Â
Mengikuti gagasan kaum materialis, Epikuros dan Eristipos, Valentinus menegaskan bahwa, "materialis praktis adalah sebuah sistem berpikir yang sangat berpengaruh dalam kehidupan umat manusia sejak jaman Yunani klasik sampai pada peradaban post modern.[13] Â Landasan pemikirannya, bahwa seluruh realitas alam semesta adalah realitas ada materil yang telah ada sedemikian rupa sejak dari keabadian.[14] Itu berarti, hakekat dari alam semesta adalah material. Ia lahir dan terbentuk dari materi. "Hal ini dipertegas lagi dengan konsep Aristotelian-Tomistik (materi-forma, aktus-potensi, essensi-eksistensi) yang melihat realitas semesta alam sebagai benda-benda majemuk atau kompesisional dan benda-benda sederhana. Benda-benda kompesisional adalah realitas alam semesta yang tunduk pada hukum kelahiran dan kehancuran, yang disebut dengan prinsip perubahan. Sementara benda-benda sederhana adalah realitas essensial yang menjadi syarat bagi realitas kompesisional".[15]
Â
Berdasarkan alur pemikiran kaum materialis, maka dapat dikatakan "bahwa alam semesta merupakan kumpulan atom-atom yang terus bergerak dan mengalami tubrukan, agresi dan digresi. Jadi, alam semesta bergerak bukan karena ada penggerak pertama, atau dalam bahasa Platonium disebut Demiurgus atau Aktus Purus dalam bahasa Aristotelian dan atau Rasio trasenden apapun.[16] Secara singkat dapat dikatakan, realitas alam semesta berasal dari atom-atom yang bersifat material[17] dan terus bergerak dan berubah. Pergerakan atom-atom merupakan perpaduan dan perceraian yang tidak terkira dalam ruang dan waktu yang tidak berhingga. Atom-atom itu bergerak tanpa digerakan oleh apapun (motoris immobilis).
Â
Demikian halnya dengan manusia. "Manusia dan jiwanya terbentuk dari agresi atom-atom badan dan atom-atom jiwa yang berciri material. Jadi, manusia adalah makluk material".[18] Dari logika ini, maka Valentinus mengatakan:Â
Â
Â
Ketika hakekat manusia berciri material, maka kebaikan khas yang ingin diperolehnya dan diwudjudkan manusia dalam hidupnya secara niscaya bersifat material pula. Manusia sama seperti makluk lain bersifat instingtif menginginkan kesenangan dan menghindari kesakitan yang merupakan dua perasaan dasariah yang menjadi sarana untuk menemukan apa yang menjadi nilai, arete dan finalitas dari pencarian hidup manusia".[19]
Â
Â