Mohon tunggu...
Dionisius Yusuf
Dionisius Yusuf Mohon Tunggu... Guru - Hanya seorang pendidik

Seseorang yang sedang belajar menulis tentang banyak hal, silahkan colek saya di IG @ichbindion, dan FB Dionisio Jusuf

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Catatan Kecil Sang Pendidik Part 02: Mengapa Pria Tidak Suka Mengajar di Sekolah Dasar?

2 Januari 2024   15:43 Diperbarui: 5 Januari 2024   06:09 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis diantara rekan sejawat (dok pribadi)

Hari ini (14/08/2023) adalah hari pertama dimana saya akan memulai babak baru dalam hidup saya sebagai seorang teacher's assistant di salah satu sekolah dasar di Anchorage, Alaska. Sekitar pukul 07.00 AKST (Alaska Standard Time), saya sudah bangun dan segera bergegas mempersiapkan diri untuk menyongsong hari pertama bekerja.

Beberapa hari yang lalu sebelum sekolah dimulai, saya sudah diinfokan oleh salah seorang teman tentang cara berpakaian selama bekerja sebagai guru. Tadinya saya berpikir kalau saya harus berpakaian formal layaknya seorang guru di tanah air. Baju lengan panjang, celana kain dan sepatu pantofel.

Namun teman saya tersebut mengetawakan saya ketika saya menyampaikan hal tersebut. Dia lalu memberitahukan kalau disini saya tidak perlu terlalu formal dalam berpakaian. Masukan dari teman tersebut pun saya ikuti. Hari ini saya hanya mengenakan kaos berkerah dengan celana jeans. Untuk sepatu pun, saya hanya memakai sepatu santai.

Sebelum pukul 08.30 AKST, saya sudah tiba di Williwaw Elementary School tempat saya bekerja. Saya lalu diperkenalkan kepada principal (kepala sekolah) dan setelah itu beliau mengajak saya berkeliling sekolah serta diperkenalkan kepada seluruh staf dan guru di sekolah tersebut.

Ada hal menarik dari perkenalan tersebut karena saya tidak menemukan banyak sosok pria yang bekerja di sekolah, terutama guru. Saya sempat berkeinginan menanyakan hal tersebut kepada principal, namun saya urungkan niat tersebut. Saya akan mencari tahu mengapa, saya membatin saat itu.

Setelah acara perkenalan berakhir, saya lalu diajak ke ruang kelas di mana saya akan mulai mengajar. Ketika saya memasuki ruang kelas tersebut, lagi-lagi saya disambut oleh dua orang perempuan yang juga merupakan guru di kelas saya.

Berhubung hari ini belum ada kelas, kami bertiga pun hanya melakukan aktivitas mempersiapkan bahan ajar untuk keperluan di mulainya hari pertama sekolah yang akan diselenggarakan pada beberapa hari mendatang.

Disela-sela kesibukan, saya memberanikan diri untuk bertanya kepada Mrs. Hazel (salah satu rekan kerja) mengenai jumlah guru pria di sekolah ini. Dia menginfokan bahwa jumlah guru pria di sekolah ini hanya ada dua dari keseluruhan jumlah guru di sekolah ini.

Saya kaget waktu Mrs. Hazel menyampaikan informasi tersebut. Hal ini tidak pernah terbayangkan oleh saya. Karena selama lebih dari tujuh tahun saya mengajar di perguruan tinggi pada beberapa universitas di tanah air, komposisi jumlah pengajar pria (biasanya) lebih banyak dibanding pengajar perempuan. Tapi disini kebalikannya.

Dalam hati, saya bertanya ada apa dengan para pria (Alaska)? Mengapa mereka tidak ingin berkarya di sekolah dasar? Apakah fenomena ini juga terjadi pada daerah lain di Amerika Serikat atau bahkan di negera lain termasuk tanah air tercinta, Indonesia?

Rendahnya Minat Pria Mengajar di Sekolah Dasar

Pertanyaan mengenai minimnya minat pria mengajar di sekolah dasar tempat saya mengajar menghantui pikiran saya. Setelah tiba di apartemen, saya berusaha mencari informasi mengenai kebenaran komposisi pengajar pria dan perempuan di sekolah saya.

