"Sudahlah Diko, hentikan halusinasimu. Jangan ganggu Bapak lagi dengan cerita-cerita semu-mu. Bapak benar-benar kecewa." Nada Pak Hamdan kini meninggi.
"Tapi Pak, saya benar-benar menyaksikan sendiri, ada tempaan pemujaan di sini Pak."
"Sudahlah, simpan cerita konyolmu itu." Bentak Pak Hamdan.
"Sekarang antar Bapak Pulang, dan kau juga harus segera pulang. Jangan pernah lagi membuang-buang waktumu untuk cerita takhayul."
Diko tertunduk layu. Tak pernah ia mengalami pengalaman sepahit malam itu. Kembali ia mengecewakan orang nomor satu di sekolah tempat ia menimba ilmu.
Suara deru balap liar tak lagi terdengar seru. Nyanyian jangkrik tak lagi terdengar merdu. Rembulanpun tampak enggan menampakakn sinarnya malam itu. Seolah alam pun menghakimi tingkah Diko yang menghamba pada ilusi semu.
Selepas malam itu, Diko manjadi siswa murung tak menentu. Pendiam, tak peduli pada lingkungan sekitar. Ia kecewa, kecewa pada intuisi yang ia ciptakan sendiri. Ia bahkan tak lagi percaya pada dirinya sendiri.
Ia malu, pada guru, pada orangtua, pada kawan satu kelas, pada semua, pada penjaga kantin, pada penjaga sekolah, pada security. Seolah seluruh mata, memandangnya dengan sinis. Bahkan kawan dan gurunya memberikan julukan Diko Ilusi. Karena hanya mengedepankan ilusi bukan rasionalitas.
Ia bosan, hingga sore itu ia mendengar bisikan:
"Diko, datanglah ke Sumur Tua. Terjun, terjun maka kau akan menemukan kehidupanmu yang abadi."
Bisikan itu terus menerus terngiang. Semakin ia melawan, semakin bisikan itu terngiang. Diko berkonsultasi pada diri. Ia bertanya pada alam. Ia bertanya pada hembusan angin malam, rembulan yang mengintip dari balik awan, pada bintang gemintang yang kadang bekejaran.