Akhir-akhir ini, selain nama Setya Novanto dan Sudirman Said memang sedang santer terdengar di berbagi media. Namun, tulisan ini tidak sedang mengulas hebohnya kedua tokoh politik kondang itu. Nama keduanya sering terdengar bersama kata catut, pencatut dan mencatut. Ya, kata catut memang sedang naik daun. Kata tersebut sering menghiasi headline media cetak dan elektronik. Tetapi, kata catut jarang kita dengar, maka bisa jadi banyak yang bertanya tentang arti kata catut itu sendiri.
Padanan kata catut dalam bahasa Inggris adalah profiteer. Jika diterjemahkan secara literatur ini berarti orang yang mencari keuntungan. Namun, hal ini berbeda dengan pedagang yang mencari keuntungan dengan cara jujur. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian ke-3 dan ke-4, mencatut adalah memperdagangkan sesuatu dengan cara yang tidak sewajarnya dan mengambil untung sebanyak-banyaknya; mencari keuntungan dengan jalan tidak sah, mencari keuntungan dengan jalan tidak sah menyalahgunakan (kekuasaan, nama orang, jabatan, dan sebagainya) untuk mencari untung: banyak orang yang ~ nama pejabat untuk kepentingan pribadi.
Dalam dunia ekonomi istilah ini sering digunakan adalah pemburu rente. Termasuk diantara mereka adalah pedagang bensin botolan yang mengambil untung dari langkanya bensin di SPBU. Contoh yang sering juga kita jumpai adalah para calo tiket bis yang sering beraksi menjelang mudik.
Penerapan kata catut tidak hanya dalam hal jual-beli. Ada juga yang mencatut keuntungan dari kebijakan atau peraturan yang berlaku disuatu daerah. Kita tentu tahu istilah, Joki 3 in 1, merekapun masuk dalam jajaran profiteer. Dan, yang paling popular belakangan ini mencatut nama seseorang atau kelompok yang berkuasa, untuk menjamin demi mulusnya usaha milik client. Perlu dicatat bahwa apapun bentuk casingnya, intinya tetap sama, memanfaat situasi dan kondisi untuk mencari laba.
Syarat menjadi pencatut
Ada beberapa persyaratan yang diperlukan untuk menjadi seorang pencatut atau tukang catut. Syarat utama adalah bermuka tembok. Kemampuan menahan malu wajib diperlukan dalam profesi ini. Bayangkan anda menatap wajah petugas di SPBU, dengan dahi berkerut, ketika melihat anda memegang jerigen besar saat bensin sedang langka. Belum lagi para pengendara mobil atau motor dalam antrian panjang dibelakang anda. Tentu diperlukan keberanian ekstra untuk menginstruksikan sang petugas agar mengisi bensin jerigen anda.
Syarat kedua adalah pandai bersilat lidah,. Seorang tukang catut tentu adalah seorang pandai membujuk dan merayu. Tentu bukan pada lawan jenis, namun pada petugas atau atasan yang harus dihadapinya ketika beraksi. Bayangkan seorang calo yang ingin membeli tiket dalam jumlah yang tidak wajar. Secara otomatis, petugas tiket tentu tidak akan memberikan secara mudah kepada sang calo. Disinilah kemampuan berkata-kata sang calo diuji. Berbagai teknik persuasi akan keluarkan demi tiket yang diincarnya. Terkadang dalam tahap ini seorang pencatut perlu jurus-jurus ampuh. Jurus “sorong amplop” adalah salah satu diantaranya. Menjalin persahabatan dengan si petugas juga adalah jurus yang mempan.
Berjiwa petarung adalah syarat yang ketiga. Ini bukan berarti pencatut adalah seorang tukang pukul atau jago berkelahi, walau terkadang ini memang dibutuhkan. Jiwa petarung yang dimaksud adalah semangat memenangkan persaingan dengan sesama pencatut. Jika anda pernah berkunjung ke daerah yang menerapkan aturan mengemudi 3 in 1 (atau setidaknya menonton di televisi) anda akan menyadari hal ini. Di sepanjang jalur-jalur tersebut, ada banyak joki 3 in 1 yang menawarkan jasanya untuk membantu anda untuk mengakali petugas lalu-lintas. Terkadang, jumlahnya lebih dari 10! Maka, kita tentu bisa merasakan atmosfer persaingan ketat diantara joki-joki ini.
Mental masyarakat kita.
Ketiga syarat yang telah diulas diatas sebenarnya adalah gambaran dari kondisi mental masyarakat Indonesia. Kasus pencatutan nama Presiden, yang ramai dibicarakan belakangan ini, hanyalah puncak gunung es yang muncul ke permukaan. Bukannya merintis suatu usaha dari nol, masyarakat kita terbiasa “aji mumpung” di tengah suksesnya orang lain atau situasi tertentu. Kita jadi tidak ingin merepotkan diri melakukan sesuatu yang membutuhkan upaya atau kerja keras untuk memperoleh hasil. Semangat serba instan telah merasuk ke diri masyarakat kita.
Ini menjelaskan mengapa di Indonesia yang serba instan dan cepat, laris manis lakunya. Mie instan telah lama dipercaya sebagai yang menjadi dagangan paling cepat laku di warung-warung. Dijalan raya, para pengendara tak lagi malu untuk melanggar lampu merah atau memotong jalur agar cepat sampai tujuan. Dalam dunia pendidikan, banyak mahasiswa lebih percaya pada joki skripsi daripada bekerja keras menyusun sendiri skripsinya. Ini juga menjelaskan mengapa profesi sebagai joki jawaban soal UN tak lekang oleh waktu. Untuk memuaskan syahwatnya, para pemuda lebih memilih cara instan, menyewa jasa wanita PSK (Pekerja Seks Komersial) daripada menikah dan membina rumah tangga sendiri.