Betapa kagetnya saya ketika saya membuka website sekolah, saya menemukan informasi bahwa dari total 24 orang guru di sekolah saya, jumlah guru prianya hanya ada dua orang atau hanya 8.3% dari total jumlah guru. Data yang sama juga terjadi pada rasio jumlah teacher's assistant (Paraeducator) yaitu hanya ada dua orang pria (termasuk saya) diantara 23 orang teacher's assistant di sekolah saya.

Penasaran dengan data di sekolah, saya pun mencari informasi mengenai persentase jumlah pengajar laki-laki di Amerika Serikat. Apakah serupa dengan persentase di sekolah saya ataukah lebih baik. Berdasarkan data dari the National Center for Education Statistics (NCES), saya pun menemukan bahwa jumlah guru pria pada sekolah dasar di Amerika Serikat pada periode 2017-2018 sangat rendah yaitu hanya 11% dari keseluruhan guru sekolah dasar di negara ini.  

Ternyata fenomena rendahnya persentase guru pria bukan hanya "milik" Amerika Serikat. Hasil penelitian dari Kevin McGrath dari University of Macquarie juga memperlihatkan bahwa guru pria di sekolah dasar di Australia mungkin akan "punah" pada tahun 2067. Artinya tidak ada lagi guru pria pada sekolah dasar di Australia pada tahun tersebut.

Lalu bagaimana dengan kondisi gender antara guru pria dan perempuan di tanah air? Miris jawabannya. Pada tahun 2023 berdasarkan data Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, Kemendikbudristek, persentase guru TK laki-laki adalah 1,8% (4.635 orang), sedangkan guru TK perempuan adalah 98,2% (257.913 orang).

Ketimpangan rasio gender juga terjadi pada guru sekolah dasar. Namun dari data yang ada, jumlah persentase guru sekolah dasar pria yang mengajar di sekolah dasar lebih tinggi dibanding TK, yaitu 28.6%. Persentase guru perempuan tetap lebih tinggi yaitu 71.4%.

Kondisi ini menunjukkan bahwa ketimpangan gender guru pria dan perempuan yang mengajar di sekolah dasar bukan hanya terjadi di Alaska atau Amerika saja tetapi juga terjadi di berbagai negera termasuk di tanah air. Sebenarnya apa yang menyebabkan banyak pria tidak tertarik menjadi guru di sekolah dasar?

Pertemuan rutin special education teacher (dok pri)
Pertemuan rutin special education teacher (dok pri)

Mengapa Jumlah Guru SD Laki-Laki Lebih Sedikit?

Karena tertarik dengan fenomena ini, saya pun mencari kesempatan untuk berbincang dengan salah satu guru pria di sekolah tempat saya mengajar. Dia mengatakan bahwa sejak saat dia berkuliah di perguruan tinggi, jumlah pria yang terdaftar di program Early Childhood and Elementary Education sangat rendah dibandingkan dengan perempuan.

Salah satu alasan yang da kemukakan adalah mengajar di sekolah dasar secara historis merupakan profesi yang didominasi perempuan dan dipandang sebagai lahan yang lebih "feminim".  Menurutnya pada masa-masa awal pendidikan, perempuan dipandang lebih baik dalam hal mengasuh dan lebih cocok bekerja dengan anak-anak dibanding pria.

Saya mencoba membatah hipotesa tersebut, dengan mengatakan bahwa pria sama baiknya dalam hal mengasuh anak ketika masih dalam rentang usa sekolah dasar. Namun argumentasi saya mungkin harus dibuktikan lebih lanjut mengingat dalam prakteknya persepsi ini masih berlanjut hingga saat ini, meski saya menyakini belum tentu akurat.

Di lain kesempatan, saya berbincang dengan James yang merupakan suami dari rekan kerja saya di sekolah. Kepadanya saya menanyakan mengapa da tidak tertarik mengajar di sekolah dasar seperti halnya Hazel, istrinya. Saya menanyakan hal tersebut karena mengetahui James memiliki kualifikasi untuk berkerja di sekolah. Jawaban menohok disampaikan oleh James.

