Tempat tinggal kami termasuk permukiman yang sering disebut kompleks. Mungkin karena berlatarbelakang warganya sangat kompleks, ada petani, nelayan, pegawai negeri, tentara, polisi, pengusaha, wiraswastawan, wartawan dan lain-lain termasuk pengangguran. Belum lagi dilihat dari sisi pendidikan, tentu sangat beraneka, ada yang doktor, dokter sampai yang tidak kenal tulis baca. Latar belakang kehidupan mereka sebelum menghuni kompleks kami tentu lebih beranekaragam lagi.
Bukan rahasia lagi kalau kehidupan di kompleks adalah kehidupan yang teramat kompleks. Suasana panas sering timbul akibat perilaku penghuni lain, bukan hanya yang tidak menyenangkan, yang menyenangkan pun bisa jadi pemicu untuk hidup makin kompleks. Kalau perilaku tidak menyenangkan tidak perlu dibahas karena memang dimanapun berada aksi seperti ini pasti akan merugikan orang lain dan tidak sedikit mendapatkan reaksi untuk mematahkannya.
Kebahagiaan penghuni kompleks tidak selalu membanggakan para tetangganya, bahkan menjadikan warga permukiman yang lain sakit hati. Misalnya salah seorang tetangga membeli kursi tamu baru, maka tetangga lainnya tidak sedikit yang menggunjingkan, menyebutnya sebagai tukang pamer sampai menuduh mereka mendapatkan penghasilan yang tidak baik seperti mencuri sampai korupsi. Tentu tidak semua begitu, ada juga yang diam-diam mengurut dada, meminta kepada keluarga untuk membelikan barang yang sama atau bahkan lebih baik daripada yang dibeli tetangganya.
Ketika ada penghuni permukiman lain mendapat rezeki, bisa merenovasi rumah, maka banyak tetangga yang berpura-pura bolak-balik sampai pura-pura bertanya-tanya sebagai bahan masukan untuk dibicarakan dengan tetangga lainnya. Sumber dana tentu jadi pokok permasalahan utama, tentu saja dari sisi sudut pandang mereka yang lebih banyak negatifnya. Ada juga yang hanya diam, surat kalengnya tiba-tiba sampai ke lembaga perizinan. Petugas IMB tiba-tiba datang dan menghentikan kegiatan pembangunan yang mengubah bentuk asli perumahan. Kalau sudah demikian, banyak yang hatinya kembali lega lengkap dengan pembicaraan yang beraneka.
Itulah sebabnya, banyak rekan kantor yang tidak mau hidup di permukiman bernama kompleks yang dinilainya sebagai tempat tinggal yang penuh persaingan dengan tetangga. Mereka memilih hidup di perkampungan bersama masyarakat yang dimata mereka sangat nyaman. Walaupun sesungguhnya, kehidupan di perkampungan pun sekarang sudah sangat berubah. Bukan hanya kepadatannya yang lebih tidak teratur daripada kompleks tetapi juga masalah sosialnya.
Anggapan bahwa mereka masih “guyub” sudah sulit ditemui kecuali para acara kematian dan pernikahan. Demikian juga kegotongroyongan, mereka pun menganggap penghasilan berupa materi harus mengiringi tenaga yang dikeluarkan. Soal iri hati dengan tetangga, pada beberapa permukiman masyarakat perkampungan ternyata lebih parah daripada kompleks kami. Mungkin tergantung pada latar belakang para penghuni permukiman itu sendiri. Dengan kata lain, antara kompleks perumahan dan permukiman perkampungan ternyata sama, tergantung sikap kita dalam menghadapi suasana kehidupan permukiman secara makro.
Sebagai salah satu warga kompleks yang hidup diantara para tetangga yang demikian beraneka, kami pun mendapatkan pengalaman yang demikian. Ketika rumah kami masih sesempit rumah siput, kumuh dan muram, mereka dengan enaknya membuang bangkai sampai membakar sampai di depan rumah kami. Ada juga yang langganan menjemur kasur anaknya yang masih ngompol tepat di pintu pagar bambu kami. Pada saat mulai direnovasi, menyiasati kesempitanlahan dengan meninggikannya maka berbagai ucapan nyinyir bertaburan. Mulai dari menggasak uang kantor sampai berburu kekayaan dengan bersekutu dengan setan yang dalam bahsa kami disebut “nyupang”. Dengan modal anggapan yang terakhir maka masing-masing harus hati-hati, jangan-jangan ada anggota keluarganya yang nanti jadi tumbal.
Demikian juga ketika kami harus menghemat biaya transportasi ke kantor dengan mencicil motor. Ada saja pengetahuan yang dibagi mereka, tentang beda nomor polisi motor kredit dan motor yang dibeli lunas misalnya. Kalau soal yang berkataannya macam-macam memang sudah biasa. Kami hanya bersyukur bahwa setelah kami mampu kredit motor, beberapa tetangga membeli kendaraan yang lebih baik, dari motor sampai yang roda empat.
Jika menengok ke masa lampau, ketika kendaraan kami masih si doyok Honda 70, para ibu yangberkumpul di warung sering menyambut kedatangan kami dengan saling bisik. Kadang ada anak kecil yang berujar tak terkendali, “Traktor datang!”
Saat kami membeli perabot rumah tangga, maka pengantar sering kebingungan tidak tahu harus kemana mengantar. Beberapa kali bertanya kepada anggota masyarakat yang ada tetapi tidak memberikan keterangan yang jelas tentang alamat yang dituju. Padahal sudah ada sangat dekat dengan rumah kami, mereka pun kenal baik dan sehari-hari selalu baik-baik dengan kami. Sedah tidak malu lagi mereka terrus berbincang di depan warung tetangga ketika pengantar barang menemukan rumah kami yang tidak dikenal mereka.
Bukan hanya soal isi rumah, permasalahan juga muncul di tanah yang semula direncanakan pengembang untuk fasilitas umum, khusunya yang tepat berada di depan rumah kami. Ketika kami urug dengan tanah Lembang dan ditanami dengan bunga, mereka rabut. Diganti dengan pohon mangga juga dicabut dan digilas dengan roda kendaraan. Ketika tidak kami tanami maka tersiarlah ke semua tetangga bahwa tanah di depan rumah itu diterlantarkan oleh orang yang semestinya mengurus tanah kosong itu.