“Bvlgari men.”
“Oh, ah nanti kalau aku punya pacar, aku paksa dia pakai parfum jenis ini ah”
Aku tak tahu apakah Dio pada akhirnya dipaksa olehmu menggunakan parfum jenis ini atau tidak, karena waktu kau kenalkan dia padaku, aku tahu dia memakai parfum jenis George Armani. Ah entahlah, aku rasa Dio bukanlah tipe pria yang penurut pada wanita.
Aku keluar dari kamar kosanku setelah aku menata rapi rambutku. Aku berangkat menuju Expresso Cafe, tempat kita selalu menghabiskan waktu bersama dahulu.
Sesampainya di dalam kafe, seperti dulu, aku memilih duduk di salah satu bangku dekat kolam ikan dengan air mancurnya yang memberi kesejukan dan ketenangan di jiwa. Aku lalu memesan secangkir kopi pada pelayan kafe. Aku mulai menunggu. Rasa deg-degkan mulai menjalar dalam diriku. Seperti apa ya kau yang sekarang? Aku bertanya-tanya. Tak lama, sosok yang kutunggu datang dari arah pintu masuk. Sosok wanita berkulit putih, bertubuh tinggi dan langsing, rambut kecokelatan yang tergerai sebahu menambah ayu pesonanya. Aku memandangnya. Ternyata, kau masih tetap sama, Nay. Cantik. Kulihat Nayla melihatku dan lalu dia berjalan mendekat menghampiriku.
“Hai, sudah lama, Rey?” tanyanya setelah tepat berdiri di hadapan aku yang sedang duduk.
“Lumayan.” ujarku
“Duduklah.” pintaku
Nayla duduk di kursi kosong yang ada di hadapanku.
“Sudah pesan makanan?” tanyanya.
“Belum, baru pesan secangkir kopi.” aku menunjuk secangkir kopi yang asapnya masih mengepul itu.