Pintu kelas tepat di samping Diko berdiri, mulai terbuka secara pelan. Seolah ada yang membuka pintu. Lalu, ada suara kursi tergeser. Suara langkah kaki perlahan terdengar mendekatai. Suara langkah itu semakin keras terdengar. Semakin dekat, dekat, dan dekat.
Gemetara, Diko masih berusaha, menggerak-gerakkan center, siapa tahu bisa hidup kembali. Diko mulai cemas.
"Ayolah, kumohon center... hiduplah..." Ia juga menyalahkan diri sendiri mengapa di saat genting seperti ini ia lupa membawa Handphone. Setidaknya, lampu handphone mampu memberinya penerangan.
Sebenarnya Diko ingin berlari saja, namun rasa penasaran mengalahkan segalanya. Dipukul-pukulkan center itu, belum juga hidup.
Sementara kursi di dalam kelas mulai berasa ada yang mengakat, dan dilemparkan.
"brak....." keras sekali, seperti orang yang sedang emosi, dan membanting kursi sejadi-jadi.
Lampu center Diko masih belum hidup,
Dari belakang ia mendengar suara siswa pria tertawa pelan. Ia terdengar, lalu kemudian menghilang. Suara tertawa, kini berubah menjadi tangisan. Leher belakang diki dingin, seperti ada seseorang yang meniupkan udara. Suasana semakin mencekam.
Suara tangisan, kini berubah menajadi soerang pria yang bersiul-siul melanggamkan lagu lingsir wengi. Langgam Jawa yang sering Diko dengar di film horor di TV.
"ayolah... ayolah." Drama center dan PLN malam itu memang membaut suasana menjadi semakin mencekam.
Tiba-tiba ada sekelebat bayangan seorang laki-laki berlari kecang tepat di depannya. Diko, alihkan pandangan pada bayangan itu, namun hilang ditelan gelap.