Jadi, pemerintah kolonial Belanda menyebarkan opini negatif dan Belanda menganggap bahwa pendidikan yang sudah ada atau pendidikan pesantren tidak relevan dan tidak membantu pemerintah Belanda adalah misi kolonialisme.Â
Selain itu Belanda juga merasa khawatir akan kebermunculan gerakan nasionalisme islamisme dengan munculnya persatuan pondok pesantren dan lembaga organisasi pendidikan. Karena Belanda takut apabila rakyat khususnya pondok pesantren melakukan reaksi dan protes terhadap perkembangan agama Kristen yang ada di Nusantara.Â
Karena takut pemerintah Belanda menempatkan seorang penasehat khusus yaitu snouck Hurgronje. Ia diberikan tugas untuk menyelidiki kegiatan jamaah haji di Indonesia yang ada di Mekah. Karena Belanda takut terhadap pertumbuhan pesantren dan pemberontakan pada tahun 1904 belanda mendirikan kantor fun inlands  second yang salah satu fungsinya yaitu untuk mengawasi gerak-gerik pesantren.Â
Dengan adanya kebijakan Belanda dengan mendirikan kantor ini, maka para tokoh ulama, Kyai dan kaum santri merasa khawatir,marah karena merasa terusik dan terhambat pertumbuhan pesantren yang ada di Nusantara.Â
Sehingga para ulama, Kyai maupun santri rela mengangkat senjata mereka untuk melakukan pemberontakan kepada pemerintah Belanda untuk mempertahankan keberadaan Islam dan sistem pendidikannya di Nusantara. Sikap ulama dan para Kyai dan santri diwujudkan dalam sikap dan bentuk-bentuk aksi penolakan terhadap regulasi pemerintah Belanda.Â
Sehingga dari sikap dan aksi tersebut muncul sikap non kooperatif dari para ulama dan kyai yang kemudian diaplikasikan dengan mendirikan pesantren di daerah-daerah yang jauh dari kota, yaitu mendirikan di pesantren yang ada di desa. Tujuannya adalah untuk menghindari intervensi kolonial Belanda serta memberikan kesempatan kepada rakyat yang belum memperoleh pendidikan.Â
Jadi para ulama mendirikan pesantren di daerah desa tidak di kota, agar rakyat tetap memperoleh pendidikan daripada dihambat oleh Belanda jika membangun pesantren di daerah kota. Pada fase ini para ulama, kalangan pesantren pesantren mengambil sikap anti Belanda sampai uang yang diterima seseorang sebagai gaji dari pemerintah Belanda dinilainya sebagai uang haram bahkan celana dan dasi pun juga dianggap haram karena dinilai sebagai pakaian identitas Belanda.Â
Namun pada kenyataannya meskipun Belanda menghambat proses pendidikan yang ada di pesantren, namun pesantren itu masih tetap survive dan eksis di tengah-tengah gelora perjuangan melepaskan diri dari kekangan kolonialisme. Bahkan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 lahir kegairahan baru dan semangat baru dari kalangan muslim.Â
Pesantren mulai bangkit dari ketertinggalannya, karena ada munculnya pelopor dan sikap progresivitas dari para Kiai muda yang muda yang baru menyelesaikan studinya di Mekah.Â
Dengan berusaha membuka pendidikan yang sebanding dengan sistem sekolah yaitu sistem madrasah dengan sistem ini maka pesantren dapat berkembang kembali dengan baik dan cepat sehingga mampu menyaingi sekolah-sekolah Belanda. Contohnya seperti pesantren Tebuireng yang memiliki lebih dari 1500 santri.Â
Pada masa ini juga semakin memperteguh kesadaran para kalangan pesantren dan santri pada jiwa nasionalisme dan islamisme untuk bersatu dan mengatur dirinya secara baik. Dengan adanya hal ini yaitu dampaknya adalah munculnya berbagai organisasi Islam yang ada di Indonesia seperti sarekat Islam, Muhammadiyah, dan Nahdlatul ulama. Organisasi ini bergiat dalam membela dan meningkatkan kualitas beragama, bermasyarakat, dan bernegara.