Love is You!
Oleh: Dinda Aryani Basuki
Di taman, pukul 04.00 sore hari.
“Nay, kau tahu bagaimana rasanya mencintai tapi dalam hati saja?” tanyaku memecah keheningan.
Nayla yang sedang serius main game di ponselnya langsung melirikku.
“Kau,”
“Kau sedang jatuh cinta? Cieee-cieeee! Akhirnya. Sama siapa? Siapa, siapa orang yang kau cintai itu?” tanyanya semangat sambil mengguncang-guncangkan tubuhku membuatku meringis.
“Aduh!”
“Katakan, kenalkan padaku. Siapa tahu kan nanti kita bisa double date” ujarnya.
“Cieeee!” godanya.
Aku tersenyum, namun dalam hati ini meringis.
Nay, tidakkah kau menyadari bahwa orang yang aku cintai itu adalah kamu. Namun, menyadari jarak usiaku dengan usiamu yang terpaut cukup jauh, memaksaku untuk bungkam. Aku sadar diri, kau tak akan mungkin mencintai aku yang usianya 5 tahun lebih muda darimu. Aku tak kan mungkin mengungkap perasaanku ini padamu. Aku takut, hal ini malah akan menghancurkan persahabatan kita. Maka, cukuplah mencintaimu dalam hati saja, walau terasa perih hati ini. Ditambah perih hati ini saat kau mengenalkan pacarmu padaku dua minggu yang lalu.
“Rey, kenalkan ini pacarku, Dio.”
“Dio, kenalkan ini sahabatku Rey.”
Aku memerhatikan pria yang kau rangkul mesra itu. Seorang pria dewasa yang gagah dan kharismatik. Ohoo, wajar saja kau lebih melirik pria itu dibanding diriku. Aku dan pria itu sangat berbeda. Hahaha, tentu saja berbeda. Dasar bodohnya aku! Inilah yang dinamakan takdir. Aku terlahir sebagai aku. Andai aku terlahir bukan sebagai aku, mungkin aku masih ada kesempatan untuk memilikimu. Seutuhnya.
“Hei Rey! Malah bengong!”
“Eh,” aku terlonjak.
“Iya, nanti deh, suatu saat aku kenalkan orang itu padamu, ya?”
“Kapan?”
“Kapan-kapan.”
“Ah kau ini bercanda saja, aku serius. Keburu,” Nayla tidak meneruskan perkataannya.
“Keburu apa?” tanyaku penasaran.
Kami terdiam sesaat.
“Rey, besok aku akan ke Paris, melanjutkan studiku di sana,” Nayla berkata tiba-tiba.
“Dan,” Nayla menghentikan perkataannya.
“Aku akan melangsungkan pernikahanku dengan Dio di sana juga” lanjutnya.
Glekk! Aku menelan ludahku. Kerongkonganku berasa tercekik.
“Ke,”
“Kenapa?”
“Kenapa kau baru mengabari sehari sebelum keberangkatanmu?” tanyaku getir.
Nayla terdiam.
“Maaf.” hanya satu kata itu yang melompat keluar dari mulut Nayla.
“Berapa lama kau di sana?”
“Aku tak tahu, Rey.”
“Ya sudahlah, selamat ya. semoga kau bahagia dengan pria pilihanmu itu.”
Aku menundukkan kepalaku dan kedua bola mataku menatap tanah. Kosong.
Mungkin, memang sudah saatnya aku melupakannya dan beralih mencintai orang lain.
***
Ini hari adalah hari keberangkatan Nayla ke Paris bersama calon suaminya itu. Aku melirik jarum jam menujukkan pukul 09.40. Pukul 10.00 pesawat menuju Paris akan mengudara. Aku mengetuk-ngetuk jari jemariku di atas meja belajar. 15 menit menuju bandara mungkin masih bisa. Maklum, jarak antara rumah kosanku dengan bandara sangat dekat sekali. Memberikan salam perpisahan? Apalah arti jika hati ini menjadi terluka melihat Nayla bersama kekasihnya. Aku tercenung. Tak lama, aku mengambil ponselku yang tergeletak di atas tempat tidur. Kuputuskan untuk mengirim pesan singkat saja sebagai salam perpisahanku padanya. Jam dinding berdenting. Pukul 10.00. Dari luar kamar, terdengar suara pesawat terbang. Aku beranjak dari kursi menuju jendela kamar. Kulihat pesawat terbang di udara. Selamat jalan, Nayla. Semoga kau bahagia bersama Dio.
***
4 tahun kemudian
Empat tahun telah berlalu. Aku menjalani hidupku. Bayanganmu masih menari-nari dalam pikiranku, Nay. Rupanya, aku belum bisa beralih mencintai orang lain. Dan, aku bahagia saat kau menghubungiku, mengabarkan bahwa kau sedang berada di Indonesia dan mengajakku bertemu di sebuah kafe hari ini. Ya, maka ini hari adalah hari yang sangat teramat spesial karena aku akan bertemu denganmu atau mungkin juga luka itu akan kembali menganga saat kau menceritakan kebahagiaanmu padaku, tentang kau bersama pria yang kau cintai, lalu tentang kau yang telah melahirkan anak-anak yang manis-manis dan lucu-lucu dan mungkin saja kau akan membawa mereka untuk dikenalkan padaku. Tentu saja semua itu tak kan menumbuhkan kembali harapanku yang tumbang empat tahun silam.
Aku menyemprotkan parfum Bvlgari Men ke tubuhku. Wangi parfum kesukaanmu. Kau ingat, dulu kau mengatakan padaku.
“Rey, wangi parfummu enak, pakai parfum apa?”
“Bvlgari men.”
“Oh, ah nanti kalau aku punya pacar, aku paksa dia pakai parfum jenis ini ah”
Aku tak tahu apakah Dio pada akhirnya dipaksa olehmu menggunakan parfum jenis ini atau tidak, karena waktu kau kenalkan dia padaku, aku tahu dia memakai parfum jenis George Armani. Ah entahlah, aku rasa Dio bukanlah tipe pria yang penurut pada wanita.
Aku keluar dari kamar kosanku setelah aku menata rapi rambutku. Aku berangkat menuju Expresso Cafe, tempat kita selalu menghabiskan waktu bersama dahulu.
Sesampainya di dalam kafe, seperti dulu, aku memilih duduk di salah satu bangku dekat kolam ikan dengan air mancurnya yang memberi kesejukan dan ketenangan di jiwa. Aku lalu memesan secangkir kopi pada pelayan kafe. Aku mulai menunggu. Rasa deg-degkan mulai menjalar dalam diriku. Seperti apa ya kau yang sekarang? Aku bertanya-tanya. Tak lama, sosok yang kutunggu datang dari arah pintu masuk. Sosok wanita berkulit putih, bertubuh tinggi dan langsing, rambut kecokelatan yang tergerai sebahu menambah ayu pesonanya. Aku memandangnya. Ternyata, kau masih tetap sama, Nay. Cantik. Kulihat Nayla melihatku dan lalu dia berjalan mendekat menghampiriku.
“Hai, sudah lama, Rey?” tanyanya setelah tepat berdiri di hadapan aku yang sedang duduk.
“Lumayan.” ujarku
“Duduklah.” pintaku
Nayla duduk di kursi kosong yang ada di hadapanku.
“Sudah pesan makanan?” tanyanya.
“Belum, baru pesan secangkir kopi.” aku menunjuk secangkir kopi yang asapnya masih mengepul itu.
“Ah rupanya kau tidak berubah. Masih menyukai kopi, Rey.”
“Tentu.” jawabku singkat
Nayla memanggil salah satu pelayan kafe dan kami pun memesan makanan. Aku memesan spagheti bayognese, sedangkan Nayla memesan cheese potatoes dan segelas orange juice.
“Apa kabar kau, Rey?”
“Seperti yang kau lihat saat ini.”
Ia tertawa. Tawanya masih sama seperti dulu. Manis. Seperti permen gulali.
“Oh iya, bagaimana kabar suamimu Dio? Pasti kau sudah mempunyai anak bukan? Ah kau sudah menjadi ibu-ibu.”
Nayla tertawa.
“Anak? Oh tidak!”
Aku melongo heran.
“Oh, kau sedang KB?”
“Aku tak jadi menikah dengan Dio.”
“Maksudmu?” tanyaku masih tak mengerti.
“Perlu kuulang kata-kataku?”
“Aku tak jadi menikah dengan Dio”
Aku kembali melongo heran.
“Lalu, dengan siapa kau sekarang?”
“Kau menikah dengan siapa?”
“Tidak dengan siapa-siapa, Rey.”
“Well, I am still single”
Dan, lagi, aku melongo heran. Entah aku harus bersedih hati karena dia tidak jadi menikah dengan pria yang katanya dia benar-benar mencintai pria itu atau bahagia karena masih ada kesempatan untukku untuk mendapatkannya. Oh, aku terlalu berharap sesuatu yang tak mungkin menjadi kenyataan. Sekali lagi, mungkin aku hanya bisa mencintainya dalam hati saja. Aku hanya penasaran mengapa? Mengapa Nayla tak jadi menikah dengan Dio? Apakah Dio telah menyakitinya? Aku memerhatikan wajahnya. Kulihat wajahnya berseri-seri. Sungguh, sama sekali tak mencerminkan wanita yang sedang patah hati.
“Rey, kau masih ingat empat tahun yang lalu kau pernah bertanya bagaimana rasanya mencintai dalam hati saja bukan? Dan aku belum sempat menjawabnya.”
Aku terkejut.
“Kau mau tahu rasanya itu seperti apa?”
“Seperti apa?” tanyaku penasaran.
“Seperti berada di tumpukan jarum. Perih.”
“Kau sedang jatuh cinta lagi? Pengganti Dio? Siapa pria yang kau cintai itu? Nyatakan saja padanya. Aku tak ingin kau merasakan perih seperti yang kualami, Nay.” usulku.
Plak! Bodoh. Aku sadar usulku ini seperti memasukkan tubuhku sendiri ke dalam air panas yang sedang mendidih di atas kompor.
Nayla angkat bahu. Beberapa menit kemudian, pelayan mengantarkan makanan dan minuman pesanan kami. Sementara aku masih berada di ambang tanyaku sendiri.
Rey, sesungguhnya aku memutuskan Dio karena aku masih mencintaimu. Namun, aku tak tahu apakah kau mencintai wanita yang usianya jauh lebih tua darimu atau tidak. Aku hanya bisa menunggu. Jika kau mencintaiku, pasti kau akan menyatakannya, bukankah begitu? Harap Nayla.
-selesai-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H