Dalam mendidik Bu Suci menampilkan keprofesionalitasannya menjadi pendidik di sekolah dasar. Ia tidak hanya menjadi guru yang hanya ingin bekerja dan mendapat uang saja, tetapi ia juga memiliki semangat daya juang untuk mendidik para muridnya juga sebagai ibu.
Anak dan murid. Bukan anak atau murid. Ya, akhirnya itulah yang harus kupilih kedua-duanya. Aku ingin dan aku minta kepada Tuhan agar diberi kesempatan mencoba mencakup tugasku di dua bidang. Sebagai ibu dan sebagai guru. Dengan pertolongan-Nya, pastilah aku akan berhasil. Karena Dia Mahabisa dalam segala-galanya. (Nh.Dini, 1995:47).
Pendidik merupakan orang tua kedua selain di rumah. Itulah sebutan untuk para guru sekarang selain pahlawan tanpa tanda jasa. Akan tetapi jika mereka merupakan orang tua kedua, kenapa hanya mengedepankan nilai dan bukan bakat maupun akhlak?Â
Jika sebutan itu masih melekat di para pendidik, maka sebaiknya lepaskanlah embel-embel itu apabila para guru masih mengedepankan nilai daripada bakat dan akhlak.Â
Sebagaimana yang menjadi sifat Bu Suci, ia sadar sebagai guru harus bertanggung jawab penuh dengan para muridnya. Di sela-sela mengajarnya ia juga menanamkan kepada para muridnya tentang kedisiplinan, ketertiban, sikap mandiri dan rasa cinta terhadap bangsa, tanah air serta memiliki kepedulian sosial yang besar dan juga tidak lupa ia bermimpi besar kepada para muridnya di masa depan.
Aku mulai hafal nama isi kelasku. Sejak mulai mengajar aku mempunyai cara supaya murid tidak saling menggantungkan diri pada tetangga sebelahnya. Sekali-sekali tanpa pemberitahuan aku menyuruh mereka ganti bangku. Ada anak yang terlalu lama berdampingan, anak itu akan menjadi bayangan teman sebangkunya. Belum tentu pengaruh ini membuat kebaikan. Dengan perpindahan ini, aku mengharapkan memiliki kelas yang berpribadi. Aku ingin mempunyai murid yang kelak menjadi manusia yang berdiri sendiri. Kepercayaan kepada diri sendiri juga merupakan keteguhan yang sangat penting dalam pengajaran. (Nh.Dini, 1995:53-54).
Keseriusan menjadi pendidik yang ada di dalam diri Bu Suci memberi tamparan keras bagi para guru di luar sana yang masih mengedepankan nilai saja dan mengesampingkan perkembangan karakter para murid. Hal itu menjadikan buku ini masih relevan hingga saat ini, padahal sudah 37 tahun buku ini sejak cetakan pertama ini diciptakan.Â
Pembentukan karakter para murid sangat penting untuk masa depan mereka ke depannya. Dalam buku ini terlihat jelas bagaimana detailnya Nh. Dini dalam menceritakan alurnya dari awal tokoh utama ini pindah ke Semarang hingga membantu Waskito dalam membentuk karakter yang baik dari semulanya yang memiliki sifat emosian, dan suka mengganggu teman sekelas.Â
Perihal Sang Pencipta Karya dan Hasil Karyanya
Nh. Dini tampak lihai dalam memainkan setiap detail yang ada hingga membentuk suatu kesatuan novel yang baik. Sebagian besar novelnya mengedepankan perempuan sebagai tokoh utamanya. Seperti novel "Pada Sebuah Kapal", "Namaku Hiroko", "Roman La Barka", dan masih banyak lagi.Â
Novel Pertemuan Dua Hati merupakan salah satu novel "besar" yang dikarang Nh. Dini. Dalam novel ini pun pula terdapat pesan-pesan yang "apik" apabila diresapi dan dimaknai secara bersama. Kalimat yang paling mengena adalah bagian akhir dari novel ini di mana pendidik di sini mengedepankan pembangunan karakter anak-anak SD yang merupakan tiang masa depan bangsa walaupun gaji dan atau hadiah sebagai penghargaan lebih kecil tetapi rasa tanggung jawab mengasah dan membantu para murid itu ada. Pendidik yang sebenarnya adalah ketika ia mau secara personal mengenal masing-masing muridnya, dan mau membantu para murid mengembangkan karakter yang sopan dan baik, mengembangkan bakat, dan juga membantu para murid memupuk tekad untuk meraih mimpi di masa depan.