Mohon tunggu...
Dionisius Yusuf
Dionisius Yusuf Mohon Tunggu... Guru - Hanya seorang pendidik

Seseorang yang sedang belajar menulis tentang banyak hal, silahkan colek saya di IG @ichbindion, dan FB Dionisio Jusuf

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Menyerahkan Diri

8 Agustus 2020   12:29 Diperbarui: 8 Agustus 2020   12:25 1083
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Setelah mengetahui bahwa saya positif terinfeksi covid-19, otak saya langsung berpikir bagaimana saya bisa survive dengan kondisi begini. Pilihan ada tiga: dirawat di rumah sakit, pergi ke Wisma Atlet atau isolasi mandiri di rumah. Alternatif pertama saya buang jauh-jauh karena masalah biaya. 

Sudah pasti akan memakan biaya mahal kalau harus dirawat di rumah sakit untuk jangka waktu lama (at least 2 minggu). Akhirnya pilihan tinggal dua, yaitu isolasi mandiri di rumah atau pergi ke Wisma Atlet. 

Setelah ditimbang-timbang, saya memutuskan untuk pergi dan menyerahkan diri ke wisma atlet. Pilihan sulit memang, tetapi inilah mungkin yang terbaik.

Kalau saya memutuskan mengisolasi secara mandiri di rumah, tentu bisa saja, tetapi saya akan sangat merepotkan orang lain, terutama adik ipar saya yang harus mengantarkan makanan ke rumah setiap hari buat saya. Belum lagi nanti terjadi apa-apa di rumah, tidak ada yang dapat membantu (karena saya stay alone di rumah saat itu). 

Belum lagi obat yang harus dibeli dan dikonsumsi. Mau tidak mau, saya harus ke rumah sakit untuk mengambil obat tersebut. Godaan terbesar adalah keinginan untuk keluar rumah. 

Dengan pertimbangan tersebut, akhirnya saya meminta adik saya untuk mencari informasi bagaimana prosedur kalau pergi mandiri kesana. Setelah itu, adik saya mencari informasi mengenai prosedur ke wisma atlet. Setelah mendapatkan informasi tersebut, lalu saya menyiapkan perlengkapan ala kadarnya, seperti laptop, charger, botol minum, beberapa potong pakaian. Dengan mengendarai motor, saya menuju Wisma Atlet.

Menjelang jam dua siang, saya tiba di wisma atlet.

Ketika sampai di Wisma Atlet, sudah terlihat sign untuk pasien yang akan datang melapor kalau dirinya terinfeksi Covid-19. Saya lalu mengikuti sign tersebut. Ketika mau memasuki wisma atlet, saya sudah dicegat oleh beberapa tentara yang berjaga disana. Saya ditanyakan apa keperluan saya ke wisma atlet. Saya lalu menjawab bahwa saya adalah pasien (baru). 

Seketika itu juga, salah satu bapak tentara mencatat nama saya, umur, kapan saya mengetahui saya terinfeksi, dari rumah sakit mana. Nah setelah mencatat seluruh informasi tersebut, bapak tentara tersebut lalu menelepon bagian IGD bahwa ada pasien baru, yaitu saya. 

Ada kejadian lucu teman-teman ketika saya menunggu bapak tentara itu menelepon, tiba-tiba dibelakang saya muncul satu anak muda yang mengendarai motor. Si tentara itu langsung teriak, “Eh kamu mau ngapain? Mau masuk juga jadi pasien. 

Tuh, di depan kamu pasien,“ Seketika itu juga si anak muda langsung mundur teratur. Takut kali ya. Melihat adegan tersebut, ada rasa geli dan lucu juga, oh ternyata begini ya kalau jadi pasien...ditakuti....hehhehe...

Setelah mendapat konfirmasi dari IGD, lalu saya dipersilahkan untuk menuju IGD. Setelah memarkir motor, lalu saya menuju ruang pendaftaran. Di ruang pendaftaran tersebut sudah berjejer dokter-dokter muda yang siap membantu. Sebelum si dokter bertanya, saya terlebih dahulu bertanya, “Maaf dok, apakah disini saya harus bayar?”. Si dokter tertawa kecil. Lalu si dokter menjawab, “Tidak Pak. Disini semua gratis. Bapak tidak akan dipungut biaya apapun juga”. 

Ah, lega rasanya. Kebayang kan kalau di rumah sakit, belum apa-apa sudah dimintain uang deposito. Setelah percakapan tersebut, lalu dokter bertanya tentang riwayat saya; kapan saya terpapar Covid-19, dimana, terus tes dimana, dan beberapa pertanyaan lainnya. Setelah itu, dokter tersebut meminta hasil rapid test dan bukti swab. 

