomor 62/ABRI/1998 yang beritanya dapat disimak di sini.

Ditakuti vs Disegani

Membaca surat terbuka Mita mengenai pengamsalan memilih pemimpin dalam frame ditakuti atau yang disegani dengan merujuk kepada grup band The Moffats, band asing asal Kanada adalah menarik. Tambahan pula, Mita menggunakan argumen tambahan mengenai pemilihan pemimpin yang ditakuti atau yang disegani berdasar pengamatan dan penyimpulannya bahwa jaman sekarang adalah jaman yang ramah. Saya jadi bertanya-tanya ketika membaca surat terbuka Mita. Adakah ia menunjukkan definisi yang jelas pemimpin yang model apakah yang disegani itu?

Jikalau ia masih merasa bahwa dunia yang ia tinggali adalah dunia yang selalu damai dan semua masalah antarnegara selalu bisa diselesaikan dengan jalur diplomasi. Beruntunglah ia melihat keadaan seperti itu. Namun Mita menjadi tidak pas untuk melupakan bahwa perang masih sedang terjadi di bagian lain di dunia ini. Ini artinya di jaman sekarang permasalahan antarnegara masih saja ada yang menyelesaikannya lewat jalur perang bahkan di dalam konteks berdiplomasipun  semangat kekeluargaan tidaklah cukup. Disadari atau tidak, diplomasi dilakukan oleh negara-negara di dunia dengan menggunakan pendekatan lobi, embargo, sadap menyadap, gertak sambal, dan kadang berdiplomasi sembari unjuk kekuatan perang. Mungkin terdengar tidak nyaman di telinga kita akan tetapi kadang keseganan timbul dari adanya posisi tawar yang berhasil diunjukkan.

Menyepadankan negara kita yang republik demokratis dan berdasar Pancasila dengan negara Korea Utara adalah sesuatu yang tidak dapat saya pahami. Sepanjang pengetahuan saya yang terbatas, Korea Utara adalah negara republik sosialis komunis. Pergantian kepala negara-nya saja terjadi lewat proses yang tidak demokratis. Mengenai ketidakmampuan PBB untuk masuk ke dalam Korea Utara adalah karena peran China sebagai penyokong utama pemerintahan Kim Jong Un di Korea Utara. Jikalau Mita tertarik untuk membaca mengenai kekompleksan kisah China dan peran PBB di Korea Utara maka silakan dibaca misalnya pada berita berikut ini.

Jadi jika hendak berkaca pada situasi dunia sekarang ini maka memilih pemimpin yang disegani karena paham bagaimana menaikkan posisi tawar yang dapat diunjukkan kepada negara lain dan paham geopolitik dunia adalah penting. Hal ini bukan berarti negara kita diarahkan untuk menjadi sebuah negara yang 'suka bikin rame' namun kompetensi tersebut harus dimiliki oleh pemimpin sebuah negara dengan kekayaan alam (potensi SDA) dan jumlah penduduk (potensi SDM) yang luar biasa ini.

Jokowi dan Bangsa Asing

Menuruti pemahaman terbatas saya mengenai diakui, disegani, dan menginspirasi maka fenomena Jokowi sebagaimana dilihat oleh Mita lewat pembelaan daftar 50 pemimpin terbaik di dunia adalah terasa tidak pas jikalau Mita menerima daftar itu tanpa mempertanyakan tolok ukur yang dipakai Fortune.

Ambil contoh Dalai Lama. Ia adalah pemimpin umat Budha Tibet dalam pengasingan. Dalai Lama terpaksa melarikan diri dari negaranya saat China 'menganeksasi' Tibet. Ia adalah pemimpin rakyat Tibet yang inspirasional dan kita tidak mungkin mengingkarinya. Namun masalahnya adalah pendekatan pasifis yang digunakan Dalai Lama terbukti kurang kuat di dalam mengimbangi kekuatan politik dan militer China. Tibet hingga kini masih saja di bawah kekuasaan China.

Kemudian jikalau hendak juga mengambil Bill Clinton sebagai teladan kepemimpinan maka ada sedikit dilema memang. Bill Clinton memang mantan presiden Amerika Serikat yang cerdas dan termasuk hebat di dalam kebijakan ekonominya. Akan tetapi perlu juga kita ketahui bahwa Bill Clinton adalah seorang presiden yang mengalami impeachment pada 19 Desember 1998 karena penyalahgunaan kekuasaan.

Lebih lanjut, saat Mita hendak merujuk Aung San Suu Kyi sebagai 50 pemimpin terbaik dunia di dalam majalah Fortune maka problem juga muncul. Suu Kyi harus diakui adalah pejuang dan pemimpin usaha demokratisasi di Myanmar yang memiliki daya tahan luar biasa. Anak jenderal militer Myanmar Aung San ini tabah di dalam menghadapi tekanan junta militer yang berkuasa di Myanmar. Ia wanita yang hebat. Meskipun demikian, Suu Kyi bukan tanpa cela. Suu Kyi terlihat tidak terlalu vokal ketika pembantaian terhadap muslim di Rohingya terjadi. Mita dapat merujuk kepada misalnya berita ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun