Kesenian Aceh
Kesenian Aceh adalah semua karya seni yang dihasilkan dicipta oleh seniman-seniman Aceh pada masa lalu yang saat ini disebut sebagai seni tradisional Aceh.
Semua karya seni tersebut yang diciptakan para seniman Aceh pada masa kini yang tumbuh, hidup dan berkembang di Aceh, baik oleh seniman-seniman asli orang Aceh maupun bukan orang Aceh yang disebut sebagai seni moderen Aceh.
Seniman Aceh
Siapapun seniman yang tinggal menetap, apalagi yang lahir, hidup bahkan meninggal di Aceh, berdasar apapun asal-usulnya (suku, agama, bangsa) maka dia adalah juga disebut seniman Aceh.
Hal ini apabila ditelaah dari cara berpikir tentang pemahaman universal siapakah seniman itu, karena seniman sesungguhnyalah tidak punya wilayah, suku, bangsa, agama, sehingga hal menilik asal yang demikian itu tidaklah menjadi penting, tidak terpikirkan secara serius untuk semangat berkesenian.
Meskipun sebagai manusia, seniman memiliki latar belakang (orang tua) yang berbeda satu dengan lainnya. Namun, jika penelaahan kategori seniman itu apabila ditelisik lewat cara pandang kesukuan, sudah pastilah bahwa seniman Aceh adalah seseorang yang memiliki orang tua bersuku Aceh, terutama ayahnya berasal dari suku Aceh, di mana pun dia lahir, hidup bahkan meninggal.
Problematika Kesenian Aceh
Menilik situasi dan kondisi kesenian Aceh hingga masa kini, dapatlah dianalisis sebab-sebab yang melatari, antaranya;
1. Belum adanya ketegasan tentang kesenian Aceh yang sesuai dengan tata nilai dan norma ke-Islaman dan ke-Acehan.
 2. Tidak adanya komitmen yang tegas dan berkekuatan hukum dari pihak Pemerintah Aceh dari peranan masing-masing pihak (pemerintah, masyarakat, seniman) terhadap kesenian Aceh, semuanya semacam memiliki hak sebagai tuan bagi kesenian yang ditafsirnya sehingga kesenian Aceh belum menjelma sebagai sebuah wujud pertimbangan hak hidup kesenian sebagaimana adanya.
3. Belum terdatanya format dan pakem-pakem seni tradisional Aceh yang sesuai dengan keasliannya.
4. Tidak adanya data lengkap dan pasti tentang kesenian dan seniman Aceh.
5. Kesenian diposisikan semata sebagai komoditi hiburan, industri bahkan dimanfaatkan politis tanpa memperhitungkan nilai-nilai moral, keagamaan, edukatif, yudikatif, filosofis, maupun profetik.
6. Minimnya sumber daya seniman yang memiliki wawasan, pengetahuan dan pemahaman yang mendalam terhadap berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
7. Mayoritas seniman berada pada golongan ekonomi lemah, tidak memiliki penghasilan yang stabil dan tetap akibat pekerjaan seniman masih dianggap bukanlah pekerjaan tetap.
8. Berkesenian didominasi asumsi sebagai hanyalah pengisi waktu luang, bersenang-senang, sedikitnya ditujukan semata-mata demi meraih keuntungan uang dan jika dimungkinkan dapat meraih popularitas.
9. Dari satu sisi, seniman dipandang sebagai sosok 'penting' karena profesinya sebagai seniman, namun di sisi lainnya, dalam pandangan sosial, justru seniman tidak digolongkan sebagai kaum miskin.
10. Tidak hidupnya suasana kompetitif, sportif maupun kreatif yang sehat dari dunia kesenian yang digeluti oleh kalangan seniman.
11. Kehadiran lembaga-lembaga yang mengatasnamakan seniman ataupun kesenian baik oleh pemerintah atau masyarakat justru menghasilkan situasi kesenian yang menambah keruh perkembangannya, hal ini menyebabkan kesenian dan seniman di dalamnya justu terkorbankan sebagai diatasnamakan. Kehadiran lembaga-lembagai itu justru telah semena-mena bertindak sebagai 'tuan' yang berkuasa, yang terus menisbikan eksistensi kesenian dan seniman itu sendiri.
Â
Abstrak Histori
Bermula dari lahirnya para seniman itu dilatarbelakangi oleh berbagai bidang kesenian, setelah terbentuknya negara Indonesia, para seniman terus berkarya dan seiring ikut berjuang mempertahankan Republik Indonesia, ada yang ikut berperang, ada yang menciptakan karya seni untuk mendorong semangat perjuangan.
Waktu terus bergulir, peranan seniman Aceh di sekitar tahun 70-an, baikdari seniman yang berupaya melanjutkan kesenian tradisional yang ditinggalkan pendahulunya maupun kesenian moderen yang muncul belakangan, upaya sungguh-sungguh para seniman untuk terus berkiprah menghasilkan karya dan menampilkannya di hadapan publik, meskipun perjuangan demikian tanpa adanya dukungan donasi, termasuk dari pemerintah, kecuali pertunjukan Sandiwara Aceh dan penampilan Adnan PMTOH dengan menjual tiket.
Kesenian Aceh terus berlangsung, para senimannya banyak yang meninggal dunia, kehidupan ekonominya dapat dikatakan sangat memilukan, dari latar situasi dan keadaan demikianlah lalu lahir dan terbentuklah Dewan Kesenian Aceh (DKA) dengan menyandang cita-cita mulia demi memecahkan problematikan kesenian dan mengubah keadaan, DKA lalu mengemban cita-cita untuk dapat mencarikan bantuan agar seniman bisa menampilkan karya seninya, dengan harapan dari pertunjukan nantinya dapatlah tersisa sedikit dana untuk biaya hidup seniman.
Selanjutnya, sampai sekitar tahun 90-an, ternyata kehadiran DKA justru kian tidak berdaya, berbagai harapan semula dunia seni yang disandingkan oleh kehadiran lembaga ini bagai kehilang fungsinya, inilah yang menyebabkan dilakukannya pertemuan, menggiring seniman untuk bertemu di Gedung Tertutup Taman Budaya Aceh tujuannya pada saat itu agar kesepahaman dapat diraih sesama seniman sehingga lahirnya kesepakatan pengusulan kepada Gubernur Aceh untuk dapat kiranya membentuk Dinas Kebudayaan Aceh, gubernur ketika itu langsung menyetujui dan beberapa lama kemudian, terbentuklah Dinas Kebudayaan Aceh tersebut.
Sejak Dinas Kebudayaan Aceh terbentuk, seniman Aceh dapat sedikit merasa lega, berbagai problema ketidakmampuan yang dirasakan seniman mulai terpecahkan, semangat berkarya kembali menyala serta kembali dapat menyokong ekonomi seniman, namun dalam perjalan waktu, Aceh mengalami situasi konflik serta gempa bumi dan tsunami, seniman Aceh kembali ditimpa kesusahan dalam upaya berkarya dan kesulitan ekonomi menjelma sebagai tantangan kembali.
Namun, begitupun, seniman Aceh ikut berperan dalam suasana yang tidak kondusif itu, seniman bahkan ada yang hilang di masa konflik, ada yang dicari-cari Satuan Gabungan Intelijen, banyak juga seniman hilang disinyalir akibat bencana gempa dan gelombang tsunami yang menyusuli peristiwa memilukan tahun 2004.
Hingga saat ini, situasi yang terus berubah dan menantang terus dilalui para seniman Aceh, dengan tetap berkarya, meskipun untuk itu ada yang dengan terpaksa meminta-minta bantuan kepada yang mau menyokong agar kesenian di Aceh tetap hidup dan bertahan, DKA justru tidak berdaya sama sekali, jika pun hendak ingin dikatakan lembaga tersebut kiat tenggelam oleh problema internal.
Kini yang masih hidup dan berjaya hanya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, membaca ini semua, sepertinya seniman Aceh dan karya seni di Aceh yang telah diciptakan dapat dianggap tidak masuk dalam pembangunan, hal tersebut dikenali dari peranan seniman dan kesenian Aceh yang telah dianggap tidak saling berkait langsung dengan dinas di bawah Gubernur Aceh yang justru dibentuk untuk mengayomi dan menciptakan terobosan kebijakan nyata guna menyokong tumbuh kembangnya kesenian Aceh moderen dan pemertahanan kesenian Aceh yang telah mentradisi.
Memang, ada juga yang berpendapat, siapa suruh menjadi seniman? Ada juga yang berpikir, apakah tanpa seniman akan lahir karya seni, baik untuk keperluan hiburan maupun yang bernilai tidak semata komersil namun dapatlah menjadi edukasi, pencerahan dan pengetahuan.
Wallahu Alam,
Salam Hormat,
Din Saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H