Mohon tunggu...
Gading Satria Nainggolan
Gading Satria Nainggolan Mohon Tunggu... Pengacara - Pengacara pada Gading and Co. Law Firm

Seorang pengacara yang telah berkarir di dunia hukum sejak 2010. Memiliki ketertarikan untuk menuliskan buah-buah pikir saya terhadap persoalan-persoalan tertentu yang terjadi di masyarakat dari sudut pandang hukum. Dengan pengalaman dan pengetahuan yang saya miliki, kiranya setiap tulisan saya memberikan wawasan baru bagi para pembaca.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Apabila Tidak Membayar Utang, Apakah Debitur Dapat Dipenjara?

8 Juli 2024   21:54 Diperbarui: 9 Juli 2024   10:04 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.pixabay.com (gambar bebas copyright)

Author: Gading Satria Nainggolan, S.H., M.H. (Managing Partner of Gading & Co. Law Firm)

Secara hukum, hubungan utang piutang antara kreditur dan debitur masuk ke dalam ranah hukum perdata, yang mana hubungan hukum tersebut lahir dari adanya perjanjian yang dibuat antara debitur dengan kreditur. Untuk perjanjian tersebut sendiri, tentu saja terlebih dahulu memenuhi syarat-syarat yang ditentukan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebelum memiliki kekuatan hukum yang sah dan mengikat bagi kedua belah pihak.

Di dalam perjanjian tersebut, kreditur terikat pada suatu tanggung jawab untuk menyerahkan sejumlah (umumnya) uang, sedangkan debitur terikat pada suatu tanggung jawab untuk membayar atau mengembalikan uang milik kreditur tersebut, baik yang disertai bunga ataupun denda keterlambatan. Adanya tanggung jawab masing-masing pihak tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang selengkapnya menyatakan:

“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.”

Selanjutnya, secara spesifik, perihal utang piutang yang dituangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur dalam ketentuan Pasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang selengkapnya menyatakan:

“Pinjam pakai habis adalah suatu perjanjian, yang menentukan pihak pertama menyerahkan sejumlah barang yang dapat habis terpakai kepada pihak kedua dengan syarat bahwa pihak kedua itu akan mengembalikan barang sejenis kepada pihak pertama dalam jumlah dan keadaan yang sama.”

Namun demikian, jika kita meminjamkan sejumlah uang kepada pihak lain, hal utama yang perlu diperhatikan adalah sah atau tidaknya perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur tersebut. Jangan sampai kreditur memberikan pinjaman uang namun tidak didasari pada suatu perjanjian yang sah secara hukum. Sehingga tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa hal yang paling utama yang perlu diperhatikan di dalam pembuatan suatu perjanjian adalah wajib terpenuhinya syarat sahnya suatu perjanjian.

Syarat sahnya suatu perjanjian (tidak terbatas pada perjanjian utang piutang) diatur dalam ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang selengkapnya menyatakan:

  • kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
  • kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  • suatu pokok persoalan tertentu; dan
  • suatu sebab yang tidak terlarang.”

Syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana disebutkan di atas sifatnya akumulatif, yang dapat dilihat dari tanda kata hubung “dan”, yang artinya seluruh syarat tersebut wajib ada jika ingin perjanjian tersebut sah secara hukum. Jika tidak memenuhi syarat subjektif yang terdapat pada angka 1 dan 2, maka perjanjian tersebut memiliki konsekuensi hukum dapat dibatalkan. Sedangkan apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat objektif yang terdapat pada angka 3 dan 4, maka perjanjian tersebut memiliki konsekuensi hukum batal demi hukum

Apakah tidak bayar utang dapat dipenjara?

Lantas, apabila perjanjian utang piutang telah memenuhi seluruh syarat sahnya perjanjian, apakah kreditur diberikan celah oleh hukum untuk membuat laporan polisi dan memidanakan (penjara) Debitur?

Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia selengkapnya menyatakan:

“Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang”

Sehingga berdasarkan ketentuan tersebut telah jelas bahwa Debitur tidak dapat dipidana penjara dengan alasan tidak mampu membayar utang.

Namun ketentuan tersebut tentu saja tidak serta merta dapat dijadikan tameng oleh debitur-debitur yang memiliki iktikad buruk. Debitur yang di dalam mengikatkan perjanjian utang piutang dengan kreditur ternyata diiringi suatu tindakan yang dapat dipidana, antara lain penipuan dan/atau pengelapan, apabila terbukti debitur telah melakukan tindak pidana tersebut, maka tidak dapat berlindung di balik ketentuan Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia tersebut.

Terhadap debitur yang melakukan tindak pidana tersebut dapat dikenakan ketentuan tindak pidana Penggelapan dan ketentuan tindak pidana Penipuan, yang selengkapnya diatur dalam:

(Di bawah ini saya jabarkan perbandingan dari bunyi pasal KUHP baru dengan KUHP lama mengenai pasal yang menjerat pelaku tindak pidana penggelapan dan penipuan)

KUHP Lama

KUHP Baru (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023

 

Pasal 372

(Tindak Pidana Penggelapan)

Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu

 

Pasal 486

(Tindak Pidana Penggelapan)

Setiap orang yang secara melawan hukum memiliki suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena tindak pidana, dipidana karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV yaitu Rp200 juta

Pasal 378

(Tindak Pidana Penipuan)

Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.

 

Pasal 492

(Tindak Pidana Penipuan)

 

Setiap orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau kedudukan palsu, menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kata bohong, menggerakkan orang supaya menyerahkan suatu barang, memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang, dipidana karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V yaitu Rp500 juta.

Demikian penjabaran saya, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

  • Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
  • Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (lama);
  • UU Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kita Undang-Undang Hukum Pidana (baru)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun