Mohon tunggu...
Dionisius Bei
Dionisius Bei Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Filsafat

Nama: dionisius bei TTL: NAru, 27 November 1993 Alamat: Jln. Joyo Agung 100_MAlang

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kebahagiaan adalah Being-ku

20 April 2021   17:14 Diperbarui: 20 April 2021   17:17 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Manusia pada hakekatnya dibangun atas dua perasaan dasariah, yakni mengejar kesenangan dan menolak penderitaan. Begitu seseorang telah mengalami kesejahteraan badan dan ketentraman hati, terhindar dari segala jenis rasa sakit (aponia), kecemasan, ketakutan, dan kegalauan (ataraxi), maka ia merasa tercukupi dan tidak memerlukan yang lain lagi. Namun, ketika seorang sedang sakit, lapar dan haus, merasa terancam, gelisah dan cemas, maka ia merasakan betapa kesenangan dan ketenangan merupakan kebutuhan yang sangat bernilai dalam hidup dan aktivitasnya.[21]

 

 

Maka, benarlah jika manusia selalu merindukan kesenangan. Dalam kenyataan hidup sehari-hari manusia tampak tidak puas dengan apa yang diperolehnya. Ia selalu berusaha mengejar kesenangan-kesenangan yang dapat dinikmati oleh tubuhnya. Semua aktivitasnya terarah pada pemuasan, kenikmatan dan kesejahteraan tubuh semata. Baginya segala-galanya adalah untuk memuliakan tubuh agar terhindar dari segala penderitaan.

 

 

  • Rasionalis-intelektualisme
  •  
  • Menurut Valentinus, ada dua tokoh penting yang merintis aliran ini, yakni Socrates dan Platon.[22] Kedua tokoh ini memusatkan perhatiannya pada pertanyaan; siapakah manusia? Socrates dan Platon menjawab, manusia adalah jiwanya. Inilah elemen terdalam eksistensi manusia yang membedakan manusia dengan realitas di luar dirinya.[23] Jiwa yang dimaksudkan disini adalah jiwa rasional, subjek berpikir. Berziarah untuk sampai pada hakekatnya itu.

 

Jiwa manusia adalah subjek berpikir, aku sadar, tahu dan rasional. Oleh karena itu, manusia selalu berada dalam keingintahuan. Namun, kebahagiaan disini bukan kenikmatan atau kesenangan fisik. Sebab, menurut Socrates dan Platon yang fisik itu tidak asli dan dapat hancur. Maka, ketika berbicara mengenai kebahagiaan, yang dimaksudkan adalah kebahagiaan yang abadi dan tidak dapat hancur. Kebahagiaan Soctrates-Platon adalah kebahagiaan batin. Dan kebahagiaan batin itu tidak diperoleh dalam dunia ini, tetapi nanti. Maka apa yang dilakukan saat ini mesti terarah pada tujuan itu, yakni kebahagiaan batiniah. Ketika mencapai kebahagiaan itu, maka manusia sudah memaknai beingnya dengan baik. Ia sudah mewudjudkan eksistensinya sebagai makluk rasional jiwani.

 

  • Realisme
  •  
  • Valentinus mengatakan bahwa, "realisme merupakan aliran pemikiran yang berpendapat bahwa realitas berada secara objektif dan terlepas dari kemampuan subjek untuk mencerap, memikirkan dan mengolahnya. Tokoh utama dalam aliran ini adalah Aristoteles".[24] Menurut Aristoteles, seperti dijelaskan Valentinus bahwa untuk menjelaskan realitas tidak perlu mencari jawaban di luar yang di cermati, karena solusinya terdapat dalam dirinya.[25] Dari logika ini, pertanyaan mengenai siapakah manusia, akan terjawab, jika berhadapan dengan manusia itu sendiri. Dalam diri manusia pertanyaan itu menjadi berarti. Jika pertanyaan yang sama diajukan kepada Aristoteles, maka ia akan menjawab bahwa manusia intelektual, memiliki pancaindra dan fungsinya masing-masing.[26] Pancaindra ini turut mempengaruhi cara kerja intelektual, yang mengakibatkan berbagai macam reaksi. Inilah ciri utama yang membedakan manusia dengan makluk hidup lainnya. Eksistensi manusia sebagai makluk intelektual, menegaskan kesempurnaannya dari makluk-makluk yang lain. Maka, manusia dikatakan sebagai pusat yang melampaui makluk-makluk lain. Maksudnya, manusia selain memiliki kemampuan intelektual, juga memiliki kemampuan sebagaimana yang ada pada makluk yang tingkat bawah (tumbuh-tumbuhan) dan makluk tingkat instingtif (binatang-binatang).
  •  
  • "Dengan akal budinya manusia dapat mengontrol, mengatur, mengolah dan memaknai segala sesuatu yang ada di luar dirinya dan di dalam dirinya sendiri..."[27] Oleh karena itu, manusia mempunyai pengalaman tentang suatu hal. Pengalaman itu merupakan hasil kerja akal budi. Maka, ketika manusia mengalami rasa sakit atau senang, itu merupakan hasil penerapan dan olah akal budi. Pengalaman semacam ini sama sekali tidak terjadi pada tumbuh-tumbuhan dan binatang.  Melalui akal budinya manusia dapat membedakan apa yang baik bagi dirinya dan apa yang tidak baik, apa yang berguna dan apa yang tidak berguna. Maka, dia akan berbuat dan bertindak sesuai dengan tujuan tertentu. Valentinus, mengikuti gagasan Aristoteles menegaskan bahwa,
  •  