Berhubung saya belum mendapatkan hasil swab dari rumah sakit, saya cuma menunjukan bukti pembicaraan via whataspp (WA), dan itu bisa diterima oleh dokter yang mendata saya. Betapa mudahnya proses untuk mendaftar di Wisma Atlet. Dalam pendataan tersebut, saya sempat bertanya kepada dokter yang mencatat pendaftaran saya. 

Berapa banyak isi satu tower, si dokter mengatakan seribu lebih, tepatnya dia kagak hafal, dan katanya 80% dari total pasien adalah orang tanpa gejala atau OTG layaknya saya. Dahsyat banget ya virus brengsek ini….

Setelah pendataan, lalu saya diantar ke ruang IGD (tepatnya bangsal). Waktu saya tiba dibangsal, cuma ada 3 orang. Sebelah saya ada seorang mbak (yang akhirnya saya mengetahui bahwa mbak tersebut tadinya mau bekerja sebagai asisten rumah tangga di Jakarta) dan didepan saya tampak seorang bapak setengah baya.

Setelah saya meletakkan tas, saya duduk dan timbul rasa iseng untuk memulai mengenai si mbak yang sedang duduk termenung. Singkat cerita, saya bertanya kepada si mbak kenapa bisa sampai di Wisma Atlet. Kisah pilu dialamai oleh si mbak.

Mbak yang akhirnya saya ketahui berasal dari Lampung memulai cerita harunya kepada saya. Mbak tersebut mengatakan bahwa dia berasal dari Lampung dan datang ke Jakarta untuk bekerja sebagai asisten rumah tangga. 

Dia datang dari Lampung menggunakan mobil travel. Ketika sampai di rumah majikannya, dia lalu disuruh test swab oleh si majikan. Betapa kagetnya dia karena hasil swab memperlihatkan bahwa dia positif terinfeksi Covid-19. Setelah mengetahui dirinya positif, lalu si majikan mengusir dirinya dan menempatkan dirinya di tempat kontrakan. 

Mbak tersebut bercerita bahwa selama berada di rumah kontrakan, dia tidak pernah dikasih makan oleh calon majikannya. Dia terpaksa membeli makanan sendiri diluar rumah kontrakan. Duh...saya tidak dapat membayangkan sudah berapa banyak orang yang tertepar dari si mbak tersebut. Setelah beberapa hari di rumah kontrakan, mbak tersebut menceritakan bahwa dia memberanikan diri untuk menelepon dinas kesehatan Lampung. 

Dari hasil percakapan dengan dinas kesehatan, si mbak disarankan untuk datang ke Wisma Atlet. Mbak tersebut mengatakan bahwa proses kedatangannya di Wisma Atlet dibantu oleh Dinas kesehatan Lampung. Setelah mendapat konfirmasi dari Dinas kesehatan Lampung, lalu si mbak berangkat Wisma Atlet dengan menggunakan bajaj. 

Catat teman-teman, si mbak berangkat sendiri ke Wisma Atlet. Hal ini karena calon majikannya tidak bersedia mengantarkannya ke Wisma Atlet. Di akhir pembicaraan, saya berkata bahwa saya akan berdoa supaya dia dapat segera pulih dan kembali ke kampung halamannya di Lampung (karena katanya dia kapok mencari kerja di Jakarta). Betapa kejamnya hidup di Jakarta, teman-teman.

Setelah mengobrol dengan si mbak “Lampung”, tidak lama kemudian datanglah seorang petugas IGD. Petugas tersebut dengan ramah bertanya apakah saya sudah makan atau belum.Saya seketika bilang belum makan. 

Tidak lama kemudian, petugas tersebut mengantarkan nasi box dengan sebotol air mineral. Lauknya lumayan untuk ukuran saya. Cukup lengkap. Ada nasi, ayam, sayur, buah dan sebotol Yakult. Setelah makan, lalu saya disuruh untuk mengikuti rekam jantung dan rontgen paru-paru. 

Sebelumnya melakukan kedua tes tersebut, saya terlebih dahulu diambil darahnya oleh nurse yang bertugas di ruang IGD. Setelah proses pemeriksaan, saya lalu kembali ke tempat tidur di IGD. Setelah hampir satu jam menunggu, akhirnya petugas tersebut mengatakan bahwa saya sudah boleh pindah ke kamar. Tepatnya di lantai 18 kamar no. 11.

Ketika saya mau pindah ke lantai rawat inap, betapa kagetnya saya, bangsal yang tadinya cuma 3 orang, sekarang sudah full occupied. Bahkan disebelah saya yang tadinya diisi oleh si mbak (yang ternyata sudah pindah dulu ke ruang rawat inal) sudah terisi oleh satu keluarga. 

Sepasang suami istri dengan dua anak perempuannya yang masih sangat kecil usianya. Saya sempat bertanya singkat kepada ibu kedua anak tersebut, apakah kedua anaknya terinfeksi Covid-19, dengan nada lemah si ibu mengatakan ya. 

Saat itu, seluruh ruang di IGD penuh. Dahsyat. Artinya apa? Fase kedua mungkin sudah datang karena hanya dalam hitungan jam, jumlah pasien positif bertambah dengan cepat. Dan mostly yang datang itu tampak pada sehat layaknya orang tidak sakit.

Setelah mendapat konfirmasi dari petugas bahwa saya siap dipindahkan ke ruang rawat inap, lalu dengan ditemani oleh seorang petugas, saya diantar ke kamar “istirahat”. 

Fasilitas kamar di ruang yang saya tempati, super okay! Ukuran kamar berukuran 3 x 3 meter (isi dua bed), tetapi hanya boleh ditempati oleh saya sendiri. Kamar yang saya tempati full AC. Di samping kamar saya terdapat satu kamar lagi (isi satu bed), tetapi pada hari itu masih kosong (tidak ada yang menempati). 

Di ruang tersebut terdapat kamar mandi, ruang tamu, tempat jemur baju dan tempat buat memasak. Dalam hati, saya berkata, wah ini tempat layaknya apartemen tipe 36. Tapi dari itu semua fasilitas yang tersedia, saya paling senang adalah ketersediaan koneksi internet. Free wifi 24 jam dengan kecepatan yang menurut saya lebih dari cukup.

 Suara adzan magrib sudah berkumandang, dan Ketika saya melirik jam di tangan kiri saya, ternyata sudah pukul 6 malam. Seketika saya bangun dari tidur saya dan bergegas keluar ruangan untuk mengambil jatah makan malam (ketika saya dibawa ke lantai rawat inap, petugas yang menyertai saya sudah menginfokan bahwa makan malam akan tersedia mulai pukul 6 malam). 

Saya berjalan keluar dengan santai dan belum beberapa langkah dari kamar, saya bertemu dengan pasien lain. Dia bertanya, apakah saya sudah mengambil makan malam atau belum. Saya menjawab belum. Lalu dia menunjukkan tempat untuk mengambil makan malam. Lalu saya mengikuti arah yang diberitahu oleh pasien tadi. Dan sampailah saya ditempat pengambilan makan malam. 

Tempat pengambilan makan berada di ruang poli lantai rawat inap. Di setiap lantai rawat inap terdapat ruang poli yang dilengkapi dengan tiga orang nurse yang bertugas. Saat saya tiba, tidak banyak pasien yang mengantri makan malam. 

Lalu saya bertanya kepada pasien di depan saya, mengapa kita harus mengantri untuk mengambil makanan, lalu pasien tersebut menjawab bahwa sebelum mengambil makanan, setiap pasien harus masuk ke ruang poli.

Lanjutnya, seorang nurse akan mengukur tensi, denyut nadi, dan suhu tubuh pasien. Tidak lupa, nurse juga menanyakan apakah pasien mengalami gejala atau keluhan pada hari ini atau tidak.

Lalu tibalah giliran saya untuk masuk ke ruang poli. Ketika saya masuk dan duduk di bangku yang sudah disediakan, seorang nurse berkata, “Bapak pasien baru ya?“, saya menjawab ya. Lalu dia mengecek suhu tubuh saya, tensi dan denyut nadi. Setelah itu, dia menanyakan no WA saya. Suster tersebut mengatakan bahwa di setiap lantai rawat inap terdapat WA Group. 

Semua informasi, mulai dari pemberitahuan sudah tibanya makanan, jadwal swab, bahkan sampai ada paket akan diinfokan di WA group tersebut. Sangat memudahkan dengan adanya WA group tersebut. Ketika selesai dari ruang poli, saya lalu mengambil jatah makan malam yang diletakkan di meja yang berada di depan poli. 

Terlihat masih banyak kotak box makanan di meja tersebut. Teman-teman, dalam tulisan ini, saya ingin mengatakan bahwa di Wisma Atlet tidak terjadi rebutan makan layaknya dipenjara. 

Jadi bohong besar kalau ada yang menulis di media nasional atau sosial media bahwa telah terjadi rebutan makan siang atau malam di Wisma Atlet. Ketika selesai makan malam, saya iseng mengecek WA group yang baru di-add oleh nurse. OMG, ada 53 nama di WA group tersebut. 

Ini berarti dalam satu lantai berisi 53 pasien (itu belum termasuk anak-anak yang tinggal dengan orang tua mereka satu ruangan). Crazy teman-teman! Dapat dibayangkan berapa banyak jumlah pasien dalam tower 7 di Wisma Atlet.

Nah ini kisah hari pertama saya di Wisma Atlet. Please safe healthy teman-teman semua. Selalu jaga Kesehatan. Jauhkan virus laknat ini dari teman-teman. Dan kalaupun tertular jangan panik ya teman-teman. Sampai ketemu di cerita berikutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun