Sur, kalimat itu adalah pembuka kalimat yang datar namun getarannya terasa sampai ke ulu hati, iya, jawab Surti sambil tersenyum, ah senyum itu lagi eluh Tejo di dalam hati sambil menghindari matanya ke arah lain. Ngopi yuk ajak Tejo, boleh jawab Surti, gimana kalo nyari tempat buat ngopi, ayo balas Tejo. Sepanjang jalan Tejo berusaha mencairkan suasana dengan obrolan ringan walaupun isi kepalanya bercampur baur seperti medan perang di Gaza. Tempat kopi yang dituju penuh ketika mereka sampai, lanjut aja, disana ada lagi kok tempat ngopi yang lain kata Surti. Tomoro, sebuah kata kecil yang tepleset dari tomorrow mungkin, apakah Tejo sadar tomorrow menjadi hari yang berbeda buatnya. satu cup kopi panas dan satu cup kopi dingin serta dua buah cemilan cukup untuk mengisi hari, walaupun Surti yang bayar, dasar Tejo masa kalah dalam hal bayar duluan.
Sambil menikmati kopi dan cemilan Tejo memberanikan diri berkata kepada Surti, laksana Bung Tomo memberikan kata-kata penyemangat kepada arek-arek Suroboyo pada 10 November 1945. Sur, kembali menjadi kalimat pembuka Tejo, receh banget, tapi elegan untuk seorang ksatria. Iya, jawab Surti. Sur, salahkah jika ada orang yang menyukai seseorang namun tidak berani mengutarakannya? tidak ada yang salah jawab Surti, kenapa? Agar tidak merusak hubungan persahabat mereka jawab Tejo. Lalu salahkah jika orang tersebut jatuh cinta tapi dia sendiri tidak tahu kenapa bisa jatuh cinta, tanya Tejo. tidak ada yang salah jawab Surti kembali, siapa orang itu, tanya Surti? Tejo tersenyum getir, biarlah badai menerjang hari ini, biarlah tsunami datang ketika kopi panas aku hirup ujarnya dalam hati. Orang itu aku dan dia jatuh cinta sedalam-dalamnya kepadamu Sur, lugas Tejo menjelaskan. Surti terdiam, senyumnya seketika lenyap seperti direngut awan hitam, benar badai akan datang sepertinya batin Tejo berkata. Kenapa Kamu bisa mencintai aku? tanya Surti. Aku tidak tahu, hadirnya begitu saja selama ini, aku tidak tau dari sisi mana Tuhan menumbuhkannya, aku sudah membunuh rasa itu, tapi bukannya mati, rasa itu malah semakin dalam dan rasa itu menembus hatiku, jawab Tejo.
Maaf Tejo, selama ini aku menganggapmu sebagai kakakku sendiri, aku tidak bisa melarang orang lain untuk suka atau jatuh cinta kepadaku, aku bisa menahan atau menolak sesuatu hasrat atau rasa yang muncul dari dalam diriku sendiri, namun aku tidak bisa menolak hasrat atau rasa yang datang dari luar diriku atau orang lain, karena itu di luar kendaliku sebagai manusia. Lagipula aku telah memiliki seseorang yang pantas aku miliki, rasaku hanya sebatas sahabat dan kakak untukmu, begitu getir Surti menjelaskan badainya dengan perlahan.
Putih adalah guratan sejarah yang hadir namun ditiadakan, hitam adalah masa yang dikuburkan oleh waktu, putih dan hitam adalah warna yang hilang dari pelangi, karena pelangi tidak membutuhkan putih dan hitam. Helaan nafas Tejo tidak sampai terdengar oleh Surti, dunia terhenti sejenak pada saat itu, badai dan tsunami menerpa, matahari benar berhenti bersinar, semuanya bersatu menghantam Tejo dari segala sisi, atas, bawah, samping kiri dan kanan, dihimpit batu yang meniban tubuh Bilal, tertelan ikan Paus Nabi Yunus As, namun semuanya tertipu dengan senyum Tejo, senyum penuh aib buatnya, senyum yang menenangkan hati Surti, karena Surti tidak bisa melihat semua hantaman di hati Tejo.
Tuhan, hanya Kau yang mampu mencabut rasa ini dari ku, karena kau telah menanamkannya jauh dalam dasar hatiku. Tuhan, segalanya adalah kuasaMu dan bukan kuasaku, jika ini terlarang, mengapa Kau tabur benih ini dan menyuburkannya dengan air kerinduan sehingga benih cinta ini semakin membesar, walaupun Kau selalu punya rencana dibaliknya, aku tak kuasa mengetahui apa rencanaMu, apakah sebagai pelajaran buat ku atau sebagai nasihat bijak untuk ku, gumam Tejo pada dirinya sendiri.
Jika mencintaimu adalah sebuah dosa, maka kamulah dosa terindah dalam kehidupanku. Dan jika memilikimu adalah satu hal yang tak mungkin, maka melupakanmu adalah sesuatu yang mustahil. Jika takdirku memang tidak bisa bersamamu, setidaknya aku pernah mencintaimu begitu dalam. Sekuat apapun aku mencintaimu, aku tetap tidak bisa memilikimu. Merindukanmu adalah deritaku, mencoba tidak peduli pun ternyata menyakitkan. Jujur, logika ku ingin pergi tapi hati ingin tetap bertahan.
Jika menunggu bisa membuatmu jadi milikku, maka akan ku tunggu sampai kapanpun itu. Bukankah kita hanya sebatas senja dan lautan, saling melihat tapi tak terikat, saling menatap namun tak menetap, saling bertemu namun tak kunjung bersatu. semua kata dan kalimat bergantian hadir di benak dan kepala Tejo, semuanya tentang Surti, tentang cinta yang tak pantas memang, tentang penyatuan yang mustahil, tentang punguk yang merindukan bulan, dan tentang keterasingan yang semakin mengukung.
Maaf Tejo, ujar Surti sekali lagi, Surti melihat diam dan senyum Tejo sebagai tanda persetujuannya, persetujuan untuk melepaskan apa yang ada di hati Tejo, tapi bukan Tejo sang pemilik hati, ada sang pembolak-balikkan hati dan ada yang Maha Cinta di dalam semua perjalanan hidup tiap insan.
Tejo tersenyum, dan berkata, Sur semua itu adalah haqmu, semua itu adalah kuasamu untuk menolak, tapi percayalah, aku tidak akan banyak berubah, aku masih orang yang kamu kenal. Masih kagum pada bentuk matamu, masih senang melihat indah bibirmu, masih betah mendengar suaramu. Aku masih sering mencari tahu kabarmu, walaupun tidak akan seperti dahulu lagi, aku hanya takut semua sikapku membuatmu makin menjauh. Biarlah sekarang aku hanya melihatmu dari kejauhan, berharap suatu ketika kau sadari bahwa perasaan ini tak pernah berhenti. Aku tidak pernah menjauhi kamu, aku hanya ingin membatasi harapanku kepadamu, agar harapanku tidak terlalu jauh. Tenang Sur, jika kamu membutuhkan aku, aku akan tetap di sini, aku hanya memberi sedikit jarak, agar sakitku tidak berlebihan, jangan berfikir aku sudah tidak  sayang padamu, kamu akan tetap abadi di dalam ceritaku.
Surti, aku hanya ingin kau tau bahwa;
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abuÂ