  •  
  • Setiap tindakan manusia selalu mengarah pada tujuan yang tepat dan tujuan yang demikian disebut kebaikan... Dalam kenyataannya terdapat sekian kebaikan yang menjadi tujuan dari setiap aksi, namun dari sekian kebaikan itu pasti ada kebaikan yang paling baik, yang tertinggi...suatu tujuan yang sempurna. Karena ada satu tujuan yang sempurna, maka tujuan yang demikian adalah kebaikan yang kita cari.[28]
  •  

  •  
  • Jadi, eksistensi manusia adalah mengejar tujuan yang sempurna, yaitu kebaikan terrtingi yang ada padanya manusia memperoleh kesejahteraan. Lalu apa kebaikan tertinggi itu? Menurut Aristoteles seperti yang dikutip Valentinus, kebaikan tertinggi adalah
  •  

  •  
  • Eudaimonia, felicitas, kebahagiaan... Sesuatu yang sempurna secara absolut merupakan sesuatu yang dapat dipilih untuk dirinya dan tidak pernah ada motif lain. Tujuan yang demikian adalah kebahagiaan. Kebahagiaan selalu kita pilih untuk diri kita sendiri dan bukan karena alasan lain. Sesuatu yang autosuficien merupakan sesuatu yang membuat kita hidup layak dipilih dan tidak diperlukan apapun lagi; dan sesuatu janis ini adalah kebahagiaan.[29]
  •  

  •  
  • Dalam arti ini, kebahagiaan adalah tujuan tertinggi atau sasaran tertinggi, sesuatu yang sempurna dalam peziarahan manusia. Selanjutnya Valentinus mendasarkan pemikirannya tentang kebahagiaan  dengan mengikuti logika Aristoteles, "bahwa kebahagiaan bertalian erat dengan karya khas manusia, yang menadakan, menaungi serta memuat kebaikan dan kesempurnaan."[30] Dari hasil pemikiran ini maka saya dapat menyimpulkan, bahwa manusia secara eksistensial selalu merindukan kebahagiaan. Kebahagiaan seperti apa? Apakah kebahagiaan itu identik dengan kekayaan, kekuasaan, kehormatan, kenikmatan ragawi? Tidak! "kebahagiaan itu tidak sama dengan kekuasaan, kehormatan, kekayaan, kenikmatan ragawi, karena itu bukan tujuan hidup manusia."[31] Kebahagiaan tidak bersifat artifisial. Kebahagiaan hanya bisa ditemukan dalam aktivitas keutamaan dan kontemplatif. Namun, aktivitas tidak pernah selesai, melainkan terus berkelanjutan, bersifat stabil. Hanya dengan ini manusia bisa menggapai tujuan hidupnya, yaitu kebahagiaan sejati. Maka, kebahagiaan itu imanen dalam diri manusia bahkan bisa identik dengan kehidupan manusia itu sendiri. 
  •  
  • Valentinus menegaskan bahwa arti kebahagiaan akan sangat nampak dalam pemikiran Thomas Aquinas. Thomas Aquinas mengatakan "bahwa kebahagiaan itu tidak hanya bersifat imanen tetapi juga trasenden. Kebahagiaan yang trasenden adalah kebahagiaan yang sejati dan abadi. Kebahagiaan sejati ada dalam Allah dan kebahagiaan sejati itu adalah Allah sendiri.[32] Dari alur pemikiran ini dapat dikatakan bahwa eksistensi manusia adalah mengejar kebahagiaan. Kebahagiaan itu menyatu dengan dirinya, namun, untuk memperolehnya tidak sekali jadi, melainkan melalui aktivitas yang terus menerus mendatangkan keutamaan dan bersifat stabil. Karena itu, manusia tidak boleh melewati satu kesempatan dari aktivitas itu. Dan kepenuhan dari semua pengajaran atau aktivitas itu hanya dalam Allah. Karena dialah kebahagiaan sejati yang di dalam-Nya sudah selesai, aku telah menemukan-Nya. 
  •  

  •  
  • Utilitarianisme
  •  
  • Menurut Valentinus, aliran utilitarianisme (Jeremy Betham dan John Stuart Mill) menempatkan kebahagiaan sebagai barometer untuk menilai institusi sosial, perangkat etis dan yuridis yang berlaku dalam suatu kelompok sosial.[33] Menurut Valentinus inti dari pemikiran kaum utilitarinisme adalah "mereformasi masyarakat dengan mengajak semua orang  untuk keluar dari status quo dan bersikap kritis terhadap institusi sosial dan semua sistem sosial yang menganimasi hidup bersama."[34] Inilah konteks pemahaman kaum utilitarianisme. Jadi,
  •  

  •  
  • Tokoh kunci dalam mereformasi masyarakat adalah manusia sebagai pelaku baik dari rangkaian tindakan yang dilakukan. Sebagai pelaku, seorang dapat melakukan tindakan yang baik dan terpuji atau yang buruk dan tercela. Jadi, perhatian utama utiltarianisme bukan terletak pada hasil akhir dari suatu tindakan, misalkan memberi kesenangan atau memberi rasa sakit, melainkan rangkaian aksi dilaksanakan menurut faedah-faedah etis-moral yang bersifat objektif.[35]
  •  

  •  
  • Berdasarkan gagasan di atas, maka kebahagiaan sebagai alat ukur diletakan sebagai prinsip etis-moral. Sehingga, setiap tindakan yang dilakukan harus sesuai dengan prinsip itu.  Jika suatu perbuatan melawan atau melanggar prinsip itu, maka kebahagiaan tidak nampak di sana. Maka, kebahagiaan adalah landasan bagi terjaminya hidup manusia. Kebahagiaan menjadi prinsip bersama dalam kehidupan bermasyarakat. Seorang pemimpin harus mampu membahagiakan rakyatnya dengan menjamin segala haknya, menciptakan kesejahteraan sosial, perdamaian dan ketentraman. Maka, segala peraturan dan hukum dibuat untuk tujuan itu, bukan menindas dan menyengsarakan kehidupan rakyatnya. Jadi, kebahagiaan di sini identik dengan etika dan moral dalam menjalankan hidup bersama.
  •  

  •  
  • Penutup 

 

Dibagian penutup ini saya membuat sebuah kesimpulan tentang perbadingan pemikiran Armada Riyanto dan Valentinus Saeng tentang kebahagiaan. Maka, di bagian ini saya tidak mencantumkan catatan kaki. Sebab, catatan kaki sudah ada dalam pemikiran kedua filosof ini sebelumnya. Di bagian ini, saya melihat ada kesinambungan dari pemikiran kedua filosof ini. Meskipun paradigma mereka sedikit berbeda, dimana Armada Riyanto lebih menekankan fenomenologis, sedangkan, Valentinus Saeng lebih pada pola pememikiran eksistensialisme. Pada dasarnya kedua filosof ini mengurai lebih mendalam tentang makna Kebahagiaan. Dengan mengambil pemikiran para filosof untuk mendukung gagasan mereka seturut penekanannya masing-masing. Mengikuti aliran materialisme, Valentinus Saeng, melihat manusia sebagai eksistensi yang mengejar kebahagiaan fisik semata. Sedangkan, Armada Riyanto, melihat bahwa situasi yang demikian adalah pengalaman yang sangat tidakmembahagiakan. Sebab, manusia memiliki sifat tidak pernah puas dalam dirinya. Maka, ada banyak orang yang secara fisik terpenuhi, tapi tidak pernah bahagia. Selanjutnya, Valentinus mengikuti pemikiran Socrates-Platonian, bahwa manusia adalah jiwanya, yakni jiwa rasional. Valentinus memaknai manusia sebagai eksistensi berjiwa intelek. Sedangkan, bagi Armada Riyanto, kebahagiaan itu terjadi dalam kehidupan sehari-hari, bukan persoalan nanti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun