"Kenapa bang? Kenapa kau ceraikan aku? Beri aku satu saja alasan" tanyaku akhirnya. Baru kali ini keberanianku bertanya. Pias wajahmu seakan menafsirkan ketidakbahagiaan.
"Tanya saja ke pengacaraku yang menangani masalah kita. Ini nomernya" jawaban datar tanpa ekspresi. Tanganmu meletakkan selembar kartu nama di meja. Lalu berlalu begitu saja.
Hatiku hancur berkeping-keping. Luruh tak bertepi. Butiran bening yang menerjuni tebing kelopak rasa, kian terasa hangat mengalir di pipi yang sebenarnya tak rela dialiri air mata. Aku menggenggam kartu nama itu. Rita Hutabarat. Begitu penasarannya, jariku memutar nomer itu.
"Selamat pagi, ibu Rita. Saya Arlina, istri dari Wigunantoro. Bisa kita bertemu?"
Dan kami pun bertemu. Disebuah rumah makan dengan nuansa desa. Bu Rita seolah mencari tempat yang teduh agar emosiku tak memanas. Dia tersenyum sambil menjabat tanganku. Tapi wajahku tetap membesi.
"Aku hanya ingin tahu satu alasan, mengapa? Dimana salahnya? Sampai dia tega menceraikan saya dan berencana menikahi wanita lain!"
"Tenanglah bu Arlina, masih terbuka jalan. Sebenarnya....
"Tenang?! Bagaimana saya bisa tenang? Sedangkan...
"Bu Arlina, coba intropeksi diri. Apa kira-kira yang luput dari perhatian ibu?"
"Luput dari perhatian?! Ibu menuduh ini salah saya?!" emosiku mulai tak terkendali, mataku melotot, tenggorokanku panas. Mendung dimataku sebentar lagi menurunkan hujan. Aku mulai sesenggukan.
"Baiklah bu Arlina, saya akan langsung memberitahu duduk persoalannya. Ibu, ada satu hal sepele yang tidak ibu perhatikan. Hal kecil yang ternyata pak Wigunantoro dapatkan dari perempuan lain. Sehingga dia berpaling. Ibu Arlina tidak pernah mau tahu, atau tidak pernah menanyakan dan berdiskusi tentang bagaimana pekerjaan pak Wigunantoro. Dan pak Wigu menemukan pelampiasan atas stress pekerjaan, berdiskusi mencari second opinion serta bergurau mesra mengomentari kebijaksanaan kantor itu pada perempuan lain," jelas pengacara itu.