Menurut James tingkat gaji di sekolah lebih rendah dibandingkan dengan profesi yang dia geluti sekarang. Selain itu dia mengatakan bahwa dia tidak sabar dan telaten dalam menghadapi anak-anak. Dilema memang. Suara hati James mungkin mewakili sebagian besar argumentasi pria yang tidak ingin berkarya di sekolah dasar.

Pentingnya Laki-laki Dalam Pendidikan Dasar

Meskipun perempuan mendominasi pekerjaan sebagai guru di sekolah dasar, tetapi menurut saya kehadiran seorang guru laki-laki sangatlah penting. Setidaknya kehadiran guru laki-laki dapat membawa perspektif unik pada anak-anak di sekolah dasar.

Guru laki-laki dapat memberikan teladan bagi anak didiknya, baik laki-laki atau perempuan. Selain itu, kehadiran guru laki-laki dapat menghilangkan stereotip gender di dalam kelas.

Kehadiran guru laki-laki, menurut saya dapat memberikan sudut pandang berbeda terhadap beberapa topik misalnya kepemimpinan dan kemandirian. Kedua topik ini rasanya lebih tepat dibawakan oleh guru pria dibanding guru perempuan. Selain itu, guru pria diharapkan dapat memberikan balance pengetahuan kepada anak didik sehingga pada akhirnya anak didik dapat mengetahui perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan.

Saya menyakini guru laki-laki akan dapat menjadi teladan positif bagi anak laki-laki. Dalam masyarakat kita, anak laki-laki sering kali tidak mempunyai panutan sosok laki-laki yang kuat dalam kehidupan mereka. Kehadiran guru laki-laki sejak dini diharapkan dapat membantu mengisi kekosongan ini dan menunjukkan kepada anak laki-laki apa artinya menjadi laki-laki yang baik.

Program Meningkatkan Jumlah Guru Pria

Guna mengatasi kekurangan tenaga pengajar pria, pemerintah Amerika Serikat meluncurkan beberapa program untuk meningkatkan rasio guru pria di sekolah dasar. Beberapa program yang diluncurkan antara lain The Call Me Mister dan B.E.S.T. For Men (Black Elementary School Teachers). Keberhasilan progam-program tersebut mulai dirasakan oleh pihak sekolah dan orang tua siswa.

Dalam beberapa tahun terakhir, rasio guru laki-laki di Amerika Serikat meningkat di semua tingkatan sekolah mulai dari preschool sampai high school. Meskipun begitu, secara keseluruhan guru perempuan masih menjadi mayoritas pendidik di sekolah namun kesenjangan antar gender semakin menyempit.

Lalu bagaimana dengan di Indonesia, adakah program dari pemerintah untuk meningkatan jumlah guru pria sekolah dasar di tanah air? Sudah mengecilkah rasio guru perempuan dan pria pada sekolah dasar? Saya merasa sudah saatnya pemerintah memberikan perhatian khusus kepada peningkatan jumlah guru pria di tanah air.

Ini bukan tindakan diskriminasi terhadap guru perempuan, namun hanya menyimbangkan rasio antara kedua gender. Karena bagaimanapun pendidikan di  sekolah dasar sangatlah penting dalam membentuk karakter anak-anak bangsa. 

Dengan semakin banyaknya guru pria diharapkan memberikan perspektif yang berbeda kepada anak didik, sehingga akan dihasilkan anak-anak dengan individu yang baik, berkualitas, mandiri, bertanggungjawab serta siap menghadapi persaingan yang semakin kompleks.

Mungkin tulisan dari seorang guru di California, Josh Brown dapat kita renungkan bersama-sama untuk meningkatkan jumlah guru pria di sekolah dasar. Dia menuliskan, "If we want to persuade more men to become educators, our society should celebrate and respect male teachers in the same way we idolize sports figures and celebrities." Seru juga kalau kita dapat mewujudkannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun