Mohon tunggu...
Dio Sinaba
Dio Sinaba Mohon Tunggu... -

Nulis isi kepala, biar gak penuh dan bisa keiisi lagi. :) Kuli tinta wanna be.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pencatut – Syaratnya dan Semangat Serba Instan.

29 November 2015   12:54 Diperbarui: 29 November 2015   12:54 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Akhir-akhir ini, selain nama Setya Novanto dan Sudirman Said memang sedang santer terdengar di berbagi media. Namun, tulisan ini tidak sedang mengulas hebohnya kedua tokoh politik kondang itu. Nama keduanya sering terdengar bersama kata catut, pencatut dan mencatut. Ya, kata catut memang sedang naik daun. Kata tersebut sering menghiasi headline media cetak dan elektronik. Tetapi, kata catut jarang kita dengar, maka bisa jadi banyak yang bertanya tentang arti kata catut itu sendiri.

            Padanan kata catut dalam bahasa Inggris adalah profiteer. Jika diterjemahkan secara literatur ini berarti orang yang mencari keuntungan. Namun, hal ini berbeda dengan pedagang yang mencari keuntungan dengan cara jujur. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian ke-3 dan ke-4, mencatut adalah memperdagangkan sesuatu dengan cara yang tidak sewajarnya dan mengambil untung sebanyak-banyaknya; mencari keuntungan dengan jalan tidak sah, mencari keuntungan dengan jalan tidak sah menyalahgunakan (kekuasaan, nama orang, jabatan, dan sebagainya) untuk mencari untung: banyak orang yang ~ nama pejabat untuk kepentingan pribadi.

Dalam dunia ekonomi istilah ini sering digunakan adalah pemburu rente. Termasuk diantara mereka adalah pedagang bensin botolan yang mengambil untung dari langkanya bensin di SPBU. Contoh yang sering juga kita jumpai adalah para calo tiket bis yang sering beraksi menjelang mudik.

Penerapan kata catut tidak hanya dalam hal jual-beli. Ada juga yang mencatut keuntungan dari kebijakan atau peraturan yang berlaku disuatu daerah. Kita tentu tahu istilah, Joki 3 in 1, merekapun masuk dalam jajaran profiteer. Dan, yang paling popular belakangan ini mencatut nama seseorang atau kelompok yang berkuasa, untuk menjamin demi mulusnya usaha milik client. Perlu dicatat bahwa apapun bentuk casingnya, intinya tetap sama, memanfaat situasi dan kondisi untuk mencari laba.

Syarat menjadi pencatut

        Ada beberapa persyaratan yang diperlukan untuk menjadi seorang pencatut atau tukang catut. Syarat utama adalah bermuka tembok. Kemampuan menahan malu wajib diperlukan dalam profesi ini. Bayangkan anda menatap wajah petugas di SPBU, dengan dahi berkerut, ketika melihat anda memegang jerigen besar saat bensin sedang langka. Belum lagi para pengendara mobil atau motor dalam antrian panjang dibelakang anda. Tentu diperlukan keberanian ekstra untuk menginstruksikan sang petugas agar mengisi bensin jerigen anda.

           Syarat kedua adalah pandai bersilat lidah,. Seorang tukang catut tentu adalah seorang pandai membujuk dan merayu. Tentu bukan pada lawan jenis, namun pada petugas atau atasan yang harus dihadapinya ketika beraksi. Bayangkan seorang calo yang ingin membeli tiket dalam jumlah yang tidak wajar. Secara otomatis, petugas tiket tentu tidak akan memberikan secara mudah kepada sang calo. Disinilah kemampuan berkata-kata sang calo diuji. Berbagai teknik persuasi akan keluarkan demi tiket yang diincarnya. Terkadang dalam tahap ini seorang pencatut perlu jurus-jurus ampuh. Jurus “sorong amplop” adalah salah satu diantaranya. Menjalin persahabatan dengan si petugas juga adalah jurus yang mempan.

           Berjiwa petarung adalah syarat yang ketiga. Ini bukan berarti pencatut adalah seorang tukang pukul atau jago berkelahi, walau terkadang ini memang dibutuhkan. Jiwa petarung yang dimaksud adalah semangat memenangkan persaingan dengan sesama pencatut. Jika anda pernah berkunjung ke daerah yang menerapkan aturan mengemudi 3 in 1 (atau setidaknya menonton di televisi) anda akan menyadari hal ini. Di sepanjang jalur-jalur tersebut, ada banyak joki 3 in 1 yang menawarkan jasanya untuk membantu anda untuk mengakali petugas lalu-lintas. Terkadang, jumlahnya lebih dari 10! Maka, kita tentu bisa merasakan atmosfer persaingan ketat diantara joki-joki ini.

Mental masyarakat kita.

            Ketiga syarat yang telah diulas diatas sebenarnya adalah gambaran dari kondisi mental masyarakat Indonesia. Kasus pencatutan nama Presiden, yang ramai dibicarakan belakangan ini, hanyalah puncak gunung es yang muncul ke permukaan. Bukannya merintis suatu usaha dari nol, masyarakat kita terbiasa “aji mumpung” di tengah suksesnya orang lain atau situasi tertentu. Kita jadi tidak ingin merepotkan diri melakukan sesuatu yang membutuhkan upaya atau kerja keras untuk memperoleh hasil. Semangat serba instan telah merasuk ke diri masyarakat kita.

Ini menjelaskan mengapa di Indonesia yang serba instan dan cepat, laris manis lakunya. Mie instan telah lama dipercaya sebagai yang menjadi dagangan paling cepat laku di warung-warung. Dijalan raya, para pengendara tak lagi malu untuk melanggar lampu merah atau memotong jalur agar cepat sampai tujuan. Dalam dunia pendidikan, banyak mahasiswa lebih percaya pada joki skripsi daripada bekerja keras menyusun sendiri skripsinya. Ini juga menjelaskan mengapa profesi sebagai joki jawaban soal UN tak lekang oleh waktu. Untuk memuaskan syahwatnya, para pemuda lebih memilih cara instan, menyewa jasa wanita PSK (Pekerja Seks Komersial) daripada menikah dan membina rumah tangga sendiri.

Maka, tak heran mengapa sering label mental kerupuk atau mental tempe disematkan pada masyarakat kita, masyarakat Indonesia. Selama kondisi mental masyarakat kita ini belum diperbaiki, maka profesi profiteer seperti calo tiket, joki 3 in 1 dan lain-lain akan terus bertumbuh subur di negeri kita ini.

Memang tidak ada solusi mutlak bagi kondisi mental masyarakat kita ini. Karena menyangkut berbagai aspek kehidupan menyelesaikannya secara tuntas, tentu akan lebih rumit dari mengurai benang kusut. Namun, penulis mengingat ada sebuah peribahasa Cina kuno mengatakan “Perjalanan seribu mil selalu dimulai dengan langkah pertama”. Ya, perlu kita sadari bahwa bahkan seorang Lionel Messi pun pernah belajar menendang bola dan seorang Steve Jobs pun juga pernah belajar berbicara. Maka mari mulai dari sendiri, mulailah bekerja. Tekuni itu. Banggalah pada hasil kerja keras dari keringat sendiri, bukan keringat orang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun