Mohon tunggu...
Dinoto Indramayu
Dinoto Indramayu Mohon Tunggu... Administrasi - Belajar, belajar dan belajar....

Setiap saat saya mencoba merangkai kata, beberapa diantaranya dihimpun di : www.segudang-cerita-tua.blogspot.com Sekarang, saya ingin mencoba merambah ke ranah yang lebih luas bersamamu, Kompasiana....

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kecelakaan Kereta Api (2)

6 Oktober 2010   01:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:41 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Technical error?

Menyikapi kejadian memilukan belum lama ini, saya membuka catatan 10 tahun lalu. Saat saya pulang-pergi Haurgeulis-Jakarta atau Bandung-Jakarta. Bertengger tanpa karcis di lokomotif selama lebih dari 6 bulan, setiap hari senin sampai Jum'at. Berangkat jauh sebelum subuh, pulang menjelang maghrib meninggalkan Stasiun Jatinegara.

Catatan kecil itu kemudian saya rangkai dalam berbagai tulisan yang intinya merupakan bentuk keprihatinan terhadap kondisi perkeretaapian Indonesia saat itu. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:

http://segudang-cerita-tua.blogspot.com/2010/02/balada-keretaapi-indonesia-tercinta.html

http://segudang-cerita-tua.blogspot.com/2010/06/balada-lokomotif-keretaapi.html

http://segudang-cerita-tua.blogspot.com/2010/06/cilaka.html

http://segudang-cerita-tua.blogspot.com/2010/02/selamat-jalan-pahlawan-keretaapi.html

http://segudang-cerita-tua.blogspot.com/2010/06/terowongan-dan-jembatan-keretaapi.html

Satu catatan yang selalu saya sampaikan adalah bahwa rangkaian kejadian yang menimpa keretaapi tidak akan berakhir tanpa pihak berwenang mengatasi masalah pokoknya, lokomotif. Tanpa perhatian serius terhadap penarik gerbong keretaapi itu maka kecelakaan demi kecelakaan akan terus menanti di masa datang.

Seperti diketahui bahwa di lokomotif tidak terdapat setang/setir sebagaimana kendaraan lain. Hanya ada handel-gas, speedometer, radio, rem dan benda berbentuk kura-kura bernama dead-man pedal. Peralatan vital inilah yang menentukan keselamatan para penumpang yang memadati rangkaian gerbong keretaapi yang dibawanya.

Namun demikian, sangat disayangkan bahwa tidak semua lokomotif dilengkapi dengan peralatan tersebut. Bukan hanya tidak berfungsi tetapi beberapa diantaranya malah tidak ada.

Dari pengamatan terhadap 45 lokomotif yang membawa rangkaian kelas ekonomi dan kelas non-ekonomi yang dimulai pada semester terakhir tahun 2000 ternyata 20 lokomotif speedometer-nya dapat diandalkan (44 %), 16 lokomotif dengan speed-nol-meter alias speedometer-nya tidak pernah bergeser dari angka 0 (36 %) dan sisanya tanpa pengukur laju sama sekali (20 %).

Keadaan sangat memprihatinkan adalah bahwa penumpang keretaapi terbanyak yaitu pengguna kelas ekonomi benar-benar di ujung tanduk. Hanya satu diantara 7 lokomotif yang membawanya dilengkapi sepeedometer laik pakai (13 %).

Speedometer menjadi pedoman masinis dalam memainkan pedal gas, menjalankan laju keretaapi sesuai berbagai semboyan tinggalan Penjajah Belanda.

Dari 45 lokomotif yang diamati, hampir 80 prosen kondisi radio lokomotifnya baik, sedangkan sisanya tidak berfungsi atau tanpa radio sama sekali.

Berbeda dengan kondisi speedometer, nasib radio di lokomotif yang membawa rangkaian kelas ekonomi ternyata lebih baik. Sebaliknya hampir 20 prosen lokomotif yang menarik rangkaian kelas bisnis, eksekutif dan spasial tanpa alat komunikasi dengan pihak luar.

Selain radio dan speedometer maka dead man pedal adalah barang yang tidak kalah pentingnya. Benda seukuran anak kura-kura ini berfungsi mencegah masinis mengantuk. Di-set teknisi di Dipo, apabila diinjak terus selama 60 detik akan segera berbunyi alarm. Bila masinis lalai dan terinjak terus maka keretaapi akan berhenti dengan sendirinya. Demikian pula bila sebaliknya terjadi, dibiarkan saja lebih dari waktu set.

"Banyak dead man pedal yang tidak berfungsi," kata seorang masinis yang saat itu hampir memasuki masa pensiun, "Dan itu bukan kesalahan masinis, sebab yang mengeset adalah orang Dipo."

Satu-satunya peralatan vital yang menurut pengamatan penulis masih relatif berfungsi adalah rem. Walaupun ada beberapa kasus terjadi juga seperti terjadi pada lokomotif CC 20313 yang membawa rangkaian KA Bima remnya blong ! (09/10/00). Masih beruntung para penumpang kelas eksekutif itu masih diberi kesempatan eksekutif untuk menikmati udara segar.

Ke-blong-an rem pula yang mengantar Adman bin Sunardi menemui Sang Khalik ketika KA 930 yang dibawanya tidak dapat berhenti di stasiun Rengasdengklok sebagaimana biasa, sampai akhirnya diberhentikan paksa oleh keretaapi pengangkut batubara dari arah lawan.

Dengan demikian, adalah terlalu naïf jika pejabat dan pihak berwenang yang tidak tahu isi keretaapi selalu mencap human error sebagai penyebab kecelakaan keretaapi di negeri ini. Bila berkaca kepada masa lalu, maka technical error bisa terjadi.

Sebut saja kejadian menelan puluhan korban belum lama ini, jika saja dilihat nonor lokomotifnya (sayang hampir semua media massa lupa untuk itu) maka bisa dirunut bagaimana keadaan lokomotif itu 10 tahun lalu. Saya yakin, tidak akan terlalu berbeda atau bahkan mungkin bisa lebih memprihatinkan.

10 tahun lalu (Selasa, 10/10/2010), Argo Bromo Angrek membawa penumpang dari Surabaya ke Jakarta. Sampai di Pekalongan pukul 02.30, ditarik oleh lokomotif CC203 11 yang tidak dilengkapi radio. Speedometernya pun mati.

Demikian juga lokomotif yang membawa KA Bima misalnya. Selain rem blong seperti diuraikan di atas rangkaian eksekutif ini pernah ditarik oleh lokomotif tanpa radio, seperti pada tanggal 5, 11 dan 13 Oktober 2000 ketika ditarik masing-masing oleh lokomotif CC203 22, CC203 15 dan CC203 20. Padahal bukan berarti tidak ada lokomotif yang layak, buktinya kereta tersebut pada tanggal 9 Oktober 2000 ditarik oleh lokomotif CC203 13 yang kondisi speedometer, radio maupun dead-man pedal-nya berfungsi dengan baik.

Dengan demikian, sekali lagi, jangan terlalu mudah memvonis kesalahan pada manusia, apalagi seorang masinis misalnya. Technical error perlu dibenahi.

Dalam jangka panjang, tentu saja bukan hanya peralatan teknik yang ada di dalam lokomotif dan gerbong keretaapi tetapi juga untaian sepanjang jalur rel keretaapi beserta stasiunnya.

Tidak lupa, segenap insan keretaapi pun harus mau belajar sesuai dengan perkembangan teknologi yang diterapkan, kecuali jika mau mati tergilas oleh anggapan klasik para pemimpinnya yang selalu hanya bisa menyalahkan tanpa tahu permasalahan sebenarnya dengan teriakan, "Human error !